Ilustrasi dihasilkan oleh AI Ada macam-macam pengandaian untuk manusia tertentu yang dianggap tak-lagi-seperti-manusia. Dalam sebuah pertarungan UFC (contoh ini dipilih karena saya sering menontonnya di Youtube), misalnya, seorang petarung yang begitu ganas dalam melancarkan pukulan dan bantingan bisa diibaratkan oleh komentator "seperti hewan". Mungkin karena petarung tersebut begitu "kehilangan akal", memanfaatkan hanya nalurinya untuk menerkam, memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk menghabisi mangsa. Ada juga perandaian lain yang non-manusia, yaitu mesin. Menyebut manusia sebagai mesin sama-sama memperlihatkan "kehilangan akal", tetapi lebih menunjuk pada suatu gerakan otomat, kadang repetitif, yang kelihatannya bisa dilakukan berulang-ulang tanpa mengenal rasa lelah. Mungkin bisa dibayangkan pada Cristiano Ronaldo muda yang larinya begitu kencang atau petinju yang bisa menghujamkan pukulan terus menerus seolah-olah dia diprogram demikian. Tubuh adalah ...
Akar dari keterkaitan antara musik dan filsafat analitik dapat ditarik ke argumen Immanuel Kant terkait keindahan yang seharusnya tidak bertujuan dan tidak berkepentingan (disinterestedness). Eduard Hanslick (1825 – 1904) seolah meneruskan pendapat Kant tersebut dalam konteks musik lewat bukunya yang berjudul On the Musically Beautiful. Hanslick menganggap bahwa musik seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bentuk tanpa memiliki relasi dengan subjektivitas pendengarnya.
Sekilas Filsafat Analitik
Filsafat analitik sebagai sebuah aliran tersendiri, jika dilacak, memang baru dimulai di awal abad ke-20. Berkembang umumnya di kalangan pemikir Inggris seperti Bertrand Russell dan G.E. Moore, filsafat analitik menitikberatkan kajiannya pada logika formal dan matematika sebagai landasan dalam kejernihan berfilsafat. Artinya, berbeda dengan filsafat kontinental yang berpusat pada pemaknaan dan penafsiran yang berhubungan dengan historisitas dan aspek kultural, filsafat analitik menganggap bahwa kita tidak mengatakan apapun jika persoalan bahasa tidak diselesaikan secara tuntas. Selain tentang logika formal dan matematika, filsafat analitik juga masuk pada pembahasan tentang kerja akal budi dan berbagai kajian terkait sains kognisi.
Filsafat analitik enggan terburu-buru untuk mengaitkan filsafat dengan “konteks”, melainkan menelaah pernyataan filosofis secara ketat sebelum menautkannya dengan “kenyataan”. Misalnya, dalam pembahasan mengenai etika, filsafat analitik tidak langsung mengaitkan antara etika dalam kaitannya dengan hubungan sesama manusia yang “seharusnya”, tetapi lebih pada mempertanyakan natur dari istilah “baik” dan “buruk” itu sendiri sebagai suatu problematika bahasa. Filsafat analitik, meminjam istilah G.E. Moore, enggan jatuh pada naturalistic fallacy atau mencampuradukkan apa yang “baik” dengan yang “menyenangkan” atau “diinginkan” sehingga konsepsi “baik” itu sendiri menjadi gagal untuk didefinisikan.
On the Musically Beautiful
Meski ditulis sebelum kemunculan filsafat analitik sebagai sebuah aliran tersendiri, On the Musically Beautiful (1854) yang ditulis oleh Eduard Hanslick nampak mempunyai kedekatan dengan ciri-ciri filsafat analitik. Bagi Hanslick, musik harus dilihat sebagai bentuk yang berdiri sendiri dan tidak bercampuraduk dengan emosi subjektif dari pendengarnya – perhatikan betapa miripnya argumen ini dengan keberatan G.E. Moore terkait naturalistic fallacy -. Hanslick menegaskan hal tersebut dalam kalimat berikut ini, “Keindahan sebuah karya secara spesifik adalah tentang apa yang musikal, yang terkandung secara inheren di dalam hubungan antar nada tanpa mengacu pada konteks ekstramusikal.” Seorang kritikus musik, lanjut Hanslick, seharusnya mengarahkan pendengar musik untuk konsentrasi ke arah sana (hal yang musikal secara spesifik) dan bukan luarannya.
Bagaimana dengan posisi komposer dalam tulisan-tulisan Hanslick? Hanslick mencoba memisahkan kepribadian, identitas, dan kehadiran komposer di dalam sebuah karya musik. Hanslick berulangkali menegaskan bahwa di dalam komtemplasi murni, si pendengar tidak mendengarkan apa-apa kecuali hanya musik yang sedang dimainkan. Meski komposer adalah kreator dari karya musik, tetapi ketika ia selesai mencipta sebuah karya, maka karya tersebut menjadi otonom. Hal yang tersisa, bagi Hanslick, hanyalah karakter dari si komposisi, dan bukan si komposer.
Berangkat dari keketatan Hanslick pada aspek musikal, ia menjadi penentang keras karya musik dari komposer seperti Richard Wagner, Anton Bruckner, dan Hugo Wolf yang menurutnya mendramatisasi musik dengan mengajak pendengarnya untuk terasosiasikan dengan sesuatu yang bukan-musik. Misalnya, karya Wagner seringkali berupaya untuk menjelaskan suatu narasi dalam karyanya, semacam mengangkat sebuah cerita. Bagi Hanslick, keindahan musik bukan terletak pada apa yang di luar musik, melainkan murni pada urusan bunyi dan pergerakannya (sound and motion).
Kembali pada pembahasan terkait musik dan emosi, Hanslick mengatakan bahwa emosi tidak terkandung secara objektif di dalam musik itu sendiri, tetapi kehadirannya lebih karena interpretasi pendengarnya secara subjektif. Artinya, emosi tidak menjadi bahasan dalam estetika musik. Meskipun Hanslick mengakui bahwa musik punya kemampuan untuk “membangkitkan emosi”, tetapi itu tidak berarti bahwa musik, secara inheren, merepresentasikan suatu emosi.
Kritik terhadap Pandangan Hanslick
Hanslick bisa dikatakan membawa kita pada suatu absolutisme musik. Masa depan musik, menurut Hanslick, adalah terletak murni pada bentuknya. Tentu Hanslick memberikan sumbangsih kuat terhadap pemikiran mengenai musik, untuk menghindari kita dari pandangan psikologisme tentang musik seolah-olah musik bisa dikaitkan dengan apapun (padahal, jangan-jangan keterkaitan tersebut adalah perasaan kita saja tentang apa yang “menyenangkan” dan yang “diinginkan”). Hanslick mengajak kita untuk secara murni mengarahkan intensi pada unsur-unsur musikal itu sendiri dan mengeliminasi segala kemungkinan yang subjektif.
Meski masih dianggap suatu pemikiran penting di dalam dunia musik, kita bisa mengajukan kritik pada pandangan Hanslick yaitu sebagai berikut:
- Hanslick berfokus pada musik dalam kategori tertentu yang sangat spesifik seperti misalnya karya “tinggi” dalam musik barok dan romantik, tetapi mengabaikan – atau bisa dikatakan, meremehkan – jenis musik lainnya yang berkembang lebih organik dan punya peran sebagai bagian dari aspek kultural (misalnya, musik untuk ritual, musik untuk hiburan). Hanslick mengabaikan kenyataan musik sebagai fenomena universal yang ada di berbagai kebudayaan dengan fungsinya masing-masing.
- Hanslick pada titik tertentu mereduksi musik pada sebatas suara dan pergerakannya dan melupakan musik sebagai suatu simbol yang memediasi ekspresi komposer dengan pendengarnya. Musik, dalam dimensi tertentu, bisa dikatakan sebagai “emanasi” dari alam pikiran si komposer. Dengan demikian, yang penting bukanlah si musik itu sendiri – karena musik hanya kendaraan saja –, tetapi integrasi dari totalitas pengalaman si komposer yang melebur bersama pengalaman si pendengar.
- Aspek subjektivitas pendengar diabaikan oleh Hanslick sebagai sesuatu yang bernuansa psikologis dan “bukan musik”. Padahal, di sisi lain, pemaknaan dan konstruksi pendengar bisa memberi kekayaan bagi si musik itu sendiri. Misalnya, bisakah karya Mozart menjadi agung jika bukan dibesar-besarkan oleh pendengarnya, baik yang benar-benar mengerti unsur musikal dalam musik Mozart, ataupun yang menyukai Mozart secara personal (bukan karena musiknya, tapi karena mitos tentang sosok Mozart)? Keduanya kadang tidak bisa benar-benar dipisahkan.
- Dalam bahasa analisis yang digunakan oleh Hanslick, ia sendiri tidak bisa melepaskan diri dari pernyataan “sastrawi” dan tidak bisa menghindar dari menyebut komposer, misalnya, dalam tulisannya tentang simfoni Unfinished dari Schubert tahun 1865: “Saat, setelah beberapa perkenalan, klarinet dan oboe dalam unison memulai kantilena dengan lemah lembut di atas bisikan biola, setiap anak mengenali si komposer, dan terdengar suara ‘Schubert’ yang dibisikkan di antara para audiens.” Hal ini sedikit banyak menunjukkan kontradiksi dalam pendekatan analitik Hanslick.
Beaney, M. (Ed.). (2013, 6). The Oxford Handbook of The History of Analytic Philosophy. Oxford: Oxford University Press.
Grimes, N., Donovan, S., & Marx, W. (Eds.). (2013). Rethinking Hanslick: Music, Formalism, and Expression. Rochester: University of Rochester Press. Retrieved from www.urpress.com.
Comments
Post a Comment