Skip to main content

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Mengajar Filsafat untuk Anak

MENGAJAR FILSAFAT UNTUK ANAK

Kurang dari setahun lalu, saya bertemu secara virtual dengan Aurea Rahel dari Omah Sindo, semacam komunitas homeschooler. Setelah sepakat mengadakan kelas filsafat pendidikan yang ditujukan terutama untuk orangtua dari para homeschooler dan berjalan selama delapan pertemuan, kami kemudian membicarakan rencana berikutnya untuk menggelar kelas filsafat bagi anak. Seperti apa itu kelas filsafat bagi anak?

Jujur, saya tidak tahu, dan sama sekali tidak terbayang. Selama mengajar filsafat, murid-murid saya pada umumnya adalah mahasiswa. Kalaupun ada yang di bawah itu, paling muda adalah seumuran SMA. Sementara definisi anak yang ingin disasar Mbak Rahel adalah hingga sepuluh tahun! Pertanyaan besarnya adalah apakah mereka bisa belajar filsafat? Bukankah ini adalah pelajaran "rumit" yang berbahaya bahkan bagi orang dewasa sekalipun? Jika di pendidikan formal di Indonesia, bahkan filsafat ini bisa jadi baru diajarkan di program pascasarjana, saat orang-orang dianggap sudah punya kematangan berpikir untuk memikirkan sesuatu secara lebih mendalam.

Hampir tanpa referensi, kami nekad untuk memulai kelas bernama PhiloKids yang ditujukan untuk anak usia 10 - 15 tahun. Apa yang dibicarakan di kelas itu? Ya, akhirnya kami mencoba untuk memulainya dengan cabang-cabang filsafat yang terdiri dari metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, dan filsafat manusia. Untuk tidak membuat anak-anak ketakutan dengan istilah-istilah tersebut, akhirnya kami mengganti judulnya jadi seperti ini: "Dari mana asal usul segala sesuatu?" (metafisika), "Bagaimana kita bisa tahu sesuatu?" (epistemologi), "Mana yang baik dan mana yang buruk?" (etika), "Bagaimana cara berpikir yang benar?" (logika), "Apa itu keindahan?" (estetika), dan "Apakah manusia?" (filsafat manusia).

Awalnya, tentu saja, kami canggung sekali membicarakan filsafat di depan anak-anak. Peserta waktu itu ada sekitar dua belas anak dan kekhawatiran saya adalah pertama, takut anak-anak itu tidak paham dan yang kedua, takut apa yang dibicarakan kemudian menjadi terlalu sensitif, membuat orangtuanya menjadi kurang nyaman. Sebut saja, mempertanyakan eksistensi Tuhan (hal yang sebenarnya asyik sekali jika berhadapan dengan mahasiswa).

Pertemuan pertama, kami masih membawakan kelas dengan cara yang sama dengan membawakannya di hadapan orang dewasa pada umumnya, yaitu membagi kelas menjadi dua sesi yaitu pemaparan dan diskusi. Alhasil, sedikit sekali yang berminat untuk mengajukan pertanyaan atau komentar. Setelah itu kami melakukan evaluasi: apakah tidak lebih baik jika anak-anak boleh menginterupsi di tengah pemaparan? Materi presentasi untuk pertemuan kedua akhirnya kami rombak. Isinya lebih banyak rangsangan berupa pertanyaan daripada pemaparan.

Betul, ternyata format demikian lebih mengundang interaksi. Misalnya, di kelas epistemologi, alih-alih memaparkan tentang apa itu pengetahuan, kami lebih berusaha merangsang mereka dengan pertanyaan: "Apakah warna hijau yang kita lihat pada daun, berasal dari daun itu sendiri, atau hanya ada dalam pikiran kita?", "Apakah 1 + 1 = 2 hanya berlaku di lingkungan kita atau pasti berlaku juga di negara-negara lain?", dan lainnya. Anak-anak itu ramai menjawab dan pendapatnya sering tidak disangka-sangka (hal yang sukar muncul dari jawaban orang dewasa).

Kami kemudian menggunakan format yang sama untuk kelas-kelas selanjutnya dengan memperbanyak pertanyaan ketimbang paparan. Oh ya, hal lain yang menurut kami penting dalam mengajar filsafat untuk anak-anak ini adalah penghilangan dua hal yang sebenarnya krusial bagi dunia filsafat "orang dewasa" yaitu istilah-istilah keren dan nama-nama filsuf. Iya, kami berusaha untuk tidak memakai istilah teknis khas filsafat seperti fenomena, kognisi, aprehensi, aposteriori, antroposentrisme, dan sebagainya. Kami juga tidak menyebut satupun nama filsuf seperti Thales, Aristoteles, Descartes, Kant, Mill, dan nama-nama lainnya. Intinya, kami ingin fokus pada kegiatan berfilsafat itu sendiri. Selain itu, kami juga tidak menghakimi apapun jawaban si anak. Semuanya dianggap bernilai dan layak dibahas.

Akhirnya PhiloKids berjalan dengan cukup lancar dan bahkan sudah melewati batch yang kedua. Bisa dibilang program ini mulai menarik perhatian, ditunjukkan dengan hadirnya sejumlah orang-orang non-peserta untuk sekadar menjadi pengamat, dari mulai para pengajar TK, mahasiswa dan dosen filsafat, hingga awak media.

Saat kegiatan kelas kami dimuat di sebuah media, saya dengan bangga menunjukkannya pada Ibu Karlina Supelli, dosen saya di STF Driyarkara. Komentar beliau singkat, tapi bikin hati saya bergetar: "Wah, bagus sekali, untuk cucu-cucu saya."

filsafat untuk anak

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1