Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Saya lupa kapan pertama kali mulai mengajar musik. Yang pasti, mengajar gitar klasik sudah dilakoni sejak saya masih kuliah S1 (antara tahun 2003 hingga 2007). Sekolah musik yang pertama kali menerima saya adalah Wisma Musik STESA di Batununggal. Awalnya, saya malah menjadi murid gitar jazz dari Kanggep Kusuma di sekolah musik tersebut, sebelum akhirnya diplot menjadi guru oleh sekolah musik milik Koh Sensus dan Ci Debby itu. Saya ingat murid gitar perdana saya, namanya Marvin. Entah dimana dia sekarang. Setelah Wisma Musik STESA, saya lupa tempat mengajar selanjutnya, apakah ke Purwatjaraka di Cijerah atau ke Allegria Music. Manapun itu, yang pasti saya hanya sebentar di Purwatjaraka, dan mengabdi lama di Allegria Music milik Ci Juniar Jacob, mengajar di tiga cabang yang mereka punya. Mungkin lebih dari sepuluh tahun saya mengajar gitar di Allegria Music. Selain mengajar di sekolah musik, saya juga mengajar murid secara privat. Ada yang datang ke rumah, ada juga yang saya datang ke