Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi. Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan. Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb
(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Salah satu kenyataan yang sukar ditolak dalam kehidupan bernegara adalah fenomena multikulturalisme. Secara sederhana, suatu negara dapat dikatakan memiliki aspek multikultural jika penduduknya memiliki latar belakang kebudayaan berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat melingkupi suku bangsa, ras, etnis, agama, adat istiadat, dan ragam lainnya. Perbedaan semacam itu, jika tidak dikelola dengan baik, akan menjadi sumber konflik yang serius dan berkepanjangan. Pertanyaannya, bagaimana cara mengelola multikulturalisme dalam suatu negara? Will Kymlicka (lahir tahun 1962) adalah pemikir asal Kanada yang memfokuskan gagasannya pada multikulturalisme, terutama hak-hak minoritas. Kymlicka menuliskan dalam bukunya yang judulnya Multicultural Citizenship (1995) bahwa demokrasi liberal berupaya membela hak dan kemerdekaan individu, dengan harapan bahwa usaha tersebut dengan sendirinya bisa sekaligus menyelesaikan problem multikulturalisme dan persoalan