Skip to main content

Posts

Seperti Hewan, Seperti Mesin

Ilustrasi dihasilkan oleh AI Ada macam-macam pengandaian untuk manusia tertentu yang dianggap tak-lagi-seperti-manusia. Dalam sebuah pertarungan UFC (contoh ini dipilih karena saya sering menontonnya di Youtube), misalnya, seorang petarung yang begitu ganas dalam melancarkan pukulan dan bantingan bisa diibaratkan oleh komentator "seperti hewan". Mungkin karena petarung tersebut begitu "kehilangan akal", memanfaatkan hanya nalurinya untuk menerkam, memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk menghabisi mangsa.  Ada juga perandaian lain yang non-manusia, yaitu mesin. Menyebut manusia sebagai mesin sama-sama memperlihatkan "kehilangan akal", tetapi lebih menunjuk pada suatu gerakan otomat, kadang repetitif, yang kelihatannya bisa dilakukan berulang-ulang tanpa mengenal rasa lelah. Mungkin bisa dibayangkan pada Cristiano Ronaldo muda yang larinya begitu kencang atau petinju yang bisa menghujamkan pukulan terus menerus seolah-olah dia diprogram demikian.  Tubuh adalah ...
Recent posts

Tentang Pemikiran Marquis de Sade

Sekilas tentang Marquis de Sade   Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman.  Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...

Fenomenologi Musik

Konsep musik dan konsep fenomenologi rasanya menjadi dua hal yang tidak terlalu sulit untuk dikaitkan. Lewat mendengarkan musik, emosi kita mudah sekali untuk terpantik, dan biasanya terkorelasikan dengan pengalaman tertentu. Musik menjadi fenomena itu sendiri, fenomena yang langsung hadir “menyingkapkan dirinya” dan kita, saat berhadapan dengan musik, tidak jarang untuk tampil “telanjang” - tanpa asumsi dan presuposisi -. Artinya, kita akan lebih mudah membayangkan apa itu fenomenologi dan cara bekerjanya mungkin dari bagaimana musik menampilkan dirinya pada kita. Untuk itu, kita akan membaca sejumlah versi dari fenomenologi, terutama saat mengaitkannya dengan musik, lewat para pemikir yang akan dijabarkan berikut ini.  Selayang Pandang Fenomenologi   Sebagai sebuah gerakan intelektual, fenomenologi bermula dari pemikiran Edmund Husserl (1859 – 1938). Dengan slogan “kembali pada sesuatu dalam dirinya sendiri”, Husserl melihat bahwa seluruh teori seharusnya dimulai dari analis...

Tips-Tips Menjalani Cancel Culture

Hampir delapan bulan berlalu sejak saya difitnah influencer yang membuat karir berantakan dan dibatalkan dari mana-mana. Dengan berbagai macam cara, saya bertahan sebisa-bisa, baik secara mental maupun finansial, di sepanjang sisa tahun 2024. Saya bukan tipe orang yang senang berbagi tips karena meyakini bahwa kiat yang ampuh bagi diri sendiri belum tentu berlaku sama bagi orang lain. Namun dalam rangka menghargai diri sendiri karena telah berhasil melewati masa-masa rumit ini, tak ada salahnya berbagi tentang apa yang bisa dilakukan dalam rangka menjaga kewarasan pada periode terkena cancel culture ini. Berikut sepuluh tips: 1. Pelihara hewan dan rawat tanaman. Inilah momen-momen ketika kita bisa lebih menghargai sekitar secara lebih intens dan mendalam. Hewan dan tanaman itu bisa diajak bicara, mereka merespons, hanya saja tidak persis dengan cara yang sama dengan orang-orang. Kucing saya, si Niko, tahu bahwa saya sedang sedih, maka itu dia tiap malam menemani tidur di kamar (hal ya...

Tentang Gus Miftah dan Reaksi Publik

Ramai soal Gus Miftah. Tak perlu diceritakan detailnya di sini. Lagipula, saya tak merasa harus mengomentari kata-kata Gus Miftah terhadap pedagang es teh. Bagi saya, hal yang lebih menarik adalah reaksi publik yang begitu masif, diantaranya dengan menyebarkan konten bertuliskan "lebih baik jualan es teh, daripada jualan agama". Selain itu, ada juga petisi yang berisi tuntutan kepada Presiden untuk mencopot jabatan Gus Miftah dari posisinya sebagai utusan khusus. Apapun itu, saya menilainya sebagai bentuk isyarat kebajikan atau virtue signaling .  Tak ada yang benar-benar peduli pada Gus Miftah atau tukang es teh. Masing-masing hanya memperagakan suatu sikap yang sejalan dengan apa yang sedang ramai. Jika benar-benar ditanya apakah Anda bersedia jualan es teh? Saya yakin sebagian besar menjawab tidak, bahkan dalam hatinya mungkin merasa lebih baik jualan agama karena sudah pasti lebih menguntungkan.  Dalam pandangan publik, pergulatannya sederhana sekali: mereka membangun per...

Musik dan Filsafat Analitik

Akar dari keterkaitan antara musik dan filsafat analitik dapat ditarik ke argumen Immanuel Kant terkait keindahan yang seharusnya tidak bertujuan dan tidak berkepentingan (disinterestedness). Eduard Hanslick (1825 – 1904) seolah meneruskan pendapat Kant tersebut dalam konteks musik lewat bukunya yang berjudul On the Musically Beautiful . Hanslick menganggap bahwa musik seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bentuk tanpa memiliki relasi dengan subjektivitas pendengarnya.  Sekilas Filsafat Analitik   Filsafat analitik sebagai sebuah aliran tersendiri, jika dilacak, memang baru dimulai di awal abad ke-20. Berkembang umumnya di kalangan pemikir Inggris seperti Bertrand Russell dan G.E. Moore, filsafat analitik menitikberatkan kajiannya pada logika formal dan matematika sebagai landasan dalam kejernihan berfilsafat. Artinya, berbeda dengan filsafat kontinental yang berpusat pada pemaknaan dan penafsiran yang berhubungan dengan historisitas dan aspek kultural, filsafat analitik m...

Apa itu Musik?

Mendefinisikan apa itu musik tidaklah sederhana kelihatannya. Mungkin dengan mudah kita akan menyebut musik pada lagu yang diputar lewat Spotify, diperdengarkan di kafe atau restoran, dan dinikmati di pertunjukan musik. Namun bagaimana dengan suara-suara di jalanan dengan berbagai bunyi klakson dan knalpotnya? Bisa jadi kita akan menyebutnya sebagai kebisingan atau noise dan itu bukanlah musik. Hanya kemudian masalah baru menjadi muncul: siapa gerangan yang menentukan mana yang musik dan mana yang kebisingan? Bukankah apa yang kita sebut sebagai musik, bisa jadi merupakan “kebisingan yang teratur”? Di sisi lain, kemungkinan besar ada orang-orang di antara kita yang begitu menikmati bunyi kebisingan jalanan atau sebaliknya, bunyi tenang di alam terbuka, yang baginya, merupakan musik.  Definisi paling sederhana tentang apa itu musik salah satunya dirumuskan di dalam buku ABC of Music (1963) yang disusun oleh Imogen Holst. Di sana, musik didefinisikan sebagai “gabungan antara melodi,...