Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Syarif Maulana lahir di Bandung, 30 November 1985. Saat ini ia menjadi pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan dan mahasiswa doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dengan fokus kajian tentang pemikiran media sosial dan demokrasi radikal. Di masa pandemi, Syarif menginisiasi kelas belajar filsafat daring bernama Kelas Isolasi yang masih berjalan hingga sekarang.
Buku yang pernah ditulisnya antara lain Kumpulan Kalimat Demotivasi: Panduan Menjalani Hidup dengan Biasa-Biasa Saja (Buruan & Co., 2020), Nasib Manusia: Kisah Awal Uzhara, Eksil di Rusia (Ultimus, 2021), Kumpulan Kalimat Demotivasi 2: Panduan Hidup Bahagia untuk Medioker (Buruan & Co., 2021), Pengantar Ilmu Komunikasi (Yrama Widya, 2022), Charles Handoyo: Sang Demotivator (Footnote Press, 2022), Kumpulan Kalimat Demotivasi 3: Panduan untuk Hidup tanpa Panduan (Yrama Widya, 2022), dan Seni Berfilsafat Bersama Anak (Cantrik Pustaka, 2023).
Buku yang pernah ditulisnya antara lain Kumpulan Kalimat Demotivasi: Panduan Menjalani Hidup dengan Biasa-Biasa Saja (Buruan & Co., 2020), Nasib Manusia: Kisah Awal Uzhara, Eksil di Rusia (Ultimus, 2021), Kumpulan Kalimat Demotivasi 2: Panduan Hidup Bahagia untuk Medioker (Buruan & Co., 2021), Pengantar Ilmu Komunikasi (Yrama Widya, 2022), Charles Handoyo: Sang Demotivator (Footnote Press, 2022), Kumpulan Kalimat Demotivasi 3: Panduan untuk Hidup tanpa Panduan (Yrama Widya, 2022), dan Seni Berfilsafat Bersama Anak (Cantrik Pustaka, 2023).
Selain itu, Syarif juga adalah penyunting untuk Ayat-Ayat Demotivasi: 99 Kutipan Tidak Indah dari Para Filsuf (Warning Books, 2023) dan bersama Taufiqurrahman menjadi penyunting untuk buku bunga rampai Membaca Latour (Antinomi, 2023).
Syarif aktif mengisi forum seperti Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 yang diadakan oleh Komunitas Salihara dengan mempresentasikan makalah berjudul Boal dan Rancière: Sebuah Interseksi, forum Pesta Pinggiran 2023 yang diadakan oleh Project Multatuli dengan mengangkat tema tentang Dunia Kita Hari Ini: Hidup Terkadang Dipenuhi Orang-Orang Menyebalkan?, serta Seri Diskusi Publik Dewan Kesenian Jakarta ke-11 dengan tema Bagaimana Posisi Seni di Tengah Gejolak Sosial Politik?.
Penerjemah Derrida: Sebuah Biografi (2022) karya Benoît Peeters dan Francis Bacon: Logika Sensasi (2022) karya Gilles Deleuze ini merupakan salah satu inisiator dan ketua panitia Philofest ID 2020 serta pengajar PhiloKids atau kelas filsafat untuk anak usia 10-15 tahun. Tulisan-tulisannya dapat dibaca di beberapa media seperti indoprogress.com, pophariini.com, antinomi.org, dan jurno.id.
Comments
Post a Comment