Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Dalam kondisi trans, seorang dukun suku Aztec mengalami visi yang membuatnya dapat melihat suatu kejadian di masa datang. Beliau dikitari oleh masyarakat sebangsanya yang tak sabar menanti sang dukun mau berkata apa tentang yang dilihatnya. Dalam api unggun yang sendu dan malam berbinar bintang-bintang, suara jangkring dan lolongan serigala menemani suasana, sang dukun kembali dari perjalanannya. Ia pun bercerita:
"Wahai saudara-saudaraku. Telah kulihat sebuah upacara."
"Upacara? Seperti yang kita lakukan selama ini?"
"Tepat. Tapi yang ini lebih aneh. Aku takut."
"Bagaimana? Ceritakan."
"Mereka berjajar berpakaian seperti harimau. Banyak dan sama semua. Di kepalanya ada kulit dari binatang entah apa, pokoknya ekornya masih berjuntai di sana."
"Lalu datang dua orang dari mereka membawa panji-panji yang mungkin terbuat dari kulit sapi. Dalam alunan musik dan tetabuhan yang tak kukenali, mereka mengiringi masuk rombongan-rombongan pemimpin kepala suku."
"Mereka berasal dari desa apa, Guru?"
"Aku tak tahu, mereka tinggal di gua-gua yang mungkin terbuat dari kayu. Api unggunnya diletakkan di langit-langit seperti iblis membawa obor. Dan yang paling menjijikkan, ada burung garuda yang diawetkan disana!"
"Mengerikan. Teruskan, Guru."
"Lalu diantara mereka ada yang memberi semacam mantra dalam bahasa yang tak kukenali. Namun aku yakin itu semacam upacara pelepasan sebelum mereka berburu ke hutan-hutan."
"Di sela-sela perayaan suku tak beradab itu, beberapa diantaranya menggenggam bunga yang dipetiknya dari mana-mana, untuk kemudian diserahkan pada sesamanya yang, sepertinya, lebih tua."
"Aku tak bisa melupakan juntaian ekor binatang yang ditempelkan di kepalanya. Sungguh biadab! Lalu mereka satu per satu menghampiri kepala suku. Dan sepertinya juntaian di kepala itu sungguh menjadi bahan penilaian si kepala suku tentang kematangan sang pemburu. Sang kepala suku seringkali memandangi dengan tersenyum sambil memeganginya!"
"Lalu.."
"Lalu, mantra lagi, mantra lagi. Nyanyian lagi, nyanyian lagi. Dan juntaian itu, kau tak akan mau melihatnya: Mereka semua melemparkannya ke angkasa! Pada iblis api unggun, pada garuda bermata kosong, pada panji-panji kulit sapi."
Sang dukun mulai tenang. Yang lain tak henti-hentinya mengucap istighfar dalam bahasa Aztec.
Hahahaha.. bagus, Rif!
ReplyDeletekeren... keren euy tulisan na pasca Barca juara mah :p
ReplyDelete