Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2019

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Tentang UAS dan Salib

  Ustad Abdul Somad (UAS) sedang ramai dibicarakan oleh sebab pernyataannya di YouTube yang dianggap menista agama lain. Kali ini, UAS berkomentar tentang salib yang di sana, katanya, ada jin kafir bersemayam dan menggoda manusia. Godaan tersebut, lanjut UAS, sangat berbahaya bagi akidah. Ia mencontohkan, jika lambang salib terpampang di rumah sakit yang mana di dalamnya ada seorang muslim yang menjelang ajal, maka segera tutup lambang salib tersebut karena jin kafir yang ada di dalamnya bisa membuat muslim tersebut menjadi su'ul khatimah (mati dalam keadaan tidak baik). Kabar terakhir, UAS dipolisikan karena dianggap memenuhi unsur penistaan agama. Ada beberapa pandangan saya di sini, terkait kasus tersebut.  Pandangan tersebut adalah sebagai berikut: Bagi saya, kesalahan juga ada pada penanya. Memang penanya bermaksud mendapat kejelasan dengan bertanya, "Apa sebabnya Ustad, jika saya melihat salib, menggigil hati saya?" Tapi pertanyaan semacam itu hampir retori

Tentang Bambang Sugiharto

Duduk manis di kelas Pengantar Filsafat yang diampu oleh Prof. Bambang Sugiharto, sebagai bagian dari persiapan mengajar di Fakultas Filsafat UNPAR awal tahun depan. Waktu Pak Bambang bicara di depan tadi itu, pikiran saya melayang-layang karena masih ngantuk.  Teringat di tahun 2003, kala baru lulus SMA, saya punya cita-cita masuk Fakultas Filsafat UNPAR. Saya sangat serius waktu itu, hingga suatu malam bapak berkata, "De, bapak sudah konsultasi sama teman, namanya Pak Bambang. Katanya jangan masuk situ, karena itu sekolah untuk calon pastur."  Saya tidak banyak membantah. Karena mungkin, ada benarnya. Saya kubur saja cita-cita menjadi mahasiswa filsafat untuk masuk menjadi mahasiswa Hubungan Internasional. Tapi cinta saya pada filsafat selalu terpendam, sampai akhirnya bertemu dengan Pak Bambang di kelas Extension Course pada sekitar tahun 2006 atau 2007.  Di pertemuan pertama dengan materi Antropologi Filsafat itu, Pak Bambang sudah mampu mengguncangkan

Catatan tentang Protestantisme dan Ekumene

Sambil nunggu ngajar semester depan, duduk manis dulu di kelas Romo Hadrianus Tedjoworo yang membahas Protestantisme dan Ekumene.  Ekumene, dari yang saya tangkap barusan, adalah berbagai kegiatan maupun tindakan untuk mencapai kesatuan Gereja-Gereja, yang lebih ke arah emosional dan spiritual, bukan secara liturgi. Artinya, perbedaan tetap ada dan menjadi batasan satu sama lain, tapi tetap diupayakan suatu "bayangan tentang Gereja yang satu".  Tentu saja, ekumene ini, dalam sejarahnya, tidak pernah seratus persen berhasil. Selalu ada pihak yang tidak terlalu sepakat bahwa segalanya harus ada dalam kesatuan yang serius. Namun sebagai sebuah proses, ekumene mesti dilakukan sebagai sebuah ikhtiar untuk sekurang-kurangnya saling memahami spirit dan cara pandang satu Gereja dengan Gereja lainnya.  Misalnya, pendirian The World Council of Churces (WCC) tahun 1948 adalah semacam gerakan ekumene yang berpusat di Swiss dan melibatkan 349 gereja dari sekitar 150 negara. T