Ustad Abdul Somad (UAS) sedang ramai dibicarakan oleh sebab pernyataannya di YouTube yang dianggap menista agama lain. Kali ini, UAS berkomentar tentang salib yang di sana, katanya, ada jin kafir bersemayam dan menggoda manusia. Godaan tersebut, lanjut UAS, sangat berbahaya bagi akidah. Ia mencontohkan, jika lambang salib terpampang di rumah sakit yang mana di dalamnya ada seorang muslim yang menjelang ajal, maka segera tutup lambang salib tersebut karena jin kafir yang ada di dalamnya bisa membuat muslim tersebut menjadi su'ul khatimah (mati dalam keadaan tidak baik). Kabar terakhir, UAS dipolisikan karena dianggap memenuhi unsur penistaan agama. Ada beberapa pandangan saya di sini, terkait kasus tersebut.
Pandangan tersebut adalah sebagai berikut:
Bagi saya, kesalahan juga ada pada penanya. Memang penanya bermaksud mendapat kejelasan dengan bertanya, "Apa sebabnya Ustad, jika saya melihat salib, menggigil hati saya?" Tapi pertanyaan semacam itu hampir retoris, yang menggiring pada jawaban yang tidak bisa tidak, dalam konteks mimbar keagamaan, harus memihak. Agaknya kurang meyakinkan kalau UAS menjawab dengan misalnya, "Mungkin Ibu sedang capek atau kedinginan, karena dalam salib tidak ada apa-apa kok."
Memang UAS memperagakan beberapa kali pose Yesus yang disalib ketika di waktu bersamaan berbicara soal jin kafir - seolah-olah jin kafir yang dimaksud adalah Yesus -. Tapi bisa jadi ada versi lain, karena UAS juga menyebut soal patung di dalam rumah. Artinya, bukan Yesus sama dengan jin kafir, tapi mungkin saja maksudnya: patunglah yang menyebabkan ada jin kafir hinggap dan bersemayam di dalamnya. Ini berlaku untuk semua patung, dan di dalamnya tentu termasuk patung Yesus.
Apakah lazim jika di hadapan massa sendiri seorang pemuka agama mengagungkan agamanya dengan cara salah satunya membandingkan dengan agama lain? Agaknya lumayan lazim, dan memang demikian cara yang sering dilakukan dari berabad-abad yang lalu. Saya tidak mengikuti banyak khotbah dari macam-macam agama, tapi saya asumsikan saja demikian, kecuali dalam kondisi sosial masyarakat yang tidak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Misalnya, sukar bagi khotbah agama Buddha yang jumlahnya relatif sedikit di Indonesia (minoritas), untuk mengatakan sesuatu tentang agama Islam, misalnya. Karena posisi agama Buddha dengan demikian jadi agak terancam. Jadi, apa yang digembar-gemborkan UAS tentang agama lain adalah praktik lazim di hadapan massa sendiri dan semakin diperkuat oleh posisi agama Islam yang "mayoritas" sehingga punya posisi yang cukup kuat untuk membicarakan agama lain seolah-olah UAS dan jemaatnya ini lebih superior. Memang pasti menjadi masalah jika hal yang tadinya dibicarakan secara "internal", kemudian jadi konsumsi "eksternal" oleh sebab pemuatannya di Youtube.
Ini tidak bermaksud mensimplifikasi persoalan UAS di atas, tapi agaknya luka akibat polarisasi Pemilu 2019 kemarin masihlah tersisa. Maksudnya, UAS memang mengucap hal yang keliru dan menyinggung, tapi posisi politiknya kemarin mungkin sedikit banyak memengaruhi psikologi banyak orang untuk tidak begitu saja "melepas" UAS. Apalagi komentar warganet juga tidak sedikit yang membandingkan kasus UAS dengan kasus Ahok ketika juga dianggap menista agama. Kasarnya, ada semacam "balas dendam". Namun, sekali lagi, ini bukan dugaan yang mengarah pada reduksionisme, seolah-olah urusan kasus ini "hanya" urusan keberpihakan politik masa lalu. Unsur-unsur penistaan agama tetap ada, dan baiknya tetap dilanjut saja proses pemeriksaanya.
Tapi di sisi lain, perlukah pasal tentang penistaan agama ini? Sekarang urusannya jadi saling melapor dan memenjarakan. Padahal apa yang dilaporkan seringkali "hanya" berupa penistaan terhadap simbol-simbol, yang notabene, semestinya, tidak memberi dampak apa-apa terhadap ketahanan iman dari jemaat suatu agama. Ini hampir mirip dengan pelaporan pada kasus sebelumnya, terhadap ibu yang membawa anjing ke dalam masjid. Pasal penistaan agama jadinya tidak lagi menelaah intensi dari si "penista", tapi hanya lebih berpihak pada aduan dari orang yang agamanya merasa "dinistakan". Artinya, bisa saja si "penista" tidak ada maksud ke arah sana, tapi ujungnya tetap dipenjara juga oleh sebab aduannya terlalu kuat.
Akhirul kata, UAS tetap harus diberi pelajaran. Semoga warganet yang merekamnya, sadar bahwa perbuatan merekam dan mengunggah yang ia lakukan, telah membuat ruang privat (dalam konteks agama dalam sistem tertutup) menjadi "ruang publik" yang ditonton oleh masyarakat secara bebas.