Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Pertama kali saya mendengar nama Haruki Murakami adalah dari seorang kawan bernama Heru Hikayat. Tidak banyak yang diceritakan Mas Heru soal siapa Murakami ini. Ia cuma bilang bahwa Murakami adalah seorang penulis yang juga rajin mengikuti kompetisi maraton. Pernah Mas Heru mengirimi beberapa cerita pendek yang ditulis oleh Murakami tapi saya mengabaikannya. Namun entah kenapa, di suatu Sabtu ketika saya sedang berjalan-jalan di toko buku, ada buku Norwegian Wood terpajang di jajaran buku unggulan. Ada energi aneh yang menarik saya untuk membelinya. Buku ini memang mempunyai energi yang aneh sekali. Jika kamu ingin tahu apa yang diceritakan dalam Norwegian Wood , maka saya akan mengatakan bahwa buku ini tidak lebih dari sekadar percintaan remaja usia 20-an. Dua orang saling mencintai, lalu terdapat orang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya sehingga suasana menjadi repot. Namun yang menjadi titik berat Murakami adalah bagaimana ia menceritakan kisah cinta itu. Meski ceritany