Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Mimpi yang Aneh

Mungkin ini adalah periode terlama saya tidak menulis blog. Sepanjang bulan November, saya sama sekali tidak punya waktu (atau tidak punya ide) untuk menerbitkan posting-posting baru. Padahal, sejak punya blog lima tahun silam, saya selalu bisa mengisi minimal dua kali dalam sebulan. Jujur memang ketiadaan posting tersebut adalah karena sesuatu yang sedang saya kerjakan, dan barangkali dapat dikatakan sebagai "mimpi yang aneh". Mengapa? Begini ceritanya: Selesai menggarap buku Nasib Manusia , saya tiba-tiba bersemangat untuk menulis buku yang lain, berjudul Filsafat Komunikasi: Dari Sokrates Hingga Buddhisme Zen . Karena memang suka dan mendalami filsafat sudah sejak lama, maka bagi saya sendiri, tidak susah untuk menuliskannya. Dalam waktu hampir sebulan setengah, saya sudah merampungkan enam dari sepuluh bab yang direncanakan. Proses menulis saya tersebut ternyata tercium oleh kawan saya, seorang direktur penerbitan yang bernaung di bawah sebuah perusahaan telekomunik

Belajar dari Mengajar

  Sampai hari ini, ketertarikan terbesar saya masih pada bidang filsafat. Filsafat adalah hal yang tidak saya pelajari secara resmi -jika definisi resmi adalah jurusan di masa kuliah-. Akibat tidak belajar di universitas mengenai hal tersebut secara spesifik, terang saja butuh tenaga lebih untuk comot ilmu sana-sini demi meredakan dahaga yang tidak pernah habis-habis.  Sumber pertama, saya mencomot ilmu filsafat dari buku-buku filsafat, tentu saja. Dengan tertatih-tatih, saya mencoba mencerna buku-buku semacam Dunia Sophie karya Jostein Gaarder dan Petualangan Filsafat: Dari Sokrates ke Sartre karya T.Z. Lavine. Kedua, saya ikut kursus filsafat di Unpar dengan nama Extension Course Filsafat (ECF). Di sana, saya mengalami banyak pencerahan terutama dari paparan orang-orang yang mempunyai ethos tinggi seperti Bambang Sugiharto, Franz Magnis Suseno, dan Goenawan Mohamad.  Ketiga, ini juga tidak kalah penting, adalah berbincang dengan bapak saya. Ia sepertinya senang dengan keg

Proporsionalisme

Sekarang, orang yang mempunyai banyak kemampuan, berpotensi dikenai tuduhan tidak profesional. Bapak saya adalah seorang seniman, tapi juga sekaligus atlit pingpong. Oleh kawannya, ia sempat dikomentari, “Seniman kok olahraga!” Bapak saya menanggapi hal tersebut dengan tertawa. Katanya, “Mungkin teman saya itu punya stereotip bahwa seniman adalah orang yang merokok, minum kopi, dan bajunya penuh cipratan cat setelah habis berkarya. Citra olahraga tidak pernah melekat dalam diri seorang seniman.”  Dunia modern sukses melahirkan konsep profesionalisme. Kemungkinan ia lahir dari sistem akademik yang percaya bahwa seorang individu sebaiknya hanya menjadi pakar di satu bidang. Untuk apa? Agar ia bisa fokus dan bidang yang ia tekuni dapat berkembang. Tapi kita bisa tengok Aristoteles, filsuf Yunani dari sekitar empat ratus tahun sebelum masehi. Oleh dunia kita hari ini, ia disebut sebagai seorang polymath atau seorang serba bisa. Kita tidak bisa mencap Aristoteles dengan satu sebutan sa

Kebahagiaan dan Alam Sana

  Kata Mohammad Hatta dalam bukunya yang berjudul Alam Pikiran Yunani , orang yang belajar filsafat adalah orang yang bahagia karena ia hidup di alam lain. Apa maksud perkataan itu tidaklah jelas. Juga diantara kita, yang tidak menyukai filsafat, tentu saja juga mempunyai kebahagiaannya sendiri. Mungkin malah sebaliknya. Mereka yang belajar filsafat tampak seperti orang-orang yang bingung, gelisah, dan murung. Jadi, apa maksud kata-kata Mohammad Hatta tersebut? Belakangan ini saya kerap menemukan cerita-cerita dari sekitar. Isinya seputar konflik dan kesedihan. Mulai dari rumah tangga yang kurang harmonis, lingkungan kerja yang menyebalkan, hingga pencapaian dan target hidup yang tak terpenuhi. Keseluruhan cerita tersebut membuat saya bertanya-tanya, apakah kebahagiaan itu sebenarnya? Apakah jika hal-hal diatas teratasi, kita bisa menjadi bahagia? Pertanyaan yang mengerikan adalah: Apakah saya bahagia?  Pertanyaan yang terakhir adalah yang paling menggelitik. Juga untuk menjawa

Ketidakmungkinan Identitas

Kemarin saya berbincang dengan seorang penulis dan budayawan bernama Ahda Imran. Kami berbincang di Taman Cibeunying soal seni tradisi, kebudayaan, dan identitas. Katanya, kaum puritan, yang menginginkan segala seni mesti mengacu pada akarnya ( pure , murni), sering lupa bahwa sebenarnya akar itu sendiri tidak pernah ada yang murni. "Ada yang memainkan lagu ciptaan Mang Koko dengan cara yang lain sekali dan kemudian dikritik sebagai re-interpretasi yang keliru. Mungkin sang pengritik lupa bahwa jikapun Mang Koko masih hidup, ia juga pasti mengaku bahwa inspirasinya berasal dari sesuatu di luar," ungkap Kang Ahda. "Identitas itu hanya ada bagi orang mati," kata Rocky Gerung di suatu forum dua tahun silam, dalam rangka menjawab pertanyaan saya mengenai: Kenapa posmodernisme itu bukannya dijadikan peluang untuk menumbuhkan identitas kita? Kenapa ketika kita bicara tentang posmodernisme, kita malah kembali menoleh pada pemikiran-pemikiran Barat seperti Lyotard, Fouc

Sekilas Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu penting untuk dipelajari sebelum memasuki dunia penelitian. Dalam filsafat ilmu, kita membedakan terlebih dahulu dengan jernih perihal, misalnya, peristilahan ilmu, pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan sains. Dalam filsafat ilmu juga kita belajar tentang arti dari teori, paradigma, metode, dan metodologi –hal-hal yang akan sering kita dengarkan pada pelajaran mengenai kualitatif nantinya-. Namun sebelum memasuki semua bangunan tersebut, ada fundamen yang harus terlebih dahulu dipahami, yaitu epistemologi.  Epistemologi  Bidang kajian filsafat konon ada tiga, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi yaitu belajar tentang hakikat, esensi, abstraksi, dan tentang “ada” dari sesuatu. Misalnya, bagaimana memandang manusia secara ontologis? Kita bisa memandang manusia sebagai apa yang dikatakan Martin Heidegger sebagai sebuah keterlemparan. “Ada”-nya manusia terlempar begitu saja tanpa sebuah rencana dan tanpa sebuah makna. Kita bisa juga pandang manusia seca

Perkembangan Ilmu Sosial

Sebelum berbicara soal pendekatan kualitatif, terlebih dahulu kita harus bicara tentang kenyataan ilmu-ilmu sosial. Namun sebelum berbicara tentang kenyataan ilmu-ilmu sosial, ada baiknya juga kita bicara tentang kenyataan ilmu-ilmu alam.  Sejarah Singkat Ilmu Alam: Fase Mitos  Jika kita mencoba menalar dengan pikiran kita sendiri, mungkin manusia terlebih dahulu berkutat dengan misteri alam semesta ketimbang misteri tentang manusia. Kenapa? Karena segala kebutuhan hidupnya yang paling dasariah tentu saja ia dapatkan dari alam. Ia sangat bergantung pada sungai, tanah, hujan, pohon, tumbuhan, hingga hewan-hewan. Manusia mula-mula mencoba memecahkan bagaimana caranya agar segala sesuatu itu terkontrol dengan baik sehingga hidupnya sendiri menjadi sedikit demi sedikit lebih terprediksi. Bayangkan jika manusia hanya mengandalkan hewan buruan yang berkeliaran di hutan-hutan liar yang rimbun dan gelap, tentu saja ia tidak bisa memprediksi apakah hewan tersebut akan ada esok hari ata

Mengenal Fenomenologi

Pada tulisan kali ini, saya tidak akan mengenalkan fenomenologi secara teoritis -seperti melibatkan nama-nama semacam Husserl, Heidegger, Marleau-Ponty, atau Schutz-. Saya akan mencoba secara perlahan berbagi tentang fenomenologi lewat contoh-contoh konkrit. Harapannya, mereka yang membaca tulisan ini dengan status awam, kemudian tertarik untuk melanjutkan bacaannya ke arah yang lebih teoritik baik soal sejarah maupun metodologinya secara lengkap. Pertama, pernahkah kita punya suatu pengalaman yang sangat personal terhadap misalnya, suatu benda? Benda itu bisa apa saja, boleh jaket, tas, baju, mobil, parfum, hingga sepatu. Benda-benda tersebut menjadi personal oleh sebab keberadaannya di dalam keseharian kita. Jaket warna abu-abu ini tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Karena jaket ini pernah menemani saya pergi keliling Indonesia dengan menggunakan sepeda. Nilai penting jaket tersebut mungkin hanya dipunyai oleh orang tersebut dan tidak bagi yang lain.  Namun apa yang pers

Nasib Manusia

Judul Buku : Nasib Manusia Genre : Biografi Objek Kajian : Kisah hidup Awal Uzhara Penulis : Syarif Maulana Penerbit : Publika Edu Media ISBN : 978 - 602 - 14138 - 6 - 9 Tahun Terbit : 2014 Jumlah Halaman : 120 Harga :  Rp. 40.000 Ulasan Awal Uzhara adalah orang besar sekaligus bukan siapa-siapa. Orang besar karena ia adalah satu dari sedikit penerima beasiswa untuk bersekolah di VGIK, Moskow yang merupakan institut sinematografi tertua di dunia. Selain aktivitasnya di dunia akting dan penyutradaraan, Awal Uzhara juga turut berjasa menyebarkan kebudayaan Indonesia di Rusia lewat kegiatan mengajarnya di Universitas Negeri Moskow. Awal Uzhara adalah juga sekaligus bukan siapa-siapa oleh sebab nasibnya yang terkatung-katung di negeri orang. Kewarganegaraannya dicabut oleh pemerintah Indonesia sehingga lebih dari lima puluh tahun tidak bisa pulang ke Indonesia. Buku ini memuat seluruh kisah hidupnya yang penuh paradoks. Ia adalah orang yang diingat sekaligus dilupakan.

Fatimah Chen Chen: Pesan Tersirat dalam Nama-Nama

Jadi ceritanya begini: Istri saya punya teman semasa kuliah. Temannya semasa kuliah tersebut mengirimkan novel yang katanya "buku yang ditulis oleh ayahnya". Sebelumnya, saya tidak menduga novel apa gerangan dan siapa penulisnya. Ketika buku tersebut sampai, saya membaca judulnya terlebih dahulu yang tentu saja terpampang lebih besar dari nama sang penulis. Judul novel adalah Fatimah Chen Chen . Penulisnya? Motinggo Busye . Fatimah Chen Chen berkisah tentang seorang perempuan Taiwan bernama Chen Chen yang menjadi muallaf setelah melalui berbagai kejadian. Tidak hanya dirinya sendiri, Chen Chen juga sanggup membuat seisi keluarganya tertarik pada Islam. Novel ini tampak sederhana, meskipun sebenarnya tidak. Sederhana karena pembaca manapun akan dengan mudah mengikuti alur ceritanya dan mungkin tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya -saya perlu tiga hari dan itu masih terlalu lama-. Gaya bahasa Motinggo sungguh lincah dan lugas. Ia memadatkan perubahan demi per

Sepakbola dan Kehidupan

  Sejak Brasil mengalami kekalahan mencengangkan 1-7 dari Jerman, entah kenapa, saya tidak henti-hentinya membuka berita dari internet untuk hanya sekedar mengetahui seberapa mendalam efek kekalahan tersebut bagi penduduknya. Sebuah koran terkenal di Brasil menyebutkan bahwa tragedi kekalahan tersebut lebih dahsyat dari tragedi kekalahan dari Uruguay pada tahun 1950 yang disebut dengan Maracanazo;  Presiden Brasil, Dilma Rousseff mengatakan, "Bahkan mimpi buruk saya pun tidak pernah sepahit ini."; Eks striker Brasil, Romario, bahkan menganggap bahwa para petinggi sepakbola Brasil sudah sepantasnya dijebloskan ke penjara; Sang pelatih, Luiz Felipe Scolari menanggapi kekalahan tersebut dengan mengatakan bahwa ini adalah kejadian paling pahit dalam karir kepelatihannya. Keseluruhan respon tersebut membuat saya bertanya: Lebih besar mana, sepakbola atau kehidupan? Mudah sekali bagi kita untuk menjawab bahwa tentu saja sepakbola hanyalah olahraga dan kehidupan merupakan sesuat

Angkot

Aki mobil hari ini habis dan tidak ada peluang bagi dirinya untuk di- starter . Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat kerja dengan menggunakan angkutan kota (angkot). Meski sehari-hari saya menggunakan kendaraan pribadi, tapi penggunaan angkot sama sekali bukan hal baru -dari SMP hingga selepas sarjana, kemana-mana saya menggunakan angkot-. Tapi memang keanehan selalu ada. Ketika tadi naik angkot, saya merasa bahwa memang sudah lama sekali saya tidak menaikinya oleh sebab termanjakan keberadaan mobil pribadi.  Saya sadar bahwa penggunaan mobil pribadi adalah suatu jenis pengalienasian tersendiri. Kita duduk di satu ruang kendali tertutup -saking tertutupnya, suara dari luar nyaris tak terdengar- dengan udara dingin yang keluar dari mesin pendingin, serta musik yang bertujuan membawa setengah kesadaran kita ke wilayah sureal. Seluruh kaki tangan bergerak mengendalikan kendaraan dan saya adalah tuan dari apa yang saya tunggangi. Intinya, mobil pribadi adalah suatu perasaan ketuana

Masalah-Masalah Ilmu Komunikasi

Untuk menuliskan ini, sangat tidak sederhana. Pertama, saya mesti melontarkan kritik pada ilmu yang sudah membesarkan dan juga memberi nafkah bagi saya. Ilmu komunikasi, bagaimanapun, telah menjadikan saya bergelar magister dan berperan membuat saya diterima menjadi dosen di sebuah kampus dengan gaji lumayan. Kedua, ilmu komunikasi tengah populer dan menjadi semacam kebutuhan jaman. Indikasinya barangkali terlihat dari bagaimana banyak kampus mulai membuka jurusan maupun fakultas ilmu komunikasi yang mana peminatnya jarang sekali sepi.  Namun sudah sejak kuliah S2 sekitar enam tahun silam, saya sudah merasakan semacam kegelisahan tentang ilmu komunikasi. Saya merasa ada lubang yang jujur saja, belum mampu saya ejawantahkan secara jernih. Ketika saya menuliskan ini pun, bukan berarti saya sudah mengerti betul apa yang saya kritik  Barangkali saya menulis ini hanya dalam rangka membuka wacana kritis terhadap ilmu komunikasi, dengan harapan ada gayung bersambut agar si ilmu itu sendir

Akhir Sejarah

Francis Fukuyama menulis buku berjudul The End of History and The Last Man (1952) yang berisi ramalan bahwa bahwa perkembangan sosio-kultural manusia sudah selesai ketika seluruh negara sudah menganut sistem politik demokrasi liberal dan sistem ekonomi kapitalisme pasar bebas. Fukuyama menyebutnya dengan istilah menarik: Akhir sejarah.  Untuk membedah ramalan Fukuyama tersebut, pertama-tama yang kita lakukan adalah memetakan terlebih dahulu bagaimana sejarah berjalan. Ada yang melihat sejarah sebagai lingkaran sehingga segala sesuatu terus berulang (Pemikiran Buddhisme menganut hal tersebut dan juga Nietzsche). Ada juga yang melihat sejarah sebagai suatu gerak lurus yang berakhir pada sesuatu (Seperti halnya agama Abrahamistik dan juga konsep sejarah ala Hegelian). Ramalan Fukuyama dapat dilihat sebagai suatu gerak lurus (karena mengarah pada sesuatu yang final), tapi juga sebagai gabungan keduanya. Artinya, ada suatu gerak lurus sejarah yang mengarah pada pembentukan demokrasi li