Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Pertama kali saya mendengar nama "Metallica" adalah ketika SD. Waktu itu, kakak saya mewartakan kegembiraannya setelah membeli Black Album dengan harga Rp. 3.000. Katanya, "Album Metallica ini keren sekali. Coba lihat sampulnya. Seperti yang hitam pekat kan? Padahal ada gambar ularnya!" Setelah itu saya lupa sama sekali tentang Metallica hingga akhirnya pada masa SMP, saya menemukan majalah HAI edisi khusus membahas Metallica. Jadi, pertemuan pertama saya dengan Metallica tidak lewat musiknya terlebih dahulu, melainkan dengan mula-mula ikut-ikutan kakak saya dan membaca sejarahnya. Kaset Metallica yang saya beli pertama kali adalah Ride The Lightning . Album tersebut dibeli di Yogya ketika study tour bersama teman-teman satu angkatan. Saya, yang waktu itu kelas 2 SMP, sangat terkejut dengan kecepatan band ini sejak dari track pertamanya yang berjudul Fight Fire with Fire . Padahal dalam lagu tersebut, saya dibuai dengan petikan gitar akustik yang lembut