Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Saya lupa kapan mulai berkenalan dengan filsafat. Tapi resminya, boleh dibilang ketika saya mengikuti extension course filsafat di tahun 2006. Kegiatan rutin tiap Jumat malam di Jl. Nias itu, pelan tapi pasti, mengubah cara pandang saya. Saya ingat, awal mula materi di extension course itu, adalah soal antropologi manusia. Saya berkenalan diantaranya dengan pemikiran Nietzsche, Marleau-Ponty dan Lacan soal manusia ini sebenarnya apa, dari mana, mau ke mana? Apakah makhluk yang sudah selesai, atau sedang dalam proses? Lantas, apakah yang dinamakan hubungan sesama manusia itu? Lalu, bagaimana manusia mendefinisikan baik-buruk? Ketuhanan? Macam-macam lah pokoknya, membuat saya kebingungan dan keluar ruangan dalam perasaan yang aneh. Perasaan yang, ternyata, one way ticket : Tidak bisa pulang kembali ke kenyamanan yang dulu. Melainkan mesti mengarungi, terus menerus, bergulat dengan gelisah, hingga entah kapan. Demikian awal mula filsafat ambil bagian dalam hidup saya. Mulailah dibeli b