Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2010

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Filsafat itu..

Saya lupa kapan mulai berkenalan dengan filsafat. Tapi resminya, boleh dibilang ketika saya mengikuti extension course filsafat di tahun 2006. Kegiatan rutin tiap Jumat malam di Jl. Nias itu, pelan tapi pasti, mengubah cara pandang saya. Saya ingat, awal mula materi di extension course itu, adalah soal antropologi manusia. Saya berkenalan diantaranya dengan pemikiran Nietzsche, Marleau-Ponty dan Lacan soal manusia ini sebenarnya apa, dari mana, mau ke mana? Apakah makhluk yang sudah selesai, atau sedang dalam proses? Lantas, apakah yang dinamakan hubungan sesama manusia itu? Lalu, bagaimana manusia mendefinisikan baik-buruk? Ketuhanan? Macam-macam lah pokoknya, membuat saya kebingungan dan keluar ruangan dalam perasaan yang aneh. Perasaan yang, ternyata, one way ticket : Tidak bisa pulang kembali ke kenyamanan yang dulu. Melainkan mesti mengarungi, terus menerus, bergulat dengan gelisah, hingga entah kapan. Demikian awal mula filsafat ambil bagian dalam hidup saya. Mulailah dibeli b

Posmo oh Posmo

Jelas sekali, ini masa sudah berbeda. Kita masuk pada apa yang para filsuf namai dengan posmodern. Entah kita semua merasakan itu, atau hanya ada pada alam para filsuf, seperti kata Goenawan Mohammad. Yang pasti, memang ada bedanya, yang jika boleh saya menyobek kutipan macam-macam dari Lyotard, Foucault, Derrida, hingga Bambang Sugiharto, maka posmodern dapat diartikan sebagai: 1. Matinya subjek. Jika modern adalah tempat dimana subjek berkehendak bebas dan menentukan dirinya sendiri, maka dalam posmo(dern), subjek dikendalikan oleh suatu kuasa yang mana subjek pun jadi bingung, dia ada dalam kuasa atau tidak. Seperti kita berkata film Hollywood bagus, apakah memang iya kesadaran kita mengatakan demikian, atau jangan-jangan memang apa yang disuguhi pada kita, hanyalah Hollywood, sehingga pikiran kita selalu berpatokan pada Hollywood. Demikian maka cogito ergo sum Cartesian, Kehendak Bebas Sartre, Ego Freud, dan pemikiran modernis lain soal subjek ikut ketinggalan jaman. 2. Matinya

Lelaki itu Bernama Adam

Bayangkan bayangkan. Adam hidup sendirian. Ia baru saja dibuang. Dari surga yang buah-buahan dan susu sedemikian dihamparkan. Turun ia ke bumi, ke dunia yang kejam dan keji. Kemana Hawa? Tuhan punya rahasia. Meski keduanya makan khuldi bersamaan, tapi Tuhan hanya memilih Adam. Ia berdosa, Hawa juga iya. Tapi Tuhan punya rahasia. Demikian Adam hidup di bumi. Bercocok tanam dan berburu binatang. Disertai luka di hati, karena lepas dari nikmatnya surgawi. Adapun ia tak henti bersedu sedan, karena tiada lagi teman. Hawa yang cantik dan satu itu, entah kenapa tak diturunkan Tuhan. Ia juga kesal pada Hawa, iri tepatnya. Karena kami sama-sama makan khuldi. Sama-sama terbujuk setan terkutuk. Tapi kenapa ia tetap berada di surga? Atau malah ia ada di neraka? Pikiran terakhir itu membuatnya bingung. Entah lega atau sedih. Ia tak mau Hawa berada di neraka, tapi merasa tak adil jika dirinya bernasib lebih buruk atas suatu perbuatan yang sama. Mengapa aku memakan buah itu? Padahal rasanya tak begit

Baik - Buruk

Dulu dalam satu kuliah dari Pak Slamet di Extension Course Filsafat UNPAR, saya pernah mendapati satu pernyataan (atau pertanyaan) yang cukup membuat saya merenung-renung hingga sekarang: Bagaimana posisi baik-buruk itu sebenarnya? 1. Baik-buruk itu dualisme. Saling mengadakan. 2. Buruk adalah cacat dari baik, sehingga kebaikan adalah utama. 3. Manusia terlahir bebas. Baik-buruk adalah soal kesepakatan. Saya awalnya, karena banyak membaca Sartre. Setuju yang nomor tiga. Menurut saya itu Sartrean sekali: "Man are condemned to be free". Jika Dostoyevsky bilang, "Jika Allah tidak ada, semuanya boleh.", Sartre bilang, "Manusia boleh melakukan semua, maka itu Allah tidak ada." Artinya, segala baik-buruk, adalah soal bagaimana manusia memutuskan. Mengambil keputusan atas pilihan-pilihan hidup yang disediakan. Dengan demikian sepaket dengan konsekuensi etisnya. Pada akhirnya saya tidak bertahan lama dengan nomor tiga ini, karena paradoks semantik Sartre. Ia menga