Dari mulai tanggal 23 Desember 2015 hingga 2 Januari 2016 kemarin, saya ditinggal sendirian di rumah. Istri dan anak berlibur ke Jakarta. Meski demikian, tinggal sendiri ini bukan semata-mata karena keterpaksaan. Saya pribadi memilih untuk sendirian, alih-alih tidur di rumah orangtua yang jelas lebih nyaman dan tak perlu memikirkan kebersihan, kunci-kunci, lampu-lampu, makan pagi hingga malam, dan sebagainya. Mengapa saya memilih untuk sendirian? Alasannya sederhana -tapi bisa juga dikatakan rumit-: Saya ingin merasakan mengurus rumah seorang diri. Semoga dengan demikian, bisa timbul empati pada istri yang sehari-hari memang memfokuskan kegiatannya pada pekerjaan rumah tangga.
Ternyata memang saya rasakan pekerjaan rumah ini sungguh tidak ada habisnya. Sebelum tidur harus menutup korden, menyalakan lampu, dan memastikan pintu terkunci. Bangun tidur, saya harus melakukan hal yang sebaliknya. Perut lapar, hidangan tidak langsung terhidang. Saya harus menanak nasi, menyiapkan wajan untuk memasak (yang dimasak rata-rata tidak jauh dari kombinasi tahu dan telur), mengecek sisa air di dispenser, sampai yang terpenting: memperhitungkan berapa piring, gelas, dan sendok garpu kotor yang nanti harus saya cuci. Ada juga hal-hal yang di luar kapasitas tangan saya, seperti pel, sapu-sapu, sampai membereskan seprai bekas tidur dan juga memasukkan baju yang habis dicuci laundry ke dalam lemari.
Walhasil, rencana untuk lebih produktif membaca dan menulis karena tinggal sendiri malah gagal total. Waktu dan tenaga saya terkuras habis untuk pekerjaan rumah -tadinya saya pikir, jika waktu produktif saya sekitar sepuluh jam per hari, mau disisakan lima jam untuk beres-beres dan lima jam sisanya untuk membaca dan menulis-. Tapi saya tidak menyesal oleh sebab pelajaran hidup yang lebih berharga dari sekadar membaca dan menulis: Oh, ternyata mengerjakan pekerjaan rumah itu filosofis. Filosofis karena kita berurusan dengan hidup yang lebih konkrit. Kita tidak sedang membicarakan filsafat eksistensialisme yang katanya paling konkrit padahal tetap saja mengabstrakkan diri pada hal-hal terkait kegelisahan dan kecemasan. Tidakkah para tokoh eksistensialis yang didewakan macam Nietzsche, Kierkegaard, Camus, Dostoevsky, hingga Marcel, punya orang-orang yang membersihkan piring mereka sesudah makan, merapikan baju agar bisa difoto dengan epik, sampai menyiapkan kertas untuk mereka menulis? Mungkin saja, tapi orang-orang dengan pekerjaan "kecil" itu tidak pantas dituliskan dalam sejarah. Karena isi sejarah mungkin saja hanya tentang orang-orang yang tidak punya waktu untuk berkutat dengan pekerjaan rumah. Seperti para pemikir Yunani Kuno yang hanya bisa mentereng karena pekerjaan rumahnya sudah selesai oleh para budak.
Walhasil, rencana untuk lebih produktif membaca dan menulis karena tinggal sendiri malah gagal total. Waktu dan tenaga saya terkuras habis untuk pekerjaan rumah -tadinya saya pikir, jika waktu produktif saya sekitar sepuluh jam per hari, mau disisakan lima jam untuk beres-beres dan lima jam sisanya untuk membaca dan menulis-. Tapi saya tidak menyesal oleh sebab pelajaran hidup yang lebih berharga dari sekadar membaca dan menulis: Oh, ternyata mengerjakan pekerjaan rumah itu filosofis. Filosofis karena kita berurusan dengan hidup yang lebih konkrit. Kita tidak sedang membicarakan filsafat eksistensialisme yang katanya paling konkrit padahal tetap saja mengabstrakkan diri pada hal-hal terkait kegelisahan dan kecemasan. Tidakkah para tokoh eksistensialis yang didewakan macam Nietzsche, Kierkegaard, Camus, Dostoevsky, hingga Marcel, punya orang-orang yang membersihkan piring mereka sesudah makan, merapikan baju agar bisa difoto dengan epik, sampai menyiapkan kertas untuk mereka menulis? Mungkin saja, tapi orang-orang dengan pekerjaan "kecil" itu tidak pantas dituliskan dalam sejarah. Karena isi sejarah mungkin saja hanya tentang orang-orang yang tidak punya waktu untuk berkutat dengan pekerjaan rumah. Seperti para pemikir Yunani Kuno yang hanya bisa mentereng karena pekerjaan rumahnya sudah selesai oleh para budak.