Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2011

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Nam June Paik

Siapa itu Nam June Paik? Sekarang saya tahu, dia seorang Amerika kelahiran Korea yang dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan konsep video art . Ia pernah membuat karya fenomenal bernama TV Cello . Yaitu tiga tumpuk televisi dengan ukuran berbeda dan diberi senar sehingga bisa digesek layaknya cello. Ia berpartisipasi pada suatu gerakan seni yang cukup populer di tahun 1960-an, namanya Fluxus. Tapi sebelumnya, saya cuma sering mendengar orang bernama Nam June Paik. Sejak saya kecil nama itu terngiang-ngiang. Saya tidak ingat, tapi rasanya bapak saya kerap mengucap nama tersebut tanpa saya paham siapa dia. Nam June Paik . Nam June Paik . Singkat cerita, saya mendapat undangan berbicara di sebuah penutupan pameran. Tepatnya bukan undangan, tapi kehormatan untuk menggantikan bapak yang seharusnya bicara, tapi urung hadir dan akhirnya didelegasikan pada saya. Saya kelabakan karena jarak dari pemberitahuan ke acara itu hanya sekitar lima hari. Saya sama sekali tidak mendalami seni

Surat Cinta dari Korea (10 - selesai)

Sungai Han yang Menenangkan Kekasihku, Apakah sesungguhnya makna liburan itu sejatinya? Apakah menghabiskan uang? Tentu saja perlu uang, tapi aku tak setuju menyebut "menghabiskan". Karena menghabiskan berarti tidak menukarnya dengan apapun juga. Dan tidak ada apapun yang tidak ditukar dengan apapun. Tidak ada satu halpun di dunia ini yang memberi saja atau menerima saja. Guru yang tidak dibayar sekalipun, sesungguhnya ia mendapat kebahagian dari apa yang sudah ia berikan. Dan apalah artinya uang itu menemukan fungsinya yang sejati, kecuali ditukar dengan pengalaman. Pengalaman adalah hal yang membuat manusia menemukan dinamikanya. Tuhan menciptakan manusia berumur pendek. Sehingga masing-masing dari mereka tak mungkin menjelajahi keseluruhan dari dunia. Namun Tuhan juga menciptakan kelima indra bersama memori untuk menyimpan ingatan. Sehingga apa yang dilihat oleh masing-masingnya, bisa dibagi ke orang lain yang tidak mengalami. Demikian indahnya kehidupan ini, salah satunya

Di Tepi Sungai Han Aku Duduk dan Menggalau

O, Tuhan, untuk apa engkau menciptakan manusia? Untuk membuatku tertawa-tawa, Nak. Agar aku tak sepi sendiri. Apakah manusia itu sendiri harus ikut tertawa-tawa? Harusnya iya, karena apalah hidup itu kalau bukan komedi. Hanya itu? Dan tragedi. Jika sedemikian menyedihkannya, apa yang kau harapkan dari manusia, ya Rabbi? Tidak ada. Menurutmu? Jadi kehidupan ini sia-sia saja? Kamu bisa pura-pura tidak, jika mau. Bagaimana caranya? Harapan. Lalu, apa yang bisa dibanggakan dari manusia? Mungkin, kebudayaan. Apa itu kebudayaan, Ilahi? Sesuatu yang membedakan kalian dari binatang. Aku punya pertanyaan lain, apa itu agama? Aku tak tahu. Bukan aku yang menciptakan. Siapa? Tanya saja temanmu. Mengapa banyak yang kamu tak tahu, Rabb? Karena aku menciptakan manusia mula-mula, dan membiarkan mereka melakukan apa saja yang dimaui. Apakah kamu menciptakan seperangkat aturan juga? Tidak. Aku hanya menciptakan manusia. Kalau begitu, kapan itu kiamat? Aku belum bosan, sepertinya masih lama. O, Tuhan, t

Surat Cinta dari Korea (9)

Sayangku, cintaku, belahan jiwaku, Korea bukanlah negara yang purba-purba amat. Maksudnya, meskipun ia sudah tegak berdiri sejak lama, namun berbagai perang dan penjajahan yang melandanya membuat mereka tertatih-tatih dalam membangun peradaban. Tahun 1910 hingga 1945, mereka dijajah oleh Jepang yang mengerikan. Hanya diakibatkan oleh kekalahan Jepang di Perang Dunia II, maka Korea akhirnya mampu merdeka. Tak lama kemudian Korea dikecamuk oleh Perang Korea, yaitu perang saudara yang di belakangnya terdapat dalang-dalang dari luar. Perang macam begini disebut dengan proxy war, karena ini sesungguhnya adalah Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun dalam pertempuran lapangan, mereka memanfaatkan orang-orang Korea. Kejam sekali! Perang Korea adalah perang antara wilayah utara Korea dan wilayah Selatan. Wilayah utara, kamu tahu, mereka berfaham komunis dan dikendalikan oleh Uni Soviet. Sedang di selatan berdiam Amerika Serikat dan berfaham liberal. Konon ini salah satu pep

Surat Cinta dari korea (8)

Sayangku, setelah seminggu lebih aku di sini, adakah yang berubah terhadap caraku berpikir? Ada. Terlebih tentang teknologi. Di sini, teknologi sangatlah canggih. Semua serba terprediksi, serba komputerisasi, serba cepat dan akurat. Segala aktifitas manusia betul-betul difasilitasi. Aku juga meralat ketika mengatakan sign system di sini jelek. Setelah bimbingan Rony dan akhirnya aku mencobanya sendiri, ternyata lama kelamaan aku sadar kalau sign system di sini sangatlah jelas! Dalam subway sekalipun, peta ditempelkan hampir di setiap kita mau menaiki tangga ke jalan raya. Ketika aku menuliskan ini aku baru saja pulang jalan-jalan sendiri untuk pertama kalinya, tidak ikut rombongan, dan sukses meskipun sempat nyasar-nyasar hingga kaki pegal-pegal. Kembali ke teknologi. Apa sesungguhnya hakikat teknologi? Teknologi adalah sesuatu yang mempermudah kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang aku sebutkan adalah kebutuhan fisik. Dulu orang makan dengan berburu, tapi karen

Berdoa di Facebook

Bagi pengguna jaringan sosial, tentu saja bukan hal yang sulit menemukan kawan-kawan yang kerap berdoa di statusnya sendiri. Misalnya, "Bismillah, semoga hari ini lancar. Amin!" atau "Alhamdulillah ya Allah, urusan hari ini selesai juga." Segala doa yang kiranya positif, jelas menyenangkan dan menyejukkan kala dibaca. Walhasil, status-status seperti ini biasanya menjadi sasaran empuk jempol dan komentar. Berdoa, jika kita sama-sama telusuri dengan mengira-ngira, barangkali sebuah kegiatan yang lebih purba dari agama. Jika bicara agama, maka tidak bisa lepas dari sistem. Agama adalah sistem kepercayaan. Di dalamnya terkandung jalinan rapi antara kitab suci, pengikut, ritual, orang suci, dan Tuhan itu sendiri. Maka tentu, agama barangkali tidak turun satu paket sekaligus. Kristen misalnya, pernyataan tentang apakah Yesus sendiri adalah seorang Kristiani atau bukan selalu mengemuka. Ini disebabkan oleh tiadanya pernyataan dari dirinya bahwa ia adalah seorang Kristen. I

Surat Cinta dari Korea (7)

Cintaku, Tahun 1998 aku pernah punya impian. Aku akan menabung empat tahun lamanya, agar pada tahun 2002 aku bisa pergi ke Jepang dan Korea menyaksikan Piala Dunia. Tapi impian tinggal impian, cita-cita tak terlaksana dan aku hanya menyaksikan dari televisi di Indonesia. Namun bukanlah suatu dosa jika apa yang kuimpikan baru terwujud sembilan tahun kemudian. Tadi sore, aku melaporkan dengan bangga kepadamu bahwa aku telah berhasil menginjak stadion yang aku idam-idamkan. Namanya: Seoul World Cup Stadium! Bersama Rony, kawanku yang hangat, kami mengitari stadion bersejarah itu. Tahukah kamu, sayang, bahwa Piala Dunia hanya diselenggarakan di dua benua yaitu Amerika dan Eropa, sampai tiba saatnya 2002 bahwa untuk pertama kalinya Asia yang dipercaya. Jepang dan Korea bisa dibilang sangat sukses dalam menyelenggarakannya. Hal tersebut juga diikuti oleh kesuksesan kedua tim tersebut, meskipun Korea jauh lebih melaju dengan posisi akhir juara empat. Dengan pelatih kawakan bernama Guus Hiddin

Surat Cinta dari Korea (6)

Adakah yang lebih indah dari Tuhan? Ada, jawabnya. Yaitu, persahabatan. Dan jangan-jangan, Tuhan adalah persahabatan itu sendiri. Kita bisa mengenali suatu konsep timbal balik dengan Tuhan, saling mengisi, saling meyakini, saling percaya, mungkin diawali dari pengetahuan kita akan persahabatan dengan manusia. Di Seoul yang jauh ini, aku bertemu dengan teman-teman dari Indonesia. Adakah diantara kami dahulunya akrab? Bisa ya, bisa tidak. Bisa dibilang, kami diakrabkan oleh satu hobi dan kesenangan yang sama: gitar. Andri, adalah rival lama ketika kami masih rajin mengikuti kompetisi gitar. Sedangkan Rony, kurang lebih sama, kami bertemu dalam suatu kompetisi gitar di Yogyakarta. Andri asal Jember, Rony asal Semarang. Tapi harus diakui bahwa frekuensi jumpa kami tak seberapa. Kami hanya berkirim salam sesekali, bertemu jika ada keperluan, dan tidak tiba-tiba bertandang jika tak punya kepentingan. Namun pertemuan dengan keduanya di Seoul ini mengubah segalanya. Kami mendadak menjadi hanga

Surat Cinta dari Korea (5)

Sayangku, jika asap pertanda adanya api, lalu semut pertanda adanya gula, lalu pertemuan berarti pertanda apa? pertemuan adalah pertanda akan adanya perpisahan. Demikian juga apa yang sudah kami semua lakukan di sini, bersama-sama, dengan para delegasi AIAE. Kami bersama-sama meskipun tak lama, tapi ternyata perpisahan tetap menyedihkan jua. Sebelum masuk pada fase romantis itu, aku akan menceritakan kisah kami di pagi hingga sore hari. Karena free time , kami berencana untuk berjalan-jalan berbelanja. Kami menaiki subway , sebuah moda transportasi yang pastinya tidak dipunyai di Indonesia (katanya Jakarta mau membuatnya, kita tunggu ya realisasinya). Menaiki ini susahnya minta ampun, karena kami tidak berbicara dengan manusia, tapi mesin. Untuk memulainya, kami harus mengisi voucher kartu. Ada beberapa pilihan, ada yang satu kali jalan, ada yang seharian, ada paket manula, dan sebagainya. Hebatnya, petugas langsung datang dan cekatan membantu kami. Aku belum pernah ke Singapura, tapi

Surat Cinta dari Korea (4)

Patung Boddhisatva, koleksi paling berharga National Museum of Korea Pertama-tama, bersyukurlah karena kamu punya ibu yang berprofesi sebagai guru sejarah. Sejarah, menurutku, adalah hal yang sangat penting. Kenapa? Karena tiada sesuatupun di luar sejarah. Masa depan kita semua berpijak dari sejarah. Dan kita hari ini sedang berusaha membuat sejarah, agar siapapun di masa depan kelak mengenang kita. Manusia mesti secara teratur mempunyai waktu untuk melihat ke masa lalu. Selain kontemplasi diri, tentunya ada cara lain yang lebih "sederhana" untuk melakukan itu, yaitu pergi menengok ke museum, atau belajar dari guru sejarah yang cakap seperti ibumu. Aku mengunjungi museum tadi pagi. Namanya standar tapi kita bisa membayangkan keluasan isinya: National Museum of Korea. Museum ini, Sayang, Masya Allah, besarnya luar biasa. Hotel Hilton mungkin yang paling mewah di Bandung, tapi museum ini beberapa kali lipat lebih besar dan mewah. Sang pemandu berkata, "Ini museum nomor em

Surat Cinta dari Korea (3)

Apa yang aku ceritakan sekarang ini sesungguhnya hanya akan tentang makan dan makan. Kemarin, pagi, siang, malam, kami disuguhi makanan istimewa. Hanya manusia yang bisa memberikan penilaian bahwa suatu makanan disebut istimewa atau tidak, Sayang. Binatang tak punya itu. Bagi mereka, selama makanan sanggup menghilangkan rasa lapar, maka itu sudah cukup. Sarapan kami istimewa, karena berada di sebuah restoran di lobi hotel dimana makanan terhidang di buffet secara bebas merdeka. Maksudnya, ragamnya berjenis-jenis dan kami boleh ambil seenaknya. Ada kentang, sosis, omlet, roti, buah, susu, jus, dan juga salad. Tentunya cerita ini semacam flashback . Setelah sarapan raja tersebut, kami berangkat ke galeri Hangaram dan memulai kegiatan “Sangkuriang membuat perahu” seperti yang kuceritakan sebelum ini. Pasca display kebut selesai, kami dijamu makan siang di gedung seberang. Restoran itu aku tak tahu apa namanya, karena bertulisan bahasa Korea yang bagiku hanya terlihat seperti rangkaian g

Surat Cinta dari Korea (2)

"It's more than an airport. It's beyond expectation" Akhirnya, hampir dua belas jam perjalanan yang melelahkan, sampai juga pada Incheon International Airport. Kalimat itu tertulis pada kereta yang mengantar kami dari wing satu ke wing yang lainnya (saking besarnya bandar udara ini). Katanya, ini bandara terbaik dunia, walaupun aku tak sempat menelusurinya karena kelelahan. Perjalanan ini harusnya tak selama ini, jika bukan oleh sebab transit di Malaysia hampir empat jam dan membuat perutku kerubukan. Makanannya menggelikan, bahkan mereka tak mampu membuat minuman kaleng yang enak. Kamu tahu semboyanku, bahwa cuma ada dua makanan di dunia: "Enak" dan "Enak sekali". Tapi Malaysia di luar opsi, aku menyematkan label "Tidak enak". Walaupun tentu saja ini generalisasi, aku belum pernah melihat keseluruhan Malaysia. Sesampainya, aku mula-mula menyewa HP dulu dengan harga mencekik. Sekitar 3000 won atau 25rb an per hari. Biaya telepon 10 won

Surat Cinta dari Korea (1)

Annyeong Haseo! Sebetulnya, ini belum sampai, Sayang. Ini aku online dari bandara di Kuala Lumpur yang entah namanya apa. Yang aku tahu, di sini makanannya tidak enak, nama-namanya hasil plagiat, dan harganya agak mahal dengan disertai tatapan mata dari sekeliling yang seolah berkata, "Dasar Indonesia." Dengan waktu transit nyaris empat jam, tentunya aku mengisi dengan makan. Aku akan perlihatkan padamu, foto makanan bernama Nasi Lemak Chicken Rendang yang kontemporer dan posmodern: Makanan ini tadinya dingin, dipertontonkan dari balik etalase yang membuat kita menyangka makanan ini terbuat dari lilin. Seketika dipesan, pelayan langsung memasukkan makanan ini ke dalam microwave dan menyetel pemanasnya selama dua menit. Bodohnya, plastik bumbunya ia masukkan pula tanpa dibuka. Sehingga ketika nasi dan ayam ikut panas, bumbu yang tersimpan dalam plastik tersebut masih tetap dingin. Rasanya? Kamu tidak ingin tahu. Masih jauh lebih enak nasi uduk tiga ribuan yang ada di jalan B

Romantisme

Saya terinspirasi menulis ini setelah menonton Milan Glorie vs Indonesia All-Star Legends yang berakhir 5-1 untuk para bintang dari Italia. Bersama Pirhot, kawan saya, kami menyaksikan pertandingan tersebut sambil terbahak-bahak oleh sebab usia mereka yang tak lagi muda, namun harus menghibur penonton yang mengenang masa jaya mereka-mereka. Satu per satu komentator menyebut nama besar seperti "Baresi," "Costacurta," "Lentini," "Massaro," "Papin," hingga "Eranio." Di sisi lain, meskipun berbeda kelas, namun auranya tetap nostalgik, yaitu, "Ansyari," "Rochi," "Widodo," "Aji," hingga "Fachri." Sebutan-sebutan pesepakbola tersebut mengingatkan pada masa kecil hingga remaja saya, ketika televisi berada di kamar. Dini hari, jika terbangun, sering dengan sengaja saya setel televisi demi mendengar suara-suara komentator meninabobokan tidur saya kembali. Obrolan antara saya dengan Pirh