Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
"Guru, apakah yang pertama kau lakukan jika memerintah sebuah negara?" "Satu-satunya hal yang dilakukan adalah pembetulan nama-nama. Hendaknya seorang penguasa bersikap sebagai penguasa, seorang menteri bersikap sebagai seorang menteri, seorang bapak bersikap sebagai seorang bapak dan seorang anak bersikap sebagai seorang anak." (Konfusius dari Analek 13:3) Dihadapkan pada situasi posmodern sekarang ini, kalimat agung Konfusius di atas jelas saja dipertanyakan. Posmodern paling gemar rekonstruksi, dekonstruksi, serta menghancurkan sebuah bangunan konseptual, tanpa membangun apa-apa di atas puingnya. Sasaran gugatan tentu saja: Apa itu "sikap penguasa"? Apa itu "sikap seorang menteri"? Dan seterusnya. Tidakkah segala-galanya tak bisa didefinisikan sesaklek itu? demikian koar posmo. Tapi Konfusius tak berpikir serumit itu. Bisa jadi ia dianggap kuno, bodoh, karena standar pemikiran Barat: Bahwa sesuatu yang masuk akal, adalah yang terjelaskan denga