Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
"Guru, apakah yang pertama kau lakukan jika memerintah sebuah negara?" "Satu-satunya hal yang dilakukan adalah pembetulan nama-nama. Hendaknya seorang penguasa bersikap sebagai penguasa, seorang menteri bersikap sebagai seorang menteri, seorang bapak bersikap sebagai seorang bapak dan seorang anak bersikap sebagai seorang anak." (Konfusius dari Analek 13:3) Dihadapkan pada situasi posmodern sekarang ini, kalimat agung Konfusius di atas jelas saja dipertanyakan. Posmodern paling gemar rekonstruksi, dekonstruksi, serta menghancurkan sebuah bangunan konseptual, tanpa membangun apa-apa di atas puingnya. Sasaran gugatan tentu saja: Apa itu "sikap penguasa"? Apa itu "sikap seorang menteri"? Dan seterusnya. Tidakkah segala-galanya tak bisa didefinisikan sesaklek itu? demikian koar posmo. Tapi Konfusius tak berpikir serumit itu. Bisa jadi ia dianggap kuno, bodoh, karena standar pemikiran Barat: Bahwa sesuatu yang masuk akal, adalah yang terjelaskan denga