Skip to main content

Posts

Showing posts from 2009

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Catatan Awal Tahun

Alhamdulillah, akhirnya tahun 2009 terlewati juga. Tahun yang bagi saya, salah satu yang berkesan. Berkesan dalam artian, di tahun ini, saya mendapatkan banyak pengalaman baru. Dan pemaknaan baru. Ada hal-hal yang dulunya saya tak paham, sekarang jadi paham. Atau entah saya merasa paham padahal sebenarnya belum, atau dari dulu sudah paham tapi sekarang tambah paham. Memangnya paham itu apa sih? Yang pasti begini, apapun yang saya alami di tahun 2009 kemarin, ternyata sukses membuat saya sungguh-sungguh menatap 2010. Saya, untuk pertama kalinya, membuat daftar resolusi. Daftar resolusi yang bagi saya, terlampau rinci dan penuh perencanaan. Membuat tahun 2010 terasa dingin dan kaku, bagaikan angka-angka di microsoft excel. Membuat tahun 2010 terasa singkat dan padat, karena memang saya padatkan dalam perencanaan. Bukankah iya, segala perencanaan adalah seolah-olah menafikan bahwa hidup itu punya kejutan? Tidakkah jika Hume masih hidup, ia akan menertawakan daftar resolusi kita semua? Sam

Siddhartha: Percikan Inspirasi Sang Buddha

Penganugerahan Nobel Sastra bagi Hermann Hesse pada tahun 1946 dibuktikannya dengan sangat baik dalam novel Siddhartha ini. Bagi saya, novel ini tidak hanya indah dan puitis, tapi juga inspiratif dan mencerahkan. Keunikannya terletak dari tidak adanya konflik antar orang, melainkan hanya konflik Siddhartha (sang tokoh utama) dengan dirinya. Ya, ini adalah karya sastra yang bercerita tentang pergulatan batin dan pencarian spiritual seorang Siddhartha, yang diceritakan hidup sejaman dengan Gotama, Sang Buddha (sekitar 600 SM). Penokohannya sendiri sebenarnya cukup menggelikan. Fakta historis mengatakan bahwa Sang Buddha bernama asli Siddhartha Gotama. Namun di novel itu, antara Siddhartha dan Gotama adalah dua tokoh yang sama sekali lain. Gotama adalah Sang Buddha yang ajarannya saat itu tengah naik daun dan sangat digandrungi masyarakat India, sementara Siddhartha justru menolak ajaran Gotama, yang diungkapkannya dalam kalimat yang inspiratif: "Tidak ada seorangpun yang mendapat pe

Untuk 30 November 2009

Sudah lebih dari dua puluh hari sejak saya terakhir mengupdate blog ini. Jika ditanya alasannya kenapa, saya tidak tahu. Daripada saya cari-cari alasan padahal intinya cuma malas. Artinya, saya melewatkan juga hari ulang tahun saya untuk dituliskan. Maksudnya, dituliskan secara berdekatan dengan momennya. Padahal, ulang tahun saya tahun ini, terasa sangat bermakna. Bermakna karena banyak hal, yang akan saya ceritakan: Hari itu hari Senin, 30 November 2009. Hari yang artinya, bagi orangtua saya, itu adalah tanda: bahwa tepat dua puluh empat tahun lalu, saya lahir ke dunia. Lahir untuk entah apa, yang pasti awal mulanya, adalah untuk membahagiakan orangtua saya. Untuk meyakinkan sebenarnya mereka punya garis keturunan yang melanjutkan apa-apa yang pernah ia bangun dalam hidupnya. Yang lewat keturunan ini, seolah-olah orangtua saya disajikan, tentang nikmatnya menyaksikan rekaman ulang kejadian kehidupan. Melanjutkan keturunan itu barangkali, memberi tahu dengan gamblang: bahwa, Subhanall

Bunga untuk Dega

Pulang mengantar kedua kawan, saya terhenti di Palasari. Sebuah kawasan pertokoan yang terkenal dengan buku-buku murah, pasar, dan kios-kios tempat menjual bunga. Hari itu hari minggu, jam sembilan malam. Toko itu masih buka, seperti yang sudah saya duga. Toko yang saya maksud adalah toko bunga, yang saya lebih senang menyebutnya dengan kios. Meski kios-kios itu terletak di pojok jalan, tapi cahayanya terang benderang. Cukup mencolok di tengah gelap gulita padamnya lampu dari pasar dan toko buku, yang telah menyetop perniagaan sejak sore. Saya turun dari mobil, setelah parkir di pinggir jalan. Ada banyak kios, sekitar enam atau tujuh kalau tidak salah. Tapi entah dorongan darimana, saya memilih untuk masuk ke kios yang penjualnya berlogat Jawa. Sepertinya juga, karena mawar yang ia pajang merahnya menggoda. Dibanding yang lainnya, padahal sama-sama merah. Oke, saya mulai memilih-milih mawar yang disimpan dalam ember. Ada beberapa warna, tapi saya hanya ingin merah. Katanya sih, merah m

Garasiku

Garasi yang saya maksud disini, adalah garasi yang kau sebut dengan garasi juga. Bukan garasi yang memang sengaja kami bikin lebih luas, dengan dekorasi sana-sini, dengan lantai yang selalu bersih. Ini adalah garasi yang sebagaimana mestinya garasi: tempat menyimpan kendaraan, dan ukurannya hanya sedikit lebih luas dari kendaraan itu, dan pastilah lantainya hampir selalu kotor, tergilas ban yang membawa debu dan lumpur jalanan. Ini adalah garasi yang sama dengan yang kau maksud, yang menjadi ruangan kosong, jika mobil di dalamnya sedang digunakan oleh penghuni rumah. Kau pasti tahu, bahwa setiap kegiatan punya tempatnya sendiri, ruangannya sendiri. Tempat memasak adalah dapur, tempat untuk tidur adalah kamar tidur, tempat makan adalah di restoran, tempat menyimpan lukisan di galeri, tempat menyaksikan musik adalah di gedung konser, tempat menyaksikan musik klasik adalah di gedung konser berakustik, tempat rapat adalah di meja yang melingkar, dan lain-lain yang stereotip. Tapi darimanak

Sex and The City The Movie: Upaya Menjadi Manusia Etis

Saya sudah melihat film ini sekira setahun yang lalu. Dan semalam saya menyaksikannya kembali di teve kabel. Oh, membuat saya ingat bahwa saya pernah menulis soal film tersebut di blog lama saya. Membuat saya ingin memindahkannya dari blog lama ke sini, untuk lalu diedit, dengan sudut pandang saya berdiri sekarang. Melihat kuartet Carrie Bradshaw, Samantha Jones, Charlotte York, dan Miranda Hobbes, sulit dipungkiri bahwa kita juga sekaligus menyaksikan etalase fashion yang berkilau, budaya konsumerisme tak berujung, serta citra masyarakat New York yang hedonis dan teralienasi. Sama halnya dengan edisi serial, versi layar lebar ini masih mengedepankan identitas tersebut. Bedanya barangkali terletak pada upaya pengonklusian yang digambarkan lewat cerita pernikahan antara Carrie dan Big. Keseluruhan film berdurasi sekitar dua jam lima belas menit ini (cukup panjang untuk ukuran film yang delapan puluh persennya berisi ngobrol-ngobrol), sebenarnya mengangkat isu yang tak pernah ketinggalan

Terima Kasih, Gitar Klasik (Bagian Dua)

Ketika kau pernah nge- band , memainkan lagu-lagu seperti Nirvana dan Black Sabbath. Lalu belajar gitar elektrik hingga sedikit-sedikit bisa menirukan Jimi Hendrix dan Ritchie Blackmore. Lalu keseharianmu yang kau dengar adalah Metallica, plus memajang posternya di kamar, di samping foto Eric Clapton. Tidakkah memutuskan menggeluti gitar klasik adalah hal yang kurang keren? Siapakah tokoh gitar klasik yang saya tahu, kecuali guru saya sendiri, Kwartato Prawoto? Tapi demikianlah, akhirnya saya terpanggil oleh entah apa. Untuk menekuni gitar klasik, ranah yang sepi dan sunyi ini, secara lebih serius. Sejak konser di Aula Barat, orangtua saya sepakat untuk membelikan gitar yang lebih bagus. Lebih layak untuk dimainkan di konser klasik yang sangat mengedepankan kesempurnaan dan kemurnian bunyi. Saya berlatih lebih serius, dan porsi belajar gitar elektrik semakin dikurangi. Hingga tiba akhirnya, hari itu, dua tahun setelah konser di Aula Barat. Suatu bulan Oktober di tahun 2003, saya konser

Terima Kasih, Gitar Klasik (Bagian Satu)

Saya ingat kejadian itu, meski lupa tanggal, lupa hari. Kejadian dimana seorang bapak yang belum tua-tua amat memasuki kamar saya. Bawa gitar dan bawa penyangga partitur. Ia duduk di tempat yang saya sediakan, sedangkan saya, duduk santai di kasur. Saya tanya ia pertama kali, "Bapak, tahu Joe Satriani?" Lalu dia diam sejenak, keningnya mengkerut, lalu menjawab singkat, "Tahu." Entah kenapa, saya tidak percaya dia tahu. Karena toh ia sibuk sendiri menyiapkan materinya yang pertama. Materinya di hari pertama. Hari pertama ia mengajari saya. Mengajari saya gitar klasik. Namanya Kwartato Prawoto. Saya waktu itu tahunya Pak Prawoto saja. Ia berkumis tebal, rambutnya pendek, tebal juga, dan kaku. Matanya sayu dan kulitnya menurut saya sih, hitam. Gayanya tidak luwes dan sepertinya ia agak canggung. Joe Satriani adalah nama gitaris elektrik asal Amerika, turunan imigran Italia. Saya menggemarinya, punya banyak kasetnya. Saya? Saya lupa umur saya berapa, tapi kitaran kelas

Ujian Oh Ujian

Biasanya saya selalu menyempatkan diri untuk meng- update blog ini setiap minggunya (bahkan beberapa kali dalam seminggu). Tapi belakangan, saya terbentur fokus pada ujian. Ujian apa gerangan? Ujian gitar tepatnya. Gitar klasik. Sesuatu yang sudah saya geluti sepuluh tahun lamanya. Dan sekarang diujikan seolah-olah dengan itu saya bisa tahu, berapa, angka kemampuan gitar saya selama ini.    Ujian tersebut akan dilaksanakan 19 Oktober. Namanya ujian ABRSM, singkatan dari Association Board of Royal School of Music. Atau orang sini dengan singkat menyebutnya ujian Royal. Inggris punya. Ujian tersebut terdiri dari empat tes. Pertama adalah tes karya. Saya diminta memainkan tiga karya yang berasal dari tiga kelompok berbeda. Kelompok itu sepertinya dibedakan menurut periodisasi. Kelompok pertama adalah jaman Renaisans dan Barok. Kelompok dua adalah jaman Klasik dan Barok. Sedangkan kelompok tiga adalah musik Abad ke-20. Kedua adalah tes tangga nada. Saya diminta menghapal 27 tangga nada, y

Pengalaman Mental

Minggu, 8 Februari 2009 Hari itu aku duduk sendiri Malam-malam lampu dimatikan Mata terpejam pekat menerkam Yang tersisa tinggal bunyi-bunyian Datang dari si gila Zappa Lalu cahaya itu datang Membingkai pekatku segi empat Setiap gebuk drum ada ledakan gemintang di sana Ya, ya, disana Kau tidak akan melihatnya Raungan gitar mengilatkan cahaya Tipis di sudut kiri bawah Betotan bas melahirkan kunang-kunang Terbang melayang terbebas tanpa berkedip Beethoven sekarang ambil bagian Memainkan simfoni nomor sembilan Jayalah ia sang mahakarya Memainkan Ode a La Allegria Dari bintang ia turun ke bumi Mencari tempat yang pas untuk melihat angkasa Angkasa angkasa dimanakah kamu Aku disini mencari kebermaknaan dari hal-ikhwal Dahulu mungkin semuanya satu Tapi pikiran membelah semuanya Menjadi lemah dan terpecah Maka biarkan aku meleburkannya kembali Menjadi cinta dan rindu yang tak bernama Tubuhku bergetar hebat Lalu jatuh lunglai dalam kegilaan yang nikmat Land of Psychedelic Illumination (Brian Ex

Pangeran Kecil: Mari Tertawakan Diri Kita

"Bagiku, kau sekarang hanyalah seorang anak laki-laki kecil, sama seperti seratus ribu anak laki-laki lainnya. Dan aku tak membutuhkanmu. Dan kau juga tak membutuhkan aku. aku hanyalah seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tetapi jika kau menjinakkanku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kau akan unik di dunia ini. Bagimu, aku akan unik di dunia ini." Jika kau lihat sampul buku ini lantas membaca isinya selewat-selewat saja, yakinlah ini adalah buku anak-anak. Ditambah lagi banyak gambar di dalamnya, gambar yang kurang-lebih seperti gambar anak-anak, atau setidaknya, ditujukan bagi anak-anak. Bagi saya yang sombong ini, yang rajin baca buku filsafat dan segala-gala yang dianggap "berat", maka tak menariklah sepertinya buku ini. Pastilah hanya akan berisikan imaji dan imaji, padahal hidup ini kan, mesti realistis. Namun setelah memaksakan diri untuk membacanya secara detil, akhirnya saya tutup buku itu dengan bengong. Bengong entah kenapa, bengong memi

Lebaran dan Humanisme Artifisial

Kala kecil hingga SD, hari lebaran adalah soal kunjungan kesana kemari. Bersungkem-sungkeman, salam-salaman, saudara jauh pun dijabani. Lelah memang, tapi menyenangkan. Yah, karena masih kecil, tahulah senangnya disebabkan dapat uang. Tapi tidak, tidak cuma itu. Kumpul sama saudara, menikmati lengangnya jalanan kota, hingga makanan yang nikmat adanya -meskipun itu-itu aja tiap tahunnya-. Intinya, rasa intim. Lebaran adalah soal keintiman. Bersalaman adalah soal keintiman. Saling mengunjungi juga keintiman. Masuk SMP, mulai ada yang namanya kartu lebaran (sepertinya dari dulu ada, tapi pas saya SMP baru marak). Menjelang akhir ramadhan adalah saat yang deg-degan di depan pintu, menunggui tukang pos mengantar surat. Yang mana salah satunya berpeluang berupa kartu lebaran untuk saya. Oh, menerima kartu lebaran, perasaannya tak terlukiskan. Rupanya sedari kecil sudah merasakan nikmatnya eksistensi. Senang bukan kepalang. Sepertinya ada perhatian tulus dari si pengirim, dan ia sungguh berni

Kisah Anak Penjual Ubi Cilembu

Ini kisah nyata. Pengalaman saya. Baru saja, sekira pukul 10.30 dialaminya. Sebelum bergegas mengajar, saya tentunya mestinya melewati pagar rumah. Seketika itu, di depan gerbang, lewatlah seorang anak perempuan, usianya sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Pakaiannya lusuh, pun tubuhnya. Ia membawa dua keresek besar berwarna hitam. Isinya apa entah tak kelihatan. Seketika ia datang menghampiri, bergumam apa tak jelas. Saya yang buru-buru, cepat-cepat berpikir bahwa ia anak yang minta shadaqah . Alah, biasa kan di kala mau lebaran. Anak-anak kecil sering keliling minta uang. " Hui Cilembu-nya, A," "Apa? Hui ?" saya bertanya balik. "Iya, A, ini hui asli Cilembu. satu keresek lima ribu" "Oh, oke oke sebentar," saya mengambil dompet di saku, mengintipnya, lalu melihat ada uang seratus tujuh puluh empat ribu. Karena saya pelit dan pecahan uangnya agak kurang enak, maka saya ambil si empat ribu. Saya sodorkan padanya, dan sadar uangnya kurang

Tiga Kritik terhadap Agama

Kau tahu, menulis posting ini tidaklah mudah. Pertama, tidak semua orang senang membicarakan agama sebagai bahan kritisi. Ini untuk mereka yang yakin betul bahwa agama berasal dari Tuhan, dan Tuhan adalah kebenaran yang tak terdebatkan. Kenapa? karena mereka menganggap Ia berada di luar wilayah pemahaman manusia, dan cuma bisa dicerap oleh rasa percaya alias iman. Kedua, tidak mudah juga mengkritisi agama, jika kau adalah bagian yang lekat darinya berpuluh tahun lamanya. Ini sama saja dengan mendadak berbicara lancang pada orangtuamu, -yang telah membesarkan dan menyekolahkanmu dari kecil- memberinya komentar dan saran tentang bagaimana cara membesarkan anak yang baik, padahal kau belum punya anak. Tapi kelancangan tak selalu soal benci, adapun justru karena kau sayang. Kau sekedar ingin menunjukkan pada orangtuamu: Mah, Pah, ini aku, sudah kau sekolahkan, dan ini ilmunya kugunakan, untuk berbagi sesuatu yang mungkin saya tahu dan kalian tidak tahu, sebagaimana halnya kau sudah member

Cin(T)a: Polemik Akut yang Akhirnya Diangkat

Tadinya saya ragu menonton film tersebut. Sungguh, selalu ada perasaan skeptik tentang film Indonesia, apalagi yang berbau cinta-cinta-an. Biasanya ceritanya klise dan cenderung cengeng. Ingin terkesan mendalam, tapi malah melankolik brutal. Apalagi ini judulnya "vulgar" sekali, semakin saja menunjukkan minimnya kreativitas sineas kita. Meski demikian, ada tiga alasan yang akhirnya mendorong saya untuk coba-coba: Pertama, poster filmnya cukup unik. Ia ditulis "Cin(T)a". Bikin lumayan penasaran. Kenapa ada huruf "T" dikurung begitu? Kedua, katanya ini tentang pacaran beda agama, yang mana saya sempat mengalaminya. Boleh lah saya lihat demi merefleksikan pandangan-pandangan saya waktu itu. Ketiga, ini paling kurang penting, tapi justru jadi pemicu terbesar kenapa saya mesti nonton: kakak saya jadi figuran, meski cuma beberapa detik. Film ini durasinya cukup pendek, dan isinya didominasi oleh dialog kedua insan beda agama itu, namanya Cina (diperankan Sunny S

Romance of The Babel

The Confession of Tongues (Gustave Dore) Voor Mijn Vlinder Jij altijd in mijn hart Tot nieuw huis dat wordt gebouwd Na dat Ga weg van mijn hart, o, vlinder Vlieg altijd aan mijn oogleden Fuer mein Schmetterling Du bleibst fuer immer und ewig in meinem herzen Bis ein neues haus erschaffen wuerde Danach Geh von Herzen, o, schmetterling! Flieg immer zu meinen augen 为了我的蝴蝶 你永远在我心中 直到有一个新的家 然后 请远离我的心,哦,蝴蝶! 飞来向我的眼睑。。。总是 Pour mon Papillon T'es dans mon coeur pour toujours jusqu'à ce qu'il créerai la nouvelle maison après ça dégage-toi de mon coeur, o, papillon! vole toujours à ma popillère Watashi no Chocho ni Tsutaete Koto O Kimi ga watashi no kokoro ni itsu made mo iru Atarashii uchi o tsukutta ato mo iru Sono ato Kokoro no naka kara itte, o, chocho! Mayu made itsumo tondeiru 나의 나비에게 영원히 나의 마음 속에 새로운 그 집을 생길 때까지 그리고, 나비야.. 나의 마음에서 떠나와 나의 눈 앞으로 훨 훨 날아와 Untuk Kupu-Kupuku Selamanya kau di hatiku Hingga tercipta itu rumah baru Setelah itu Pergilah dari hati, o, kupu! Terbang menuju

Surga di Telapak Kaki Kapitalisme

Konon, surga itu ada di atas sana. Tempat dimana semua-muanya ada. Semua yang menyenangkan dan membahagiakan tubuh dan jiwa, tinggal minta langsung tersedia. Jujur, takut masuk neraka itu pasti, tapi saya juga takut masuk surga. Terbayang jika memang ia kekal, berarti betapa tidak menariknya berada di surga: ketika apa-apa hadir dengan sendirinya tanpa perlu berusaha. Tidakkah terkadang hidup menjadi menarik, karena adanya istilah "mengejar bahagia"? Artinya, bahagia adalah manifestasi dari sebuah usaha. Tanpa usaha, bahagia tak pernah ada dengan sendirinya. Karena jangan-jangan, kebahagiaan adalah usaha itu sendiri. Sekian berfilosofinya, karena saya sesekali ingin berbagi pengalaman kongkrit juga. Alkisah, setiap Jumat malam, saya bekerja di hotel Hilton Bandung. Pekerjaan saya adalah menghibur para tamu lewat musik dan senyum. Hilton, barangkali hotel yang cukup dikenal, reputasinya internasional. Setidaknya orang mengenalnya lewat sosialita Paris Hilton yang rajin bikin h