Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Ditulis sebagai Suplemen "Workshop Penulisan Musik" di Jendela Ide, Sabuga, 20 April 2018 Mendefinisikan Musik Sebelum membahas literasi ataupun penulisan musik, agaknya tidak berlebihan jika kita membahas hal paling mendasar yaitu: apa itu musik? Kita bisa pertama-tama menyepakati hal ini: pada dasarnya, segala sesuatu dalam alam semesta ini bergerak dalam ritmik (orang berjalan, gerak awan, ikan berenang, dan sebagainya). Segala sesuatu juga punya keselarasan atau harmoni dengan lainnya, misalnya: matahari pagi dengan bangun manusia dari tidurnya, kehidupan ikan dan ekosistem di sekitarnya, dan sebagainya. Selain itu, melodi juga dapat kita dengar di alam semesta ini: cuitan burung, bunyi deru knalpot, sampai ke senandung orang di kamar mandi. Sebuah buku tahun 1963 berjudul ABC of Music karya Imogen Holst kira-kira merangkum seluruh deskripsi tersebut dan mendefinisikan musik sebagai "gabungan antara melodi, harmoni, dan ritmik". Apakah suda