Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
"Gue sih apa-apa bebas aja, yang penting idup gue gak ngerugiin orang lain." Kita sering mendengarkan prinsip semacam ini dari teman-teman kita, atau bahkan etika ini jadi pedoman kita sendiri. Etika teleologis adalah etika bertujuan. Sering disebut juga sebagai etika konsekuensilisme. Bunyi kredonya kira-kira: "Segala sesuatu adalah baik selama berakibat baik." Lawan dari etika konsekuensilisme adalah etika deontologis, yang berbunyi: "Segala sesuatu baik karena dirinya sendiri baik, terlepas dari apapun konsekuensinya." Dalam etika teleologis, hal-hal seperti berbohong, membunuh, mencuri, adalah baik selama ditujukan untuk konsekuensi yang baik. Agama cenderung deontologis karena keputusan untuk dilarang berbohong, membunuh, ataupun mencuri adalah seolah final apapun alasan melakukannya. Namun etika teleologis yang seolah menandakan prinsip dari manusia rasional, saya sadari punya kelemahan ketika hari Rabu lalu mendapati jalanan macet. Oleh seba