Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2012

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Kritik terhadap Etika Teleologis

"Gue sih apa-apa bebas aja, yang penting idup gue gak ngerugiin orang lain." Kita sering mendengarkan prinsip semacam ini dari teman-teman kita, atau bahkan etika ini jadi pedoman kita sendiri. Etika teleologis adalah etika bertujuan. Sering disebut juga sebagai etika konsekuensilisme. Bunyi kredonya kira-kira: "Segala sesuatu adalah baik selama berakibat baik." Lawan dari etika konsekuensilisme adalah etika deontologis, yang berbunyi: "Segala sesuatu baik karena dirinya sendiri baik, terlepas dari apapun konsekuensinya." Dalam etika teleologis, hal-hal seperti berbohong, membunuh, mencuri, adalah baik selama ditujukan untuk konsekuensi yang baik. Agama cenderung deontologis karena keputusan untuk dilarang berbohong, membunuh, ataupun mencuri adalah seolah final apapun alasan melakukannya.  Namun etika teleologis yang seolah menandakan prinsip dari manusia rasional, saya sadari punya kelemahan ketika hari Rabu lalu mendapati jalanan macet. Oleh seba

Untuk Andika Budiman: The Medium is The Message

Malam itu, orangtua tiba-tiba berkata sesuatu tentang kartupos. Katanya, "Ada kartupos untuk kamu dan Dega."  Istri saya mendapatkan kartupos dari kawannya, orang Prancis, yang sedang berlibur di Turki. Sedangkan saya sendiri? Ada kartupos, tapi bukan dari seseorang nun jauh disana. Yang mengirimkannya adalah orang Bandung juga. Namun yang demikian justru membuatnya tambah spesial. Hari ini ada banyak cara untuk menyampaikan pesan baik lewat SMS, Facebook, Twitter, E-mail ataupun telepon. Tapi orang yang secara geografis sangat dekat untuk kemudian "mempersulit diri" dengan berkomunikasi via sesuatu yang sudah "tidak musim" dan perlu perjuangan menulis dengan tangan, adalah hal yang mengharukan. Isinya sendiri -seperti yang semoga terbaca dari gambar di atas- adalah semacam apresiasi dari konser musik klasik yang diselenggarakan tanggal 6 Oktober kemarin di Auditorium IFI-Bandung. Selain sedikit mengomentari performance , tulisan di atas juga b

Epistemologi Kemasan

Waktu saya SMP, guru agama namanya Pak Endin (almarhum) bercerita di kelas tentang memakan daging yang hukumnya haram jika ia tidak disembelih atas nama Allah. Lantas, bagaimana kita tahu daging itu disembelih atas nama Allah atau tidak, jika daging yang kita beli semua sudah hasil dapat di supermarket? Jawaban Pak Endin mungkin menggelikan. Katanya, "Kita bisa mengira-ngira saja. Misalnya, kalau dilihat di kemasan dagingnya tertulis diproduksi di Bali, kemungkinan besar dia haram karena disana lebih banyak non-muslim." Tulisan ini bukan hendak memojokkan beliau yang saya hormati, justru saya mau membahas bagaimana Pak Endin menyadarkan kita tentang batas-batas pengetahuan atau bahasa kerennya: epistemologi. Gambar diambil dari sini . Epistemologi berkutat pada pertanyaan: Apa yang bisa kita ketahui? Sejauh mana batas pengetahuan kita? Dalam filsafat, epistemologi dibahas sebagai fondasi terpenting bagi filsafat ilmu. Misal: Rene Descartes mengatakan bahwa pengetah