Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Eyes Wide Shut (1999): Absurditas Seksual untuk Melawan yang Normal

Eyes Wide Shut (1999): Absurditas Seksual

Sebelum menonton film tersebut, saya beberapa kali mendengarkan komentar miring bahwa Eyes Wide Shut adalah film Stanley Kubrick yang paling biasa-biasa saja. Perbandingannya tentu saja dengan magnum opus semisal 2001: A Space Odyssey, Clockwork Orange, atau Full Metal Jacket. Namun setelah menontonnya, saya tidak sependapat. Karya terakhir Kubrick itu juga magnum opus!

Film yang diperankan oleh Tom Cruise dan Nicole Kidman itu menceritakan tentang pasangan yang segalanya serba normal dan baik-baik saja. Bill Harford dan Alice adalah suami istri beranak satu dengan kehidupan cukup mapan. Sampai suatu hari, ketika keduanya tengah mengisap ganja bersama, tiba-tiba mengalir fantasi seksual masa lampau dari Alice dengan seorang pria berseragam angkatan laut. Bill agaknya kaget dengan pengakuan ini. Ia pikir kehidupannya terlalu normal untuk dibumbui pikiran-pikiran banal seperti yang diungkap istrinya.

Cerita selanjutnya adalah perjalanan Bill ke ruang-ruang hasratnya. Meski tidak sempat melampiaskan secara seksual, namun Bill yang terdorong fantasi istrinya, kemudian berupaya menggali hasrat terdalamnya. Bahwa saya juga berhak mempunyai fantasi versi pribadi. Setelah hampir bercinta dengan WTS, Bill datang ke tempat dimana orang-orang bertelanjang dan hanya memakai topeng. Bill menyaksikan ada semacam upacara religius yang dipimpin “pendeta” sebelum orgy diantara mereka dimulai.

Film yang masuk Guinness World Record karena lama syuting yang mencapai empat ratus hari tersebut, memang secara stereotip Hollywood, kurang lazim. Temponya lambat, ending-nya menyisakan keanehan, musiknya dominan mencekam, dan tidak segan-segan menampilkan ketelanjangan plus adegan seksual secara terang-terangan (adegan orgy ditampilkan apa adanya!). Namun jika dihadapkan pada pemirsa yang sudah biasa dengan gaya Kubrick, maka tidak akan terlalu kaget. Terlebih film-filmnya memang akrab dengan scene-scene yang “mengganggu”.

Yang menarik dari Eyes Wide Shut adalah bagaimana fantasi seksual dipelihara sebagai pemberontakan atas superego normalitas yang melanda pasangan modern itu. Agaknya mesti dicurigai, ketika segala serba mapan dan terprediksi, maka keabsurdan yang tersisa barangkali tinggal soal seks. Dalam seksualitas, ada ruang-ruang yang tidak pernah tabu untuk dieksplorasi oleh imaji pribadi. Dalam individu yang tunduk seperti pembantu rumah tangga sekalipun, barangkali ia punya magma fantasi seksual yang dahsyat jika digali. Orgy dan pria berseragam agaknya merupakan dua objek seksual yang menjadi idaman hasrat terdalam Bill dan Alice.

Industri pornografi rupanya salah satu yang pandai mencium fantasi-fantasi seksual yang bertebaran di benak orang-orang. Orgy dan pria berseragam bukan barang baru. Ada juga tema percintaan guru-murid, suster-dokter, dokter-pasien, pilot-pramugari, hingga antar-tetangga. Hanya disebabkan oleh etika normalitas saja rupanya seksualitas tidak terjadi. Hasrat yang menggelora antara dua insan tertahan oleh misalnya, kode etik dokter. Namun hasrat yang demikian bukannya hilang sama sekali. Ia terpendam bagaikan gunung es. Di lapisan paling dasar, gelap, namun besar. Seketika ia bisa dipancing keluar ketika normalitas sudah terlalu memenjara.

Comments

  1. bang, saya agak bingung dengan makna 'banal' di tulisan abang. kalau menurut konteks tulisan abang, saya memaknai banal itu menjadi hal-hal di luar normal, atau abnormal, atau tidak normatif. tapi menurut kamus, arti banal itu adalah hal-hal yang boring dan ordinary.

    ReplyDelete
  2. terima kasih komentarnya. Memang ada beberapa pengertian. Dalam KBBI sendiri kedua-duanya benar: Banal sebagai tidak elok dan banal sebagai biasa sekali.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me