Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Gambar diambil dari sini . Ludwig Wittgenstein adalah filsuf asal Wina dari awal abad ke-20 yang pemikirannya bertalian dengan bahasa dan dituangkan dalam dua bukunya yaitu Tractatus Logico Philosophicus (1921) dan Philosophical Investigations (1953). Buku kedua berjarak 22 tahun dari buku pertama dan isinya justru merevisi pemikirannya terdahulu. Di buku pertama, Wittgenstein mengatakan bahwa bahasa adalah "gambar fakta". Artinya, jika ada gambar, atau kata, maka ada faktanya. Jika sebuah gambar tidak memiliki basis fakta, maka itu omong kosong, atau lebih baik dikatakan nilai kebenarannya hanyalah psikologis ketimbang logis. Di buku kedua, Wittgenstein mengakui bahwa dulu dia sangat kaku dalam memahami bahasa. Ia lebih setuju kalau bahasa bukan perkara benar atau tidaknya, melainkan bagaimana penempatannya dalam satu konteks permainan ( language game ). Jadi kalau kita bilang "Cus!", meski tidak ada relasi logisnya, tapi punya nilai kebenaran dalam pe