Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2011

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Absurditas Musik

"The art of combining sounds or tones for reproduction by the voice or by various kinds of musical instruments in rhythmical, melodic, and harmonic form so as to affect the emotions." (The Universal English Dictionary) Demikianlah musik didefinisikan oleh salah satu sumber. Definisi macam ini, dalam ilmu logika dinamakan definisi gambaran, yakni menyebutkan seluruh konsep yang berada di dalamnya. Jika kau merasa tak rela musik didefinisikan dengan cara ini, maka simak definisi ala Friedrich Nietzsche (1844-1900): "Without music life would be a mistake." Meski tak tepat benar, tapi bolehlah mengategorikan ini adalah bentuk definisi tujuan, yakni mendefinisikan sesuatu berdasarkan tujuan serta maksud dari sebuah konsep. Seolah-olah, "Tujuan dari musik adalah membuat hidupmu menjadi benar." Leonard Bernstein (1944-1990) mencoba mendefiniskan dengan cara lain, yakni membuat klasifikasi, bahwa musik itu adalah empat adanya: Narative-literary , yakni musik menje

Fondasi

" Aku berkemah disini, berdemonstrasi, agar anak cucu saya menikmati kedamaian. Jauh dari tiran ." Kalimat di atas adalah terjemahan bebas saya dari wawancara stasiun televisi Al-Jazeera dengan seorang demonstran ketika revolusi Tunisia. Revolusi yang berlangsung selama 28 hari di akhir tahun 2010 tersebut sukses mencapai tujuannya yaitu menurunkan presiden Ben Ali dari jabatannya. Saya tertegun dengan ucapan demonstran tersebut, membawa saya pada pertanyaan penting: Masih berhargakah hidup kita sekarang, jika kita tak tahu bahwa akan ada penerus di masa datang? Masih relevankah semboyan terkenal di era barok, memento mori , rebut hari ini, padahal bagi si demonstran yang terpenting adalah memenangkan sesuatu di masa depan? Syahdan, ada masa dimana konsep-konsep besar rajin dibicarakan, atau Lyotard menyebutnya: metanarasi. Yakni ia yang disebut sebagai Keadilan, Kedamaian, Kesetaraan, Kebahagiaan, Kesejahteraan hingga yang paling abadi: Kebenaran (semuanya dengan K besar).

Kekuatan Kepercayaan

Menjelang sidang magister tanggal 12 Maret kemarin, ada ritual yang biasa saya jalankan setiap akan menghadapi suatu hari yang krusial. Ritual ini, bukan berasal dari saya pribadi sebetulnya, tapi dari ibu saya, yaitu: minum air Yaasin. Jadi ibu, setiap habis solat subuh, akan menyimpan air di hadapan sajadahnya dan membacakan surat Yaasin. Selepas "upacara" tersebut, ibu meminta saya meminumnya dalam sekali teguk sambil mengucap basmalah. Dalam perjalanan menuju kampus saya merenungi ritual tersebut, adakah korelasi antara "upacara irasional" itu dengan sidang saya yang jelas-jelas rasional? Ibu melakukan itu sejak saya ujian SD. Artinya, jelas ibu mendahului penelitian Masaru Emoto tahun 1999 soal struktur air yang berubah menjadi teratur kala dibacakan doa-doa. Kenyataan bahwa saya sukses melewati hari-hari penting dalam hidup semenjak kecil hingga sekarang, tidakkah terlalu arogan jika saya menyebut itu adalah atas berkat intelegensi semata-mata? Saya lantas te