Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
"The art of combining sounds or tones for reproduction by the voice or by various kinds of musical instruments in rhythmical, melodic, and harmonic form so as to affect the emotions." (The Universal English Dictionary) Demikianlah musik didefinisikan oleh salah satu sumber. Definisi macam ini, dalam ilmu logika dinamakan definisi gambaran, yakni menyebutkan seluruh konsep yang berada di dalamnya. Jika kau merasa tak rela musik didefinisikan dengan cara ini, maka simak definisi ala Friedrich Nietzsche (1844-1900): "Without music life would be a mistake." Meski tak tepat benar, tapi bolehlah mengategorikan ini adalah bentuk definisi tujuan, yakni mendefinisikan sesuatu berdasarkan tujuan serta maksud dari sebuah konsep. Seolah-olah, "Tujuan dari musik adalah membuat hidupmu menjadi benar." Leonard Bernstein (1944-1990) mencoba mendefiniskan dengan cara lain, yakni membuat klasifikasi, bahwa musik itu adalah empat adanya: Narative-literary , yakni musik menje