Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
"The art of combining sounds or tones for reproduction by the voice or by various kinds of musical instruments in rhythmical, melodic, and harmonic form so as to affect the emotions." (The Universal English Dictionary) Demikianlah musik didefinisikan oleh salah satu sumber. Definisi macam ini, dalam ilmu logika dinamakan definisi gambaran, yakni menyebutkan seluruh konsep yang berada di dalamnya. Jika kau merasa tak rela musik didefinisikan dengan cara ini, maka simak definisi ala Friedrich Nietzsche (1844-1900): "Without music life would be a mistake." Meski tak tepat benar, tapi bolehlah mengategorikan ini adalah bentuk definisi tujuan, yakni mendefinisikan sesuatu berdasarkan tujuan serta maksud dari sebuah konsep. Seolah-olah, "Tujuan dari musik adalah membuat hidupmu menjadi benar." Leonard Bernstein (1944-1990) mencoba mendefiniskan dengan cara lain, yakni membuat klasifikasi, bahwa musik itu adalah empat adanya: Narative-literary , yakni musik menje