Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2018

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Jangan Tumbuh: Musik Sureal yang Menyakitkan

Ditulis dalam rangka acara TAWURAN (Tanya Jawab Ulas Rancangan) Jangan Tumbuh tentang peluncuran video klip Dhira Bongs di The Silk Hotel, Kamis, 26 Juli 2018. Membicarakan musik adalah sesuatu yang mudah sekaligus sukar. Mudah karena musik amat kuat menimbulkan suatu kesan - Bambang Sugiharto menyebut musik sebagai seni yang paling “langsung” dan “dalam” -. Musik tertentu dapat membuat kita ingat pantai, berduaan bersama kekasih, galau mengenang kematian, marah terhadap otoritas, dan lain sebagainya. Sehingga membicarakan musik menjadi mudah karena hanya tinggal membicarakan impresi-impresi apa yang terbangkitkan dari rangsangan audial itu sendiri. Membicarakan musik tapi juga sesuatu yang sukar. Alasannya, jika musik menimbulkan suatu impresi dan kemudian kita malah membicarakan impresi itu, lantas apakah kita menjadi membicarakan sesuatu di luar musik? Sebaliknya, jika kita membicarakan musik dalam konteks dirinya sendiri - dalam hal ini, misal, progresi akor, harmon

Guriang di Cijaringao

Pada hari Rabu malam tanggal 19 Juli 2018, Kang Ismet Ruchimat, sang pendiri kelompok musik Sambasunda, mengontak saya tepat pukul sembilan. Sambil mengajar kelas filsafat ilmu di Kaka Cafe, saya mengangkatnya dengan terlebih dahulu meminta maaf pada peserta kelas. “Rif,” kata Kang Ismet di seberang telepon, “Ke sini, sekarang juga. Ke Saung Angklung Udjo. Ada hal penting.” Jika Kang Ismet mengatakan itu penting, maka itu benar-benar penting. Saya bergegas menyelesaikan kelas dan meminta maaf untuk kedua kalinya pada para peserta. Tepat pukul sepuluh, saya sampai di Padasuka, tempat Saung Angklung Udjo yang legendaris itu.  Di sebuah meja, telah duduk beberapa orang yaitu Kang Ismet Ruchimat, Kang Galih Sedayu dari Ruang Kolaborassa, Kang Taufik Hidayat dari Saung Angklung Udjo, Kang Adjie Dunston Iriana, dan beberapa staf Kang Galih maupun Kang Taufik. Inti pembicaraannya adalah ini: Bahwa festival musik internasional bernama Matasora World Music Festival, terancam gagal penyelen