Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Ditulis dalam rangka acara TAWURAN (Tanya Jawab Ulas Rancangan) Jangan Tumbuh tentang peluncuran video klip Dhira Bongs di The Silk Hotel, Kamis, 26 Juli 2018. Membicarakan musik adalah sesuatu yang mudah sekaligus sukar. Mudah karena musik amat kuat menimbulkan suatu kesan - Bambang Sugiharto menyebut musik sebagai seni yang paling “langsung” dan “dalam” -. Musik tertentu dapat membuat kita ingat pantai, berduaan bersama kekasih, galau mengenang kematian, marah terhadap otoritas, dan lain sebagainya. Sehingga membicarakan musik menjadi mudah karena hanya tinggal membicarakan impresi-impresi apa yang terbangkitkan dari rangsangan audial itu sendiri. Membicarakan musik tapi juga sesuatu yang sukar. Alasannya, jika musik menimbulkan suatu impresi dan kemudian kita malah membicarakan impresi itu, lantas apakah kita menjadi membicarakan sesuatu di luar musik? Sebaliknya, jika kita membicarakan musik dalam konteks dirinya sendiri - dalam hal ini, misal, progresi akor, harmon