Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2019

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Tentang Toko Buku Bernama Akasa

Namanya Akasa. Toko buku ini milik kawan saya, Ucrit, Bonil, Alfi dan Widay. Hal yang menarik pertama adalah toko buku ini terletak di sebuah pasar tradisional. Memang konsep semacam ini tidak aneh-aneh amat. Di Pasar Palasari misalnya, ada blok yang khusus jual sayuran, daging, bumbu, sembako, dan semacamnya, tapi ada juga blok khusus yang menjual buku-buku saja. Tapi di Pasar Cihapit, tempat Akasa berada, sedikit berbeda. Tidak ada perbedaan blok antara buku dan non-buku. Mereka dilebur begitu saja, sehingga datang ke Akasa adalah sekaligus juga terjun ke tengah suasana pasar tradisional.  Hal menarik lain, selain menjual buku, yang khas dari Akasa adalah teh. Ini adalah anomali di tengah tren minum kopi. Akasa tidak ada kopi, hanya teh, dan hanya teh panas. Harganya pun sangat aneh, yaitu lima ribu rupiah saja dengan jumlah isi ulang tidak terbatas. Suatu hari saya berkelakar tentang harga super murah ini, "Ini bagus, karena harga tinggi cenderung menuntut pelayan...

Uang dan Nilai Keindahan

Perihal uang, kita kurang lebih bisa memahaminya jika dipertukarkan dengan sesuatu yang fungsional. Misalnya, kurang lebih kita bisa paham mengapa kopi harganya sekian, diukur dari biaya produksi, distribusi dan penyajiannya – meski dalam konteks tertentu, kopi bisa sangat mahal ketika masuk suatu pertambahan nilai yang dinamakan “gaya hidup”-.  Kita bisa mengerti mengapa sebuah mobil harganya sekian, karena misalnya, kenyamanan, dan fasilitasnya dibandingkan dengan mobil yang lain. Kebaruan juga penting, bahwasanya mobil tersebut baru keluar dari pabrik tidak lebih dari setahun terakhir dan belum pernah digunakan oleh orang lain.  Kita bisa mengerti juga kurang lebih mengapa rumah harganya sekian, karena bahan bangunan, lokasi, akses, dan nilai tanah yang memang punya kecenderungan untuk terus meningkat.  Namun bagaimana dengan keindahan?  Keindahan konon sering dikatakan sebagai sesuatu yang subjektif. Ukurannya berbeda-beda bagi setiap orang. Beda...