Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Namanya Akasa. Toko buku ini milik kawan saya, Ucrit, Bonil, Alfi dan Widay. Hal yang menarik pertama adalah toko buku ini terletak di sebuah pasar tradisional. Memang konsep semacam ini tidak aneh-aneh amat. Di Pasar Palasari misalnya, ada blok yang khusus jual sayuran, daging, bumbu, sembako, dan semacamnya, tapi ada juga blok khusus yang menjual buku-buku saja. Tapi di Pasar Cihapit, tempat Akasa berada, sedikit berbeda. Tidak ada perbedaan blok antara buku dan non-buku. Mereka dilebur begitu saja, sehingga datang ke Akasa adalah sekaligus juga terjun ke tengah suasana pasar tradisional. Hal menarik lain, selain menjual buku, yang khas dari Akasa adalah teh. Ini adalah anomali di tengah tren minum kopi. Akasa tidak ada kopi, hanya teh, dan hanya teh panas. Harganya pun sangat aneh, yaitu lima ribu rupiah saja dengan jumlah isi ulang tidak terbatas. Suatu hari saya berkelakar tentang harga super murah ini, "Ini bagus, karena harga tinggi cenderung menuntut pelayan