Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
(Ditulis sebagai suplemen diskusi Maca #9 tentang "Teater Naskah Adaptasi", Bandung Creative Hub, 6 Oktober 2019) Sudah lama saya merasa bahwa literatur Jepang adalah "sesuatu". Selain mahakarya Musashi dan Taiko karya Eiji Yoshikawa, yang menyuguhkan romantisme historis, Jepang juga melahirkan tulisan-tulisan gelap, absurd, psikologis dan eksistensialistik. Para penulisnya, sebut saja, Yukio Mishima, Ryonusuke Akutagawa, dan yang paling baru, Haruki Murakami. Mishima dan Murakami tentu saja menarik dan "aneh", tapi mari membahas lebih banyak tentang Akutagawa, sebagaimana topik tulisan ini yang akan membahas karyanya yang diadaptasi dengan unik oleh Zulfa Nasrulloh, seorang kawan penyair yang kemudian akan menjalani debutnya sebagai sutradara teater. Selain terpesona oleh tulisan Akutagawa yang gelap dan dalam, saya menduga Zulfa juga terinspirasi oleh sutradara film Jepang, Akira Kurosawa. Kurosawa menyutradarai film Rashomon (19