Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
(Ditulis sebagai suplemen diskusi Maca #9 tentang "Teater Naskah Adaptasi", Bandung Creative Hub, 6 Oktober 2019) Sudah lama saya merasa bahwa literatur Jepang adalah "sesuatu". Selain mahakarya Musashi dan Taiko karya Eiji Yoshikawa, yang menyuguhkan romantisme historis, Jepang juga melahirkan tulisan-tulisan gelap, absurd, psikologis dan eksistensialistik. Para penulisnya, sebut saja, Yukio Mishima, Ryonusuke Akutagawa, dan yang paling baru, Haruki Murakami. Mishima dan Murakami tentu saja menarik dan "aneh", tapi mari membahas lebih banyak tentang Akutagawa, sebagaimana topik tulisan ini yang akan membahas karyanya yang diadaptasi dengan unik oleh Zulfa Nasrulloh, seorang kawan penyair yang kemudian akan menjalani debutnya sebagai sutradara teater. Selain terpesona oleh tulisan Akutagawa yang gelap dan dalam, saya menduga Zulfa juga terinspirasi oleh sutradara film Jepang, Akira Kurosawa. Kurosawa menyutradarai film Rashomon (19