Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2019

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Rashomon dan Alih Wahana Sastra ke Teater

(Ditulis sebagai suplemen diskusi Maca #9 tentang "Teater Naskah Adaptasi", Bandung Creative Hub, 6 Oktober 2019) Sudah lama saya merasa bahwa literatur Jepang adalah "sesuatu". Selain mahakarya Musashi dan Taiko karya Eiji Yoshikawa, yang menyuguhkan romantisme historis, Jepang juga melahirkan tulisan-tulisan gelap, absurd, psikologis dan eksistensialistik. Para penulisnya, sebut saja, Yukio Mishima, Ryonusuke Akutagawa, dan yang paling baru, Haruki Murakami.  Mishima dan Murakami tentu saja menarik dan "aneh", tapi mari membahas lebih banyak tentang Akutagawa, sebagaimana topik tulisan ini yang akan membahas karyanya yang diadaptasi dengan unik oleh Zulfa Nasrulloh, seorang kawan penyair yang kemudian akan menjalani debutnya sebagai sutradara teater.  Selain terpesona oleh tulisan Akutagawa yang gelap dan dalam, saya menduga Zulfa juga terinspirasi oleh sutradara film Jepang, Akira Kurosawa. Kurosawa menyutradarai film Rashomon (19

Menjadi Pimpro Harpa Nusantara

Tawaran untuk menjadi pimpinan produksi Harpa Nusantara itu saya ingat sekali, tanggal 1 Maret 2019. Waktu itu Sisca dan suami datang ke restoran Truno 58, karena saya sedang ada tampil di sana. Sisca bertanya apakah kira-kira yang bisa dilakukan untuk konsernya? Karena dia kurang sreg dengan konsep konser yang megah dan melibatkan banyak artis (komersil) - seperti yang katanya sudah dibicarakan dengan beberapa temannya -.  Inilah yang membuat saya senang mendengarnya. Sisca, si pemain guzheng dan harpa yang nyaris lekat dengan dunia " weddingan " tersebut, ternyata sedang mencari bentuk pertunjukan yang kiranya lebih relevan dengan renungan dan pencariannya. Saya bisa membayangkan apa yang ada di benaknya: Tidakkah harus ada hal yang lebih agung, yang mesti dicapai lewat seni, yang tentunya sekaligus lebih ugahari daripada panggung nikahan ke nikahan? Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat pada panggung nikahan, tapi seni, bagaimanapun, puny

Perayaan Kebudayaan dalam Harpa Nusantara

(Tulisan sambutan untuk konser Harpa Nusantara dari Sisca Guzheng Harp, Gedung Kesenian Rumentang Siang, 30 September 2019) Sisca Guzheng Harp adalah musisi yang cukup lama saya kenal. Dulu, sekitar delapan tahun lalu, kami bersama-sama menjadi pemain reguler di Hilton, dengan dia menjadi pianis dan saya menjadi gitaris. Tak lama kemudian saya tahu juga bahwa dia ternyata lebih memfokuskan penguasaan instrumennya pada guzheng (kecapi Tiongkok) dan harpa - yang kemudian kita ketahui dari mana asal muasal nama panggungnya -.  Hal yang baru saya ketahui belakangan adalah ini: Sisca ternyata punya perhatian lebih pada tradisi dan sekaligus juga kemasakinian. Tentu masa kini ini ada dua aspek, yaitu aspek populer dan aspek kontemporer dalam arti " new movement ". Ini terlihat sekurang-kurangnya dari aktivitas Sisca yang selain bermain untuk dimensi hiburan (baca: " weddingan "), juga untuk acara-acara apresiatif seperti teater, puisi, dan musik yang "ti

Bidadari Merah Putih: Brecht Sa-Brecht-Brecht-Na

Analisis Pertunjukan sebagai Penonton (Padahal aslinya Penata Musik)  Kita bisa mulai menganalisis teater Bidadari Merah Putih (selanjutnya disebut dengan BMP) dari sudut pandang estetikanya. Pertama, BMP menyajikan cukup banyak adegan, dengan hubungan yang seringkali tidak terlalu linear - atau ada distraksi-distraksi yang membuat penonton bertanya-tanya, untuk apa ada adegan ini? -. Kedua, dalam pertunjukan ini, kita bisa melihat aktor memerankan beberapa peran, mulai dari tokoh utama sampai menjadi properti seperti "bunga" dan "putri malu". Ketiga, BMP juga sering sekali melakukan " breaking the fourth wall " atau teknik berbicara pada penonton seperti dialog tokoh Jaya Mugiri berikut ini:  "Eh penonton, tingalikeun, maenya rek mabok wae meni Demi Alloh."  Ketiga hal tersebut merupakan ciri kuat dari bentuk teater Brechtian yang digagas oleh Bertolt Brecht. Misalnya, kaitannya dengan " breaking the fourth wall ", gag