Ditulis sebagai suplemen mata kuliah “Isu-Isu Desain Kontemporer”, Pascasarjana FSRD ITB, 18 Februari 2019.
Pengantar
Dalam musik, memang jarang sekali muncul istilah “desain”. Kalaupun ada, biasanya tidak secara langsung berasal dari musik itu sendiri, melainkan pada hal-hal di selingkarannya, seperti mendesain kostum musisi, mendesain ruang pertunjukan beserta akustiknya, dan hal-hal yang biasanya bersifat “visual”. Musik, sebagai apa yang disebut Edgar Varese sebagai “bunyi yang terorganisasi”, memang jauh dari kata desain, karena kemungkinan, desain sudah terlampau lekat dengan apa yang terlihat, sehingga jarang sekali kita dengar kalimat misalnya: “musik yang didesain”.
Padahal, sebagaimana halnya aspek-aspek visual (yang secara stereotip: juga bersifat fungsional) yang kita semua tahu, musik juga timbul dari sebuah proses desain. Kita mulai dari yang paling dekat dengan visual dulu: Membuat musik, pada salah satu prosesnya, adalah mendesain visual dalam bentuk notasi yang disusun dalam garis-garis birama, yang terdapat pula di sana key signature dan time signature (sukat) yang dirancang sedemikian rupa agar dapat dibunyikan menjadi musik.
Bagimana dengan permainan musik tanpa notasi? Tetap saja bisa kita katakan sebagai desain. Melakukan improvisasi misalnya, yang lekat dengan kegiatan dalam musik jazz, sering disebut juga sebagai kegiatan “instant composing” yang artinya juga terdapat perencanaan-perencanaan dan pola-pola. Dalam improvisasi, para musisi seolah membunyikan not secara bebas, tanpa aturan, spontan, instingtif, yang seolah-olah bertentangan dengan aspek desain yang “penuh perhitungan”. Kenyataannya, improvisasi, di baliknya, terdapat proses mendesain yang cepat dan rumit, di atas suatu jalur tangga nada dan interval yang tertanam dalam benak musisi secara bawah sadar.
Dalam hubungan yang lain, musik dan desain (yang bersifat visual) juga bisa saling mempengaruhi. Misalnya, desain arsitektur zaman Barok, bisa selaras dengan musik-musik Johann Sebastian Bach atau Antonio Vivaldi, yang “sama-sama ornamentatif”. Tentu saja sifat ornamentatifnya berbeda karena reseptor penginderaannya pun berbeda. Ornamentatif pada konteks arsitektur, bisa jadi ada pada motif-motif yang terdapat pada bangunannya, yang mungkin bisa menyelipkan patung monster sangat detail di suatu sudut yang tidak terlalu terlihat. Sama dengan dalam musiknya, saat Bach atau Vivaldi mengomposisi musik dengan melibatkan banyak sekali trill dan slur di tengah jalinan kontrapung yang rumit.
Di abad ke-20 misalnya, saat modernisasi mulai perlahan-lahan memuncaki peradaban, teknologi mulai mengambil alih banyak aspek kehidupan manusia sehingga segalanya menjadi praktis, musik merespons dengan berbagai cara: Ada yang memasukan harmoni timur sebagai variasi (Pagodes karya Claude Debussy sekitar tahun 1889 – menjelang awal abad ke-20), ada yang “berontak” secara tonalitas, sebagaimana dilakukan misalnya oleh Igor Stravinsky dan Arnold Schoenberg, ada yang mengombinasikan idiom klasik dan jazz seperti yang dilakukan oleh George Gershwin, ada yang fokus pada nasionalisme seperti Alberto Ginastera dan Heitor Villa-Lobos, ada yang eksperimental seperti John Cage (yang turut memelopori notasi gambar, yang jauh dari penulisan notasi konvensional), ada yang bersikap minimalis (mungkin seperti prinsip desain: KISS – Keep It Simple Stupid) seperti Philip Glass, dan lain sebagainya.
Pada titik ini, sebagaimana halnya modernisme yang menciptakan individualisme, ekspresi-ekspresi “desain musik” juga menjadi ekspresi individual dan tidak lagi mengacu pada semangat zaman seperti sebelumnya: Renaisans, Barok, Klasik, Romantik. Modernisme menciptakan suatu gejolak desain musik yang sangat ramai, yang di sisi lain, juga berkembang “musik terapan”, berupa musik yang hadir bersama industri, seperti pop, yang hadir bersama maraknya media massa. Pada musik pop, hal-hal yang menempel pada desain, seperti aspek fungsional, mungkin bisa lebih terasa. Bahwa musik pop lebih berguna dan bisa dinikmati, daripada musik-musik yang disebut di atas. Namun pada musik-musik yang disebut di atas, desain sebagai sebuah proses, juga terasa, dalam arti: Ada musik yang tumbuh oleh suatu pikiran dan rancangan tertentu, yang berasal dari pembacaan menyeluruh terhadap semangat zaman, fenomena sosial, dan perkembangan teknologi.
Mari kita mendengarkan (dan melihat):
Pengantar
Dalam musik, memang jarang sekali muncul istilah “desain”. Kalaupun ada, biasanya tidak secara langsung berasal dari musik itu sendiri, melainkan pada hal-hal di selingkarannya, seperti mendesain kostum musisi, mendesain ruang pertunjukan beserta akustiknya, dan hal-hal yang biasanya bersifat “visual”. Musik, sebagai apa yang disebut Edgar Varese sebagai “bunyi yang terorganisasi”, memang jauh dari kata desain, karena kemungkinan, desain sudah terlampau lekat dengan apa yang terlihat, sehingga jarang sekali kita dengar kalimat misalnya: “musik yang didesain”.
Padahal, sebagaimana halnya aspek-aspek visual (yang secara stereotip: juga bersifat fungsional) yang kita semua tahu, musik juga timbul dari sebuah proses desain. Kita mulai dari yang paling dekat dengan visual dulu: Membuat musik, pada salah satu prosesnya, adalah mendesain visual dalam bentuk notasi yang disusun dalam garis-garis birama, yang terdapat pula di sana key signature dan time signature (sukat) yang dirancang sedemikian rupa agar dapat dibunyikan menjadi musik.
Bagimana dengan permainan musik tanpa notasi? Tetap saja bisa kita katakan sebagai desain. Melakukan improvisasi misalnya, yang lekat dengan kegiatan dalam musik jazz, sering disebut juga sebagai kegiatan “instant composing” yang artinya juga terdapat perencanaan-perencanaan dan pola-pola. Dalam improvisasi, para musisi seolah membunyikan not secara bebas, tanpa aturan, spontan, instingtif, yang seolah-olah bertentangan dengan aspek desain yang “penuh perhitungan”. Kenyataannya, improvisasi, di baliknya, terdapat proses mendesain yang cepat dan rumit, di atas suatu jalur tangga nada dan interval yang tertanam dalam benak musisi secara bawah sadar.
Dalam hubungan yang lain, musik dan desain (yang bersifat visual) juga bisa saling mempengaruhi. Misalnya, desain arsitektur zaman Barok, bisa selaras dengan musik-musik Johann Sebastian Bach atau Antonio Vivaldi, yang “sama-sama ornamentatif”. Tentu saja sifat ornamentatifnya berbeda karena reseptor penginderaannya pun berbeda. Ornamentatif pada konteks arsitektur, bisa jadi ada pada motif-motif yang terdapat pada bangunannya, yang mungkin bisa menyelipkan patung monster sangat detail di suatu sudut yang tidak terlalu terlihat. Sama dengan dalam musiknya, saat Bach atau Vivaldi mengomposisi musik dengan melibatkan banyak sekali trill dan slur di tengah jalinan kontrapung yang rumit.
Di abad ke-20 misalnya, saat modernisasi mulai perlahan-lahan memuncaki peradaban, teknologi mulai mengambil alih banyak aspek kehidupan manusia sehingga segalanya menjadi praktis, musik merespons dengan berbagai cara: Ada yang memasukan harmoni timur sebagai variasi (Pagodes karya Claude Debussy sekitar tahun 1889 – menjelang awal abad ke-20), ada yang “berontak” secara tonalitas, sebagaimana dilakukan misalnya oleh Igor Stravinsky dan Arnold Schoenberg, ada yang mengombinasikan idiom klasik dan jazz seperti yang dilakukan oleh George Gershwin, ada yang fokus pada nasionalisme seperti Alberto Ginastera dan Heitor Villa-Lobos, ada yang eksperimental seperti John Cage (yang turut memelopori notasi gambar, yang jauh dari penulisan notasi konvensional), ada yang bersikap minimalis (mungkin seperti prinsip desain: KISS – Keep It Simple Stupid) seperti Philip Glass, dan lain sebagainya.
Pada titik ini, sebagaimana halnya modernisme yang menciptakan individualisme, ekspresi-ekspresi “desain musik” juga menjadi ekspresi individual dan tidak lagi mengacu pada semangat zaman seperti sebelumnya: Renaisans, Barok, Klasik, Romantik. Modernisme menciptakan suatu gejolak desain musik yang sangat ramai, yang di sisi lain, juga berkembang “musik terapan”, berupa musik yang hadir bersama industri, seperti pop, yang hadir bersama maraknya media massa. Pada musik pop, hal-hal yang menempel pada desain, seperti aspek fungsional, mungkin bisa lebih terasa. Bahwa musik pop lebih berguna dan bisa dinikmati, daripada musik-musik yang disebut di atas. Namun pada musik-musik yang disebut di atas, desain sebagai sebuah proses, juga terasa, dalam arti: Ada musik yang tumbuh oleh suatu pikiran dan rancangan tertentu, yang berasal dari pembacaan menyeluruh terhadap semangat zaman, fenomena sosial, dan perkembangan teknologi.
Mari kita mendengarkan (dan melihat):
- Prelude BWV 997 – Pada karya Johann Sebastian Bach ini, kita akan mendengar bagaimana sang komposer mendesain kontrapung beserta ornamentasinya dengan sangat rapi, matematis, dan sekaligus ornamentatif.
- Pagodes - Pada karya Claude Debussy di akhir abad ke-19 ini, kita akan dengar bagaimana keterpesonaan sang komposer pada musik gamelan yang baru ia dengar untuk pertama kali, lantas dituangkan dalam karya untuk piano ini: sebuah desain bunyi yang kolaboratif.
- Pierrot Lunaire Op. 21 – Ini adalah karya Arnold Schoenberg tahun 1912 yang dibawakan oleh soprano dengan gaya sprechstimme (bernyanyi tapi seperti bicara, bicara tapi seperti bernyanyi) dan diiringi oleh ensembel kecil (flute, clarinet, biola, cello, dan piano). Pierrot Lunaire, yang merupakan interpretasi melodrama dari kumpulan puisi milik Albert Biraud, terkenal karena prinsip atonalitasnya, sebuah desain yang seolah ”tanpa pola dan perencanaan”.
- 4’33’’ – Karya John Cage ini isinya tanda istirahat sepanjang empat menit dan tiga puluh tiga detik. Pertanyaan besar sekali lagi: Apakah “ketiadaan desain” adalah desain juga?
- Opening – Karya Philip Glass ini sering disebut sebagai musik minimalis: musik yang didesain sedemikian rupa agar menghasilkan not-not yang perlu saja, lantas direpetisi. Desain ini mungkin juga mengambil prinsip KISS (Keep It Simple Stupid).
- Psappha – Karya komposer Yunani, Iannis Xenakis, untuk solo perkusi. Perhatikan desain notasinya:
- Music of Changes – Music of Changes adalah karya John Cage sekitar tahun 1951 untuk kawannya, pianis David Tudor. Terinspirasi dari “kitab perubahan” atau I Ching dari Tiongkok Kuno, John Cage merasa bahwa memainkan komposisi tidak perlu saklek karena yang demikian hanya akan mengacu pada selera pribadi sang komposer. Dengan metode I Ching, Cage menawarkan kemungkinan-kemungkinan penafsiran dalam memainkan komposisinya, yang diserahkan penuh pada musisinya sendiri (untuk simbol-simbol tertentu). Pada titik ini, sifat desain menjadi lebih “partisipatoris”, membuka kemungkinan partisipasi dari penafsir untuk melengkapi ide-ide dari sang desainer.