Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2021

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Egoisme dan Altruisme dalam Seni Rupa

(Hasil diskusi dengan Dwihandono Ahmad yang dituliskan sebagai suplemen kelas Egoisme dan Altruisme dalam Seni Rupa yang diselenggarakan oleh NuArt Sculpture Park bersama Rakarsa Foundation, Sabtu, 25 September 2021)   Egoisme dan Altruisme Egoisme dan altruisme merupakan konsep yang sering dipertentangkan dalam koridor etika normatif. Sebelum masuk ke dalam pembahasan berkenaan dengan egoisme dan altruisme, penting kiranya untuk mengulas tentang apa itu etika normatif. Etika normatif ini adalah cabang pembahasan dari etika atau filsafat moral. Selain etika normatif, ada juga meta-etika dan etika terapan. Masing-masingnya dapat dijelaskan dalam uraian singkat berikut ini: Meta-etika adalah cabang kajian etika yang membahas terkait hakikat dari kata “baik”, “wajib”, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa meta-etika membahas suatu struktur di balik pembahasan mengenai etika. Contoh dalam pernyataan sehari-hari: “Kita terus-terusan membahas apa yang baik, tetapi kata ‘baik’ itu sendiri seb

Kata Georg Simmel tentang Sifat yang Hanya Muncul Akibat Uang

Georg Simmel adalah sosiolog asal Jerman yang terkenal salah satunya karena menulis buku berjudul The Philosophy of Money (1900). Di dalam buku yang tebalnya kira-kira enam ratusan halaman tersebut, Simmel menuliskan pandangannya mengenai uang dari sudut pandang filsafat, psikologi dan sosiologi. Menariknya, Simmel tidak terlalu membahasnya dari sisi ekonomi ataupun memandangnya secara kritis seperti Marx. Secara garis besar, Simmel malah terkesan pesimistik: menunjukkan bahwa kita tidak mungkin lepas dari uang dan bahkan semakin canggih perkembangan akal budi manusia, justru makin menerima macam-macam uang yang tidak rasional!  Sebagai contoh, pada mulanya, uang merupakan sertifikat yang merepresentasikan cadangan logam mulia di suatu wilayah. Namun lama-kelamaan, hubungan uang dengan apa yang direpresentasikannya ini diputus dan nilai uang menjadi dijamin hanya oleh otoritas. Artinya, hanya kepercayaan pada otoritas saja yang membuat uang menjadi bernilai dan bagi Simmel, ini justru

Nomaden

Saya tengah merenungkan untuk menjalani hidup yang nomaden (meski saat ini bisa dikatakan sudah). Artinya, hidup menetap tidak lagi saya jadikan cita-cita. Meski belum membacanya secara tuntas, tetapi saya cukup terkaget saat topik nomaden ini ternyata dibahas oleh filsuf Masa Keemasan Islam, Ibn Khaldun dan filsuf posmodern, Zygmunt Bauman. Ibn Khaldun memberi contoh Suku Badui sebagai suku yang menerapkan prinsip hidup nomaden. Sebagai konsekuensi dari prinsip nomadennya tersebut, Suku Badui, dalam pandangan Ibn Khaldun, dianggap sebagai kelompok yang kemungkinan tidak terikat dengan kemewahan dan perilaku buruk. Sementara itu, Bauman menyebutkannya dalam konteks "modernitas cair" yang ditunjukkan dengan identitas orang yang kian nomaden: bergerak dari satu label ke label yang lain. Namun sekali lagi, saya belum tuntas membacanya sehingga lebih baik jika dalam tulisan ini, saya mengungkapkan apa yang saya pikirkan dan rasakan saja terkait nomaden dan nomad-isme.  Ada masa-m

Anarkisme dan Kristianitas Menurut Jacques Ellul

  Jacques Ellul (1912 – 1994) adalah pemikir Prancis yang banyak memfokuskan gagasannya pada teknologi, media dan anarkisme. Sebagai seorang Kristiani, ia kerap mendasarkan berbagai argumennya pada Alkitab, termasuk yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu terkait anarkisme. Dalam bukunya yang berjudul Anarchism and Christianity , Ellul mengurai bahwa anarkisme tidak hanya kompatibel dengan Kristianitas melainkan lebih dari itu, di dalam Kristianitas, sudah terkandung secara inheren gagasan-gagasan anarkisme.  Anarkisme, singkatnya, adalah aliran pemikiran yang menghendaki penghapusan otoritas dan hierarki. Dalam mencapai tujuannya tersebut, para pemikir anarkisme punya pandangan yang berbeda-beda. Ellul sendiri memilih untuk setia pada jalur non-kekerasan sebagai jalur yang dianggap sejalan dengan ajaran Yesus. 1 Koheren dengan pandangan anti-otoritas dan anti-hierarki-nya anarkisme, Ellul dengan tegas menolak partisipasi politik dalam bentuk apapun. 2 Namun ia sendiri menegaskan ba

Joseph Beuys dan Antroposofi

  Ditulis sebagai suplemen dalam rangka peringatan 100 tahun Joseph Beuys, 13 November 2021. Konsep “trauma” merupakan kata kunci yang penting dalam memahami karya-karya Joseph Beuys (1921 – 1986). Trauma tersebut berangkat dari kejadian pada tahun 1944, saat Beuys masih menjadi pilot angkatan udara Nazi yaitu Luftwaffe . Pesawat tukik “ Stuka ” yang dikemudikannya mengalami kecelakaan di wilayah Krimea dan jatuh di tengah orang-orang Tatar. Meski secara administratif merupakan bagian dari Uni Soviet, orang-orang Tatar ini tidak tertarik untuk menghabisi Beuys yang notabene adalah musuh negara. Badan si pilot yang luka malah dibungkus dengan lemak hewan dan kain felt hingga akhirnya membaik.  Namun cerita tersebut dianggap sebagai karangan Beuys yang tidak bisa dibuktikan. Pasukan Jerman lainnya tidak menemukan orang-orang Tatar di lokasi tempat jatuhnya pesawat Beuys. Bagi Beuys, siapa yang benar-benar menyelamatkannya tidaklah penting, karena dalam reinterpretasi memorinya, orang-ora