Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
(Hasil diskusi dengan Dwihandono Ahmad yang dituliskan sebagai suplemen kelas Egoisme dan Altruisme dalam Seni Rupa yang diselenggarakan oleh NuArt Sculpture Park bersama Rakarsa Foundation, Sabtu, 25 September 2021) Egoisme dan Altruisme Egoisme dan altruisme merupakan konsep yang sering dipertentangkan dalam koridor etika normatif. Sebelum masuk ke dalam pembahasan berkenaan dengan egoisme dan altruisme, penting kiranya untuk mengulas tentang apa itu etika normatif. Etika normatif ini adalah cabang pembahasan dari etika atau filsafat moral. Selain etika normatif, ada juga meta-etika dan etika terapan. Masing-masingnya dapat dijelaskan dalam uraian singkat berikut ini: Meta-etika adalah cabang kajian etika yang membahas terkait hakikat dari kata “baik”, “wajib”, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa meta-etika membahas suatu struktur di balik pembahasan mengenai etika. Contoh dalam pernyataan sehari-hari: “Kita terus-terusan membahas apa yang baik, tetapi kata ‘baik’ itu sendiri seb