Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya. Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang. Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di
Ditulis dalam perjalanan di kereta, sebagai suplemen bedah buku Notasi Musik Abad 20 dan 21 karya Septian Dwi Cahyo, Sabtu, 25 Agustus 2018 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Buku Notasi Musik Abad 20 dan 21 ini sudah lama saya lihat pengumumannya di linimasa media sosial teman-teman saya. Selintas, saya pikir buku ini menarik dan keren karena saya tiba-tiba teringat ucapan Dieter Mack pada sebuah seminar berjudul Komposer Masa Kini di Universitas Pendidikan Indonesia pada 11 Oktober 2016. Begini kira-kira ucapannya, "Meski cara memainkan musik sudah sangat beragam, tapi komposer tetap harus punya cara agar pemain dapat memainkan komposisinya dengan seratus persen sama (dengan apa yang dimaksud)." Lalu Dieter berjalan ke papan tulis dan menggambar notasi yang, saya yakin, nyaris sebagian besar audiens tidak mengenalnya. Bagi saya yang bukan komposer, saya baru mengerti secara yakin: inilah notasi musik "masa kini", yang oleh Septian Dwi Cahyo di