Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2020

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Paku dan Hal-Hal yang Tidak Perlu Kita Ketahui Tentangnya

(Ditulis sebagai pengantar pameran Ridwan S. Iwonk di Festival Merawat Beda yang diselenggarakan oleh Komuji Indonesia, 22 September – 6 Oktober 2020 di Rumah Komuji, Bandung) Mari membicarakan paku dari berbagai perspektif. Misalnya, kondisi negeri kita sekarang ini, punya andil benda bernama paku di dalamnya. Iya, kita mencoblos gambar para wakil rakyat, dengan paku yang tajam, seolah-olah kita tancapkan harapan ke dada mereka. Selain itu, jangan lupakan juga dunia klenik di Indonesia, yang menjadikan paku sebagai benda penting untuk dimasukkan pada tubuh orang yang disantet (kelihatannya belum ada perkakas lain yang lebih seram untuk menggantikan paku). Lebih serius lagi, spiritualitas umat Kristiani dibangun salah satunya oleh benda bernama paku, yang digunakan sedemikian kejamnya, sehingga meneteskan begitu banyak darah Sang Mesias yang bersimbah di sepanjang Via Dolorosa . Darah itu bukan sembarang darah, melainkan darah yang menebus dosa umat manusia.  Kita paksakan untuk membic

Jika Kata Anjay Dilarang ...

Beberapa hari belakangan ini, netizen dihebohkan (iya, memang hanya netizen yang sering merasa heboh, orang di luar jaringan, kelihatannya, biasa-biasa saja tuh) oleh larangan kata "anjay" yang dikeluarkan oleh Komnas PA, berdasarkan "aduan masyarakat" - yang jika ditarik, bermula dari aduan Lutfi Agizal (semacam figur publik yang saya tidak tahu karena saya kurang gaul) -. Tentu saja, kritik muncul di mana-mana, karena, mengapa ucapan harus dilarang, meski katanya kasar? Jika ditilik-tilik, apakah memang iya, kata "anjay" itu kasar? Lalu, jika larangan tersebut benar-benar diberlakukan dan sifatnya mengikat secara hukum, kira-kira apa yang bakal terjadi pada masyarakat kita? Gambar diambil dari sini . Saya tiba-tiba ingat film tahun 2010 berjudul The King's Speech yang bercerita tentang Raja George VI yang gagap. Kegagapannya ini tentu saja menjadi masalah bagi seorang raja yang harus sering bicara di hadapan publik. Apalagi, konteks Raja George VI a