Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2010

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Dunia Tanpa Tandatangan

Tanda tangan Pablo Picasso, diambil dari sini Bayangkan bayangkan, sebuah dunia tanpa tandatangan. Barangkali tiada yang dinamakan seniman. Semua membuat barang bersama, semua bermain musik bersama (sekaligus menciptanya), semua menyanyi samasama. Lalu entah kesadaran darimana (kemungkinan Renaissans), manusia menganggap dirinya unik dan berbeda satu sama lain. Individu tampil ke permukaan dan membuat pelbagai kepemilikan. Heidegger sempat merenungkan, bahwa dunia ini satu pada mulanya. Tapi manusia ingin mengeksploitasi semesta ini, maka itu memecah belah segalanya menjadi banyak nama dan istilah. Tiada dulu itu tanah, air, langit, pohon, waktu, atau binatang. Manusialah yang menamai, agar mudah tuk dikuasai. Seniman ada, profesi seniman maksudnya, barangkali karena telah dikenal yang namanya tandatangan. Ketika dalam sebuah karya diguratkan goresan tangan (yang katanya menunjukkan keunikan yang tak mungkin disamai manusia satu dan lainnya), maka si karya jadi ada pemiliknya. Tandatan

Pengakuan seorang Messianis

Kawanku banyak yang Katolik. Mereka memuja Yesus Sang Mesias. Tapi mengapa aku tak tertarik? Padahal sempat mampir beberapa kali di katedral. Karena aku tak menemukan banyak hal yang beda, dari sembilan puluh menit berada di Camp Nou. Disini bisa menampung seratus ribu jema'at, lebih banyak dari katedral manapun di dunia. Sama-sama menggemuruhkan gumam puja-puji. Sama-sama bersatu dalam lautan emosi gembira, sedih, hingga jerit peri. Itu Tuhanku: Lionel Messi. Messi, Il Nostro Dio. Dari kedua kakinya, aku tak tahu dimana lapar dan dahaga. Dari kelincahannya, hatiku tak berhenti menyebut ia. Dari kerendahan lakunya, aku mau berbagi cinta dan berpasrah diri. Dan golnya adalah ledakan ekstase vertikal mahadahsyat. Messi sang juruselamat. Messi akan mati. Messi akan berhenti. Berhenti dari sepakbola. Tapi altar pemujaanku akan senantiasa berdiri. "Maka, Messias. Aku berdoa kepadamu: Jika derita dan kemiskinan ini tak mampu kau singkirkan dari hidupku yang pilu, maka cukup berika

Tuhan itu Suka-Suka

Jika ada yang sepaham bahwa Nabi dan Rasul adalah satu-satunya penyampai wahyu dari Tuhan, maka saya akan menjadi salah satu orang yang angkat tangan dengan lantang menolak paham itu. Bahkan jika yang masih dengan primitif menganggap cuma para ulama, pendeta, MUI, atau pihak-pihak dari lembaga keagamaan lah yang berhak menyuarakan isi hati Tuhan, maka saya juga akan menolak itu dengan keras. Dalam perjalanan saya, banyak sekali ditemukan orang yang saya yakini dia adalah penyampai wahyu. Bukan dalam artian penyampai wahyu yang konsisten seperti para nabi. Tapi wahyu yang bisa jadi singkat, hanya sepenggal, atau dia sendiri tidak sadar sedang mewahyukan sesuatu, tapi saya yakini bahwa itulah suara Tuhan. Suara Tuhan yang sekaligus memberitahu bahwa dia suka-suka saja memilih siapa yang menyampaikan wahyunya. Ia tak menunjuk seseorang berdasarkan status ekonomi, kekuasaan, pekerjaan, bahkan tingkat kesalehan. Berikut adalah orang-orang yang memang bukan nabi, tapi bagi saya, ia membawa w

Filsafat dan Agama

Filsafat dan agama, seolah menjadi dua entitas yang berbeda. Kadang dipertentangkan, kadang dipersatukan. Yang menjadi bahan pertentangan, tentu saja: yang satu memaksimalkan akal pikiran, satu lagi berintikan keimanan. Sifat akal seringkali dimulai dari keraguan sebagai syarat kebenaran, sedangkan sifat iman dimulai dari keyakinan sebagai syarat kebenaran. Paham pemurnian iman biasa disebut fideisme, jadi "Iman ya iman, tidak ada akal pikiran di dalamnya". Adapun yang mencoba mempersatukan, yakni yang percaya bahwa akal adalah syarat untuk memperoleh keimanan. Dalam agama sering sekali ada suruhan untuk berpikir, semata-mata agar mengetahui bahwa iman tidak bersifat dogmatis. Ia justru ada dalam alam nalar kita jua. Sebelum dibahas, filsafat yang dimaksud, adalah dalam pengertian filsafat Barat. Yang membahas apa-apa dari sudut pandang ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ontologi berarti hakekat, epistemologi adalah apa yang dapat diketahui, dan aksiologi berarti manfa

Galau Spiritual

Saya akan katakan padamu, sebuah pengalaman mengangkasa. Naik pesawat maksudnya. Pesawat tinggal landas, bergemuruh dan mengaduh. Naik ia menembus awan menuju langit. Tiba di udara. Darat laut bagai peta. Di manakah manusia? Ia di bawah sana pastinya, kecil kelihatannya. Manakah yang namanya negara? Ada juga, jika kau lihat dari peta. Tapi tidak, tidak, dari atas sini, yang namanya perbatasan itu tiada. Semua tampak sama-sama saja. Ya Allah, manakah itu agama, bangsa, bahasa, serta semua yang selama ini manusia bela? Mana itu pemikiran filsafati canggih yang mengagungkan roh absolut, subyektivitas manusia, dualisme tubuh-roh, dunia ide, metafisika serta ilmu tentang tanda? Di mana? Di manakah konflik perebutan harta warisan, adu kuasa kursi caleg, tumpuk menumpuk uang di bank, preman malak anak SMA, tawuran remaja, teroris meledakkan diri, dua sejoli menjalin cinta, atau orang Islam makan babi? Di manakah keadilan, kekuasaan, kebebasan, kejayaan dan demokrasi? Tunjukkan padaku ya Alla