Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Tanda tangan Pablo Picasso, diambil dari sini Bayangkan bayangkan, sebuah dunia tanpa tandatangan. Barangkali tiada yang dinamakan seniman. Semua membuat barang bersama, semua bermain musik bersama (sekaligus menciptanya), semua menyanyi samasama. Lalu entah kesadaran darimana (kemungkinan Renaissans), manusia menganggap dirinya unik dan berbeda satu sama lain. Individu tampil ke permukaan dan membuat pelbagai kepemilikan. Heidegger sempat merenungkan, bahwa dunia ini satu pada mulanya. Tapi manusia ingin mengeksploitasi semesta ini, maka itu memecah belah segalanya menjadi banyak nama dan istilah. Tiada dulu itu tanah, air, langit, pohon, waktu, atau binatang. Manusialah yang menamai, agar mudah tuk dikuasai. Seniman ada, profesi seniman maksudnya, barangkali karena telah dikenal yang namanya tandatangan. Ketika dalam sebuah karya diguratkan goresan tangan (yang katanya menunjukkan keunikan yang tak mungkin disamai manusia satu dan lainnya), maka si karya jadi ada pemiliknya. Tandatan