Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Tanda tangan Pablo Picasso, diambil dari sini Bayangkan bayangkan, sebuah dunia tanpa tandatangan. Barangkali tiada yang dinamakan seniman. Semua membuat barang bersama, semua bermain musik bersama (sekaligus menciptanya), semua menyanyi samasama. Lalu entah kesadaran darimana (kemungkinan Renaissans), manusia menganggap dirinya unik dan berbeda satu sama lain. Individu tampil ke permukaan dan membuat pelbagai kepemilikan. Heidegger sempat merenungkan, bahwa dunia ini satu pada mulanya. Tapi manusia ingin mengeksploitasi semesta ini, maka itu memecah belah segalanya menjadi banyak nama dan istilah. Tiada dulu itu tanah, air, langit, pohon, waktu, atau binatang. Manusialah yang menamai, agar mudah tuk dikuasai. Seniman ada, profesi seniman maksudnya, barangkali karena telah dikenal yang namanya tandatangan. Ketika dalam sebuah karya diguratkan goresan tangan (yang katanya menunjukkan keunikan yang tak mungkin disamai manusia satu dan lainnya), maka si karya jadi ada pemiliknya. Tandatan