Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2012

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Dwilogi Novel Padang Bulan: Sastra Motivasi dan Tampak Keren

Setelah tandas membaca Taiko yang tebalnya 1140 halaman, saya coba cari novel yang sekiranya tidak terlalu berat untuk diselesaikan. Akhirnya saya temukan novel ini: Dwilogi Padang Bulan karya penulis Andrea Hirata yang naik daun oleh sebab Laskar Pelangi -nya. Saya belum membaca novel dia yang manapun. Ini adalah yang perdana. Hanya dua hari saya perlukan untuk menyelesaikan kedua buku yang terkemas dalam dwilogi Padang Bulan yaitu Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas . Tidak ada kerut kening atau membulak-balik halaman ke belakang untuk menyusun kepingan memori karena tertumpuk alur atau penokohan yang kompleks. Teknik bercerita Andrea sangat mengalir, ringan, dan tak jarang membuat saya menyunggingkan senyuman. Senyum ini bisa disebabkan oleh hal yang memang mengandung kejenakaan, bisa juga karena saya tak habis pikir: Mengapa bisa tulisan semacam ini jadi seperti apa yang dicapkan di sampul depannya: Mega Bestseller -Terjual 25.000 eksemplar dalam 2 minggu . Pertanyaan

Lima Puluh Tahun di Bawah Langit

Hidup manusia Hanya lima puluh tahun di bawah langit. Jelas bahwa dunia ini Tak lebih dari mimpi yang sia-sia. Hidup hanya sekali. Adakah yang tidak akan hancur? Syair kesukaan Oda Nobunaga tersebut terngiang-ngiang di dalam karya besar Eiji Yoshikawa selain Musashi yang berjudul Taiko . Sebelum membahas isinya, penting bagi saya untuk menceritakan bahwa sejarah kehadiran buku ini bisa dibilang cukup sentimentil. Taiko adalah hadiah pernikahan bagi saya dan istri dari seorang kawan bernama Heru Hikayat. Ia memberikannya pada sekitar tanggal 3 Februari, satu hari sebelum pernikahan kami. Jujur saja, sewaktu menerima ini, ada perasaan senang sekaligus bingung. Bingung karena saya tidak punya tradisi membaca novel yang tebalnya ribuan halaman. Melihatnya secara sepintas pun terasa ngeri. Namun setelah memaksakan diri menamatkan Musashi yang sama tebalnya, saya mendapatkan motivasi dari Bambang Q-Anees, seorang dosen. Katanya, "Setelah baca Musashi , lengkapi dengan b

Page Turner (2)

Ini adalah kali kedua saya didaulat menjadi petugas pembalik halaman partitur alias page turner . Ini kali kedua juga saya merasa harus menuliskannya karena betapa pengalaman ini sedemikian berkesan. Pengalaman pertama datang setahun lalu tepatnya tanggal 3 Desember 2011 . Waktu itu di Surabaya, debut saya tak tanggung-tanggung: Menjadi page turner bagi resital yang melibatkan dua pemain berkelas, yang satu adalah Urs Bruegger, klarinetis asal Swiss, dan Ratnasari Tjiptorahardjo, pianis Indonesia domisili Australia. Ketegangan yang dialami luar biasa, terutama disebabkan itu merupakan pengalaman pertama. Pada akhirnya, kegiatan membulak balik halaman itu berlangsung cukup lancar -Ibu Ratna mencatat saya satu kali terlambat membalik-. Saya mendapat kesimpulan istimewa: Inilah posisi VVIP dalam apresiasi musik klasik. Tidak ada senot pun yang terlewat untuk diapresiasi. Adrenalin khas konser pun mau tak mau ikut ditularkan pemain, sehingga saya terseret untuk tegang.  Kesempatan

Kehilangan

Selasa kemarin saya mengalami kehilangan. Seserius apa nilai kehilangannya, selalu relatif bagi setiap orang. Saya kehilangan dua buah laptop yang digondol maling dengan cara memecahkan kaca mobil. Tapi orang yang pernah kehilangan lebih besar akan menganggap hal yang seperti ini sepele. "Saya pernah kehilangan anak," "Saya pernah kehilangan golok leluhur kakek saya," "Saya pernah kecurian tiga buah laptop," dst, dst. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kehilangan jelas merupakan pengalaman eksistensial. Bagi saya pribadi, hilang laptop berarti juga hilang hiburan dan pekerjaan. Sehari-hari saya menulis, entah itu demi uang atau demi penyaluran hasrat. Kehilangan laptop membuat saya membayangkan hari-hari ke depan yang penuh kehampaan. Jika kehilangan merupakan suatu bencana. Maka saya teringat tiba-tiba suatu pepatah dari Sir Muhammad Iqbal, "Bencana membuat kita bisa melihat keseluruhan kehidupan." Saya menyatakan setuju untuk apa yan

Bane

Akibat sibuk menjalankan ibadah nonton tiga puluh film dalam tiga puluh hari bulan Ramadhan, saya dengan konyol melewatkan salah satu film terbaik tahun ini: The Dark Knight Rises yang marak diputar di bulan puasa. Bagian terakhir dari trilogi Batman karya sutradara Christopher Nolan ini baru saya tonton kemarin malam. Kekeliruan pertama dalam menyaksikan rangkaian film Batman-nya Nolan ini adalah menganggapnya sebagai film hiburan sebagaimana yang sudah disajikan dulu oleh Tim Burton ataupun Joel Schumacher. Batman garapan Nolan adalah Batman yang penuh pergumulan psikologis maupun filosofis. Aksinya yang dahsyat -yang tentu saja sudah ditopang teknologi yang jauh lebih canggih ketimbang pendahulunya-, berlangsung tidak sebanyak dialognya yang sepertinya ingin lebih ditekankan oleh Nolan. Bagi mereka yang hanya berharap menyaksikan Batman beradu jotos secara full-action , tentu saja kehilangan banyak gizi jika tidak memerhatikan konten percakapan. Ada satu ciri khas y

Perempuan di Moncong Senjata: Penggambaran Aung San Suu Kyi di film The Lady (2011)

 Dimuat di Majalah Bhinneka Edisi Desember 2012 Tidak ada adegan yang lebih dramatis dalam film The Lady , selain ketika Aung San Suu Kyi berjalan ke arah sekelompok tentara yang membidikkan senapan. Dengan semangat anti-kekerasan ala Mahatma Gandhi, Suu Kyi -yang diperankan dengan sangat prima oleh artis Singapura, Michelle Yeoh- menghadapi pasukan junta militer yang represif tersebut dengan senyum menawan. Ini bukan persoalan apakah adegan tersebut benar-benar terjadi di dunia nyata atau tidak. Yang lebih penting adalah bagaimana adegan itu menjadi simbol kekuatan perempuan dalam melawan tirani.  Aung San Suu Kyi  Sebelum membahas film The Lady , ada baiknya memberikan sedikit gambaran tentang tokoh yang diceritakan dalam film tersebut yakni Aung San Suu Kyi. Suu Kyi bukanlah perempuan yang menempati posisi puncak dalam pemerintahan Myanmar. Ia berdiri kokoh sebagai oposisi sejak tahun 1988 menentang tampuk tertinggi yang dijalankan oleh junta militer. Sejak tahun 19