Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Kemarin saya berbincang dengan seorang penulis dan budayawan bernama Ahda Imran. Kami berbincang di Taman Cibeunying soal seni tradisi, kebudayaan, dan identitas. Katanya, kaum puritan, yang menginginkan segala seni mesti mengacu pada akarnya ( pure , murni), sering lupa bahwa sebenarnya akar itu sendiri tidak pernah ada yang murni. "Ada yang memainkan lagu ciptaan Mang Koko dengan cara yang lain sekali dan kemudian dikritik sebagai re-interpretasi yang keliru. Mungkin sang pengritik lupa bahwa jikapun Mang Koko masih hidup, ia juga pasti mengaku bahwa inspirasinya berasal dari sesuatu di luar," ungkap Kang Ahda. "Identitas itu hanya ada bagi orang mati," kata Rocky Gerung di suatu forum dua tahun silam, dalam rangka menjawab pertanyaan saya mengenai: Kenapa posmodernisme itu bukannya dijadikan peluang untuk menumbuhkan identitas kita? Kenapa ketika kita bicara tentang posmodernisme, kita malah kembali menoleh pada pemikiran-pemikiran Barat seperti Lyotard, Fouc