Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2011

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Jarak

Michael Corleone, seperti yang diperankan Al Pacino dalam film The Godfather , adalah sosok yang mendapat penghargaan sebagai salah satu iconic villain oleh American Film Institute. Pemilihan Michael sebagai villain mungkin tidak disetujui semua orang. Bagi saya sendiri, ia seorang jagoan, ia protagonis. Michael adalah family man sekaligus juga tragic hero . Ini bukan interpretasi saya yang berlebihan, tapi tidakkah dalam film, Michael memang digambarkan sebagai seorang tokoh utama? Tidakkah kerajaan Corleone, dengan tetek bengek bisnis "haram" di luar sana, tetap digambarkan sebagai keluarga yang hangat dan menjunjung tinggi harga diri? Di film yang lain ada Travis Bickle (Diperankan dengan luar biasa oleh Robert de Niro dalam film Taxi Driver ). Travis adalah seorang supir taksi yang punya kegelisahan akan lingkungan sekitar. Ia merasa bahwa ia harus merubah keadaan. Keterbatasannya sebagai seorang supir taksi tidak menjadi persoalan. Travis membeli senjata, menembaki si

Pondok Musik Pan

Alkisah ada keluarga kambing yang mendirikan sebuah pondok musik bagi para binatang. Keluarga ini percaya bahwa mereka adalah keturunan langsung dari Pan, dewa berparas kambing yang amat lihai bermusik. Atas dasar itu mereka menamakan pondok musiknya dengan nama Pan, berharap agar para binatang yang belajar menjadikan Pan sebagai panutan sekaligus inspirasinya. Keluarga kambing terdiri dari empat anggota keluarga. Sang bapak, kambing jantan, bernama Lamira. Nama yang membuatnya sering tertukar dengan kambing betina. Lamira tak bisa bermain musik, namun amat pandai berorasi. Sang ibu bernama Pitys, kambing yang sangat lihai memainkan seruling. Si sulung adalah kambing betina bernama Hera yang amat piawai memainkan harpa. Dinamai Hera karena agar mewarisi sifat-sifat Dewi Hera, pencemburu dan tidak ingin Zeus jatuh ke tangan orang lain selain dirinya. Lamira dan Pitys ingin Hera menjadi seorang juara. Adik Hera bernama Ovid, kambing jantan yang dibiarkan tumbuh alami oleh kedua orangtuan

Mengembalikan Agnostisisme

  Adakah kesamaan antara ucapan 'agnostisisme' dengan 'sesuatu banget'-nya Syahrini? Ada, keduanya sama-sama diucapkan secara bebas tanpa kadang-kadang diketahui artinya secara jelas oleh si pengucap. Keduanya sama-sama mempunyai nilai tren tertentu. Perbedaannya barangkali ada pada tingkat refleksinya. Agnostisisme dipercaya merupakan suatu ungkapan reflektif-spiritual, sedangkan 'sesuatu banget' boleh jadi nyaris tidak mempunyai arti yang mendalam. Secara stereotip, setidaknya saya menginduksi dari beberapa contoh partikular yang saya ketahui, bahwa agnostisisme adalah 'paham yang percaya Tuhan tapi tidak percaya agama'. Artinya, yang terjadi adalah bukan membahas 'cara', tapi esensi spiritual hubungan langsung hamba dan Tuhan, ataupun para sufi lebih intim dengan menyebut hubungan ini sebagai 'kekasih'. Pemikiran seperti ini tentu saja punya nilai dan daya refleksi yang tidak bisa dibilang dangkal. Namun problemnya, betulkah agnostisis

Orang Tua dan Anak Muda

  Belakangan ini saya sering diberi visi tentang hubungan istimewa seorang tua dan seorang muda. Pertama ketika memoderasi sebuah bedah buku tulisan Andi Achdian (judulnya Sang Guru dan Secangkir Kopi ) berisi percakapan ia dengan gurunya, seorang sejarawan legendaris, Ong Hok Ham. Saya terkesan dengan bagaimana Andi terkesan dengan gurunya. Tentu saja, sang guru, Ong, tidak serta merta mempunyai pribadi yang menyenangkan sepenuhnya. Terkadang Ong marah-marah, lain waktu meninggalkan Andi seorang diri di beranda rumahnya untuk tidur tanpa pamit. Namun apa yang disampaikan Ong nampak tidak ada satupun yang tersapu waktu. "Kritisisme, kritisisme," demikian pesan Ong pada Andi, tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. "Manusia itu, harus kritis," tambah Ong berulangkali. Secara random , saya diingatkan pada hubungan orang tua dan anak muda yang sangat menarik dalam film Gran Torino (2008). Ini antara Walt Kowalski (Client Eastwood) dan Thao. Walt adalah veteran

Jiwa adalah Penjara Tubuh

Ketika awal-awal mengikuti kuliah filsafat di Extension Course Filsafat (ECF) Unpar, Pak Bambang Sugiharto mengatakan sesuatu tentang "Tubuh adalah penjara jiwa" yang sesungguhnya ia kutip dari Plato. Kemudian masih di pertemuan yang sama, beliau mengatakan hal sebaliknya yang ia ambil dari Foucault. Katanya, "Jiwa adalah penjara tubuh". Jika tubuh adalah penjara jiwa, agaknya masih mudah dipahami. Namun soal pernyataan Foucault, apa maksudnya? Mari membedah dulu omongan Plato. Plato adalah murid Sokrates, yang sama-sama mengagungkan eudaimonia . Kata yang dapat diterjemahkan menjadi "kebahagiaan" mesti tak tepat benar padanannya. Mungkin saya bisa usulkan "keluhuran jiwa". Baik Sokrates maupun Plato keduanya sepakat bahwa manusia yang bijaksana adalah mereka yang sukses mencapai eudaimonia. Bagi Plato, jiwa ini murni adanya. Ia mempunyai pengetahuan ideal yang diturunkan dari dunia ide pra-eksistensi. Ketika manusia lahir ke dunia berbalutkan t

Catatan dari Acara Young Composers in Southeast Asia Competition & Festival 2011

Young Composers in Southeast Asia Competition & Festival 2011 adalah suatu acara yang diselenggarakan atas kerjasama Goethe Institut dan Universitas Pendidikan Indonesia. Secara umum, acara ini digelar untuk menampung komposer muda yang memiliki ketertarikan pada komposisi untuk instrumen barat dan timur sekaligus. Kata Dieter Mack, penyelenggara, dari tujuh puluhan komposisi yang masuk, sepuluh diantara menjadi finalis terpilih. Sepuluh karya itulah yang kemudian ditampilkan pada malam itu di Dago Tea House. Para performa berasal dari Ensembel Mosaik dan Kyai Fatahillah. Ensembel Mosaik yang berasal dari Jerman mewakili instrumen barat, sedang Kyai Fatahillah dari Bandung mewakili instrumen timur. Keduanya bersatu padu menampilkan dan menginterpretasi komposisi-komposisi dari para finalis. Saya tidak punya suatu judul yang menggambarkan garis besar dari apa yang saya saksikan barusan. Saya lebih memilih judul "catatan", agar tidak perlu berupaya mencari-cari satu esen

Religulous: Ajakan Kritik Diri bagi Umat Beragama

Sebelumnya, terima kasih pada Pirhot Nababan , kawan yang dengan baik mengopikan 40 GB koleksi filmnya ke hard disk milik saya. Salah satu diantaranya adalah ini, yang dengan semangat ia sarankan untuk menontonnya. Suatu film berdurasi kurang dari dua jam, judulnya Religulous . Judul yang berasal dari gabungan dua kata, yaitu religious dan ridiculous . Film dokumenter ini enak ditonton. Penuh interupsi visual yang menghibur. Berkisah tentang komedian Bill Maher yang melakukan "perjalanan spiritual". Ia bertemu petinggi-petinggi agama dan beragam orang-orang religius ( believer ) baik di AS, Vatikan, gereja Mormon, hingga Yerusalem, untuk kemudian didebat, diparodikan, diserang, hingga dihantam oleh argumen yang sesungguhnya sulit untuk ditanggapi secara memuaskan. Dokumenter garapan Larry Charles ini juga sering menyisipkan ilustrasi-ilustrasi yang mengundang gelak tawa. Seperti ketika Bill mewawancarai Mohamed Junas Gaffar, seorang kiai di sebuah mesjid di Amsterdam tentan