Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
(Ditulis sebagai suplemen diskusi "Flaneur #1 - Filsafat Ngopi", 16 September 2019 di Jali Book Cafe, Karawang) “Ngopi”, “Ngopi”, dalam kultur masyarakat kita, tidak selalu tentang minum kopi dalam artian sebenarnya. Istilah “Ngopi yuk” itu bisa saja ajakan untuk minum teh, merokok, atau bahkan makan gorengan! Tapi hal yang pasti, ngopi adalah ajakan untuk menghabiskan waktu luang, bersantai, dan keluar dari suasana formil. Kata formil yang disebut terakhir tadi menarik untuk dibahas. Suasana formil adalah suasana yang serius dan baku. Untuk apa manusia menciptakan suasana formil? Mungkin, dalam suasana formil, segala sesuatu menjadi lebih kredibel dan bermartabat. Misalnya, seorang dokter, ketika menyampaikan diagnosa, tidak bisa sambil merokok dan makan gorengan. Selain kontradiktif dengan keilmuan medisnya, hal demikian juga akan menurunkan tingkat kepercayaan pasien terhadap ucapan si dokter. Atau, lainnya, seorang hakim, saat membacakan putusan, apakah etis j...