
"Eh, ketemuan aja yuk? Gak enak nih ngobrolnya via telepon."
Sepertinya kita sering mengucapkan petikan kalimat tersebut, terutama jika menyoal urusan bisnis atau perumusan ide-ide tertentu. Meski secara teknis kesepakatan bisa diperoleh lewat kecanggihan teknologi belakangan, tapi sebuah pertemuan tetap punya kekuatan, yang intinya: saya ingin melihat wajahmu. Atau dalam konteks orang berkasih-kasihan, seringkali ada perasaan ingin jumpa ketika sekian lama SMS-an atau chatting. Bertemu berarti punya kesempatan merasa secara fisik, tapi juga berarti: saya ingin melihat wajahmu. Di koran, ada berita gempa di suatu daerah. Orang yang mengetahuinya dengan deskripsi keadaan dan angka-angka korban jiwa lewat teks berita, akan sangat berbeda dengan ia yang pergi ke daerah bencana, mendeskripsikan langsung lewat subjektivitasnya, lantas punya sedikit harapan pada para korban: saya ingin melihat wajahmu.
Dulu, saya tak pernah betul-betul memikirkan arti seraut wajah. Yang saya tahu, ia punya ukuran kualitas yang dinamakan ganteng dan cantik. Lalu secara lebih spesifik, wajah bisa dikonstruksi: ditato, ditumbuhi jerawat, dicukur jenggot serta kumisnya, atau dipotong rambutnya. Pemaknaan lebihnya paling sebatas, bahwa wajah adalah pembeda antar manusia, selain nama. Pada akhirnya, dalam sebuah kuliah Extension Course Filsafat di Unpar, sang pembicara, Romo Haryatmoko, mengungkapkan tema soal wajah, yang sukses merangsang saya untuk mengetahui lebih jauh. Pada saat kuliah yang berlangsung sekira tiga tahun lalu itu, saya memang tak paham betul apa yang diucap Romo. Tapi, ya itu tadi, setidaknya saya jadi tahu bahwa soal wajah pernah diperbincangkan secara filosofis. Salah satu sumbangsih penting kuliah tersebut adalah: saya jadi tahu seseorang bernama Emmanuel Levinas.
Tak lama setelah kuliah tersebut, kebetulan sekali ayah membelikan saya buku berjudul Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan karya Adelbert Sneijders. Disana ada sub-bab tentang filsafat wajah Levinas, begini potongan kata-katanya:
"Terhadap wajah sesamaku, kebebasanku terikat secara etis. Aku menemukan sesamaku dalam "wajah yang telanjang" yang mengatakan "terimalah aku dan jangan membunuh aku". Aku tidak boleh menafsirkan sesamaku sebagai "alter ego" (aku yang lain). Diri sesama menampakkan diri sebagai sesuatu yang mutlak lain, fenomena yang serba baru. Dan ini tidak dapat direduksi menjadi suatu eksponen dari suatu keseluruhan dan kebersamaan. Segala usaha untuk memahaminya justru akan merendahkan diri sesama sebab "memahami" berarti meniadakan keunikan dan kekhasannya." (hal 49-50)
Paragraf diatas, meski lumayan jelas maksudnya, tapi bagi saya, tuturannya masih terlalu umum dan metafisis. Aplikasi baru terasa setelah saya membaca sebuah novel brilian karya Kobo Abe, judulnya Face of Another. Ini adalah kisah tentang seorang kepala institut terkemuka di Jepang yang mengalami ledakan ketika sedang melakukan percobaan kimia di laboratorium. Wajahnya menjadi hancur dan tak berbentuk. Kemana-mana ia mesti diperban karena wajahnya berubah mengerikan. Hubungannya dengan banyak orang menjadi terganggu dan yang terburuk: istrinya menolak diajak bercinta. Lalu dia mendendam, ternyata: orang menerima dirinya selama ini bukan karena kualitas intelektual dan caranya beretika, melainkan karena wajah. Akhirnya, untuk membalas dendam, kecerdasannya mendorong ia membuat topeng yang sempurna dan terlihat seperti wajah alami (catatan: detail Kobo Abe dalam menggambarkan pembuatan topeng wajah alaminya sungguh memukau dan saintifis). Cerita ini kemudian menuturkan tentang bagaimana dengan wajah barunya, ia menguji orang yang terlalu percaya wajah, termasuk istrinya. Dalam satu bagian, diceritakan sebuah adegan yang membuat saya berdecak kagum: yakni ketika sang suami berubah wajah (catatan: juga berubah identitas untuk menguji istrinya) lantas istrinya akhirnya mau diajak bercinta, tidakkah menjadi sebuah kisah perselingkuhan yang brilian?
Saya mendadak teringat Nabi Muhammad SAW. Jika dalam versi filosofi di atas, wajah dianggap penting sebagai penanda "yang liyan" serta gerbang komunikasi menuju dunia, kenapa beliau dilarang untuk diwajahkan? Barangkali begini: Setiap kita mendengarkan sebuah ide (biasanya ide yang bagi kita brilian), keingintahuan kita seringkali mengusik; seperti apa gerangan wajah si pengungkap ide? Selalu ada upaya seperti itu, mencerap dunia fisik untuk "membuktikan" secara empiri akan "kebenaran" sebuah ide yang abstrak. Dalam contoh yang lebih keseharian, misal kita mendengar satu gosip atau omongan miring, sering ada ucapan terlontar, "eh, mana orang yang digosipin tuh? Pengen liat deh mukanya." Ini menunjukkan, bahwa sebenarnya masing-masing dari kita sungguh menganggap bahwa wajah adalah gerbang menuju eksistensi itu sendiri: ada wajah-ada manusia-ada ide-ada ungkapan ide. Maka ketika wajah Rasulullah dilarang, rasa-rasanya saya bisa bilang: bahwa ada ide, yang bisa terungkap tanpa wajah, tanpa manusia, tanpa eksistensi.
Saya bukan tidak mengimani eksistensi Rasulullah, hanya saja, keberadaannya itu sendiri rasanya bukan sesuatu yang penting, ketimbang ide-idenya. Ketika kita tahu bahwa sebuah ide muncul dari seraut wajah, maka otomatis ide itu sendiri mempunyai "kepemilikan", atau keunikan dalam bahasa Levinas. Ketika berandai, Rasulullah digambarkan wajahnya seperti si fulan, maka otomatis, sang ide menjadi milik wajah si fulan, atau setidaknya identik dengannya. Ini mungkin bisa menjawab juga, kenapa Tuhan sering digambarkan macam-macam, -padahal ia mungkin cuma sekedar ide abstrak- barangkali: karena keinginan untuk "memiliki". Jika berandai-andai kucing membuat simbolisasi tentang Tuhan, kemungkinan ia akan membuat kucing raksasa. Ketika Kristianitas membuat simbol tentang wajah Kristus, kemungkinan itu ada kaitannya dengan ras dan kekuasaan, kalau tidak, kenapa Kristus bukan seorang negro atau melayu? Saya tidak membela agama manapun, tapi saya lama-lama setuju dengan ketakberwajahan Rasulullah. Karena dengan demikian, ia tidak dimiliki siapa-siapa dan tidak eksis di tengah golongan tertentu yang menyerupai wajahnya. Meski ada asal usulnya dari bangsa mana ia dan lahir di daerah mana, tetap ketiadaan wajah membuatnya tak bisa dikenali secara indrawi. Orang tak bisa bilang dia "unik" karena tak mempunyai wajah. Namun lawan dari uniklah yang kemudian muncul, yakni universalitas. Ketika wajah tak dipertunjukkan, maka universalitas yang muncul ke permukaan. Ketika Tuhan disimbolkan, maka ia tak lebih dari kepemilikan lewat kekuasaan tertentu.
Apakah dengan keberhasilan Rasulullah menularkan ide-idenya ke seluruh dunia, saya menganggap wajah tak penting dan menampik argumen Levinas dan Abe? Tidak, tidak, saya setuju sekali: wajah adalah gerbang komunikasi antara kita dan dunia. Tanpanya, sulit bagi kita untuk memahami dan dipahami orang lain. Wajah adalah simbolisasi humanisme yang paling mendasar dan tak lekang waktu, itu mengapa dalam dunia teks dan digital dewasa ini, orang tetap menghargai kewajahan lewat simbol-simbol emoticon. Hanya saja, bagi saya, gerbang menuju dunia bukanlah dunia itu sendiri. Wajah bagi saya cuma mengingatkan: bahwa kita berada dalam dunia manusia yang unik, paradoks, dan dipenuhi kehendak atas kuasa. Tapi ketiadaan wajah juga membuat saya waras: bahwa kita sekaligus berada dalam dunia abstrak yang mana manusia tak berkuasa di dalamnya.
Sumber foto:Dulu, saya tak pernah betul-betul memikirkan arti seraut wajah. Yang saya tahu, ia punya ukuran kualitas yang dinamakan ganteng dan cantik. Lalu secara lebih spesifik, wajah bisa dikonstruksi: ditato, ditumbuhi jerawat, dicukur jenggot serta kumisnya, atau dipotong rambutnya. Pemaknaan lebihnya paling sebatas, bahwa wajah adalah pembeda antar manusia, selain nama. Pada akhirnya, dalam sebuah kuliah Extension Course Filsafat di Unpar, sang pembicara, Romo Haryatmoko, mengungkapkan tema soal wajah, yang sukses merangsang saya untuk mengetahui lebih jauh. Pada saat kuliah yang berlangsung sekira tiga tahun lalu itu, saya memang tak paham betul apa yang diucap Romo. Tapi, ya itu tadi, setidaknya saya jadi tahu bahwa soal wajah pernah diperbincangkan secara filosofis. Salah satu sumbangsih penting kuliah tersebut adalah: saya jadi tahu seseorang bernama Emmanuel Levinas.
Tak lama setelah kuliah tersebut, kebetulan sekali ayah membelikan saya buku berjudul Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan karya Adelbert Sneijders. Disana ada sub-bab tentang filsafat wajah Levinas, begini potongan kata-katanya:
"Terhadap wajah sesamaku, kebebasanku terikat secara etis. Aku menemukan sesamaku dalam "wajah yang telanjang" yang mengatakan "terimalah aku dan jangan membunuh aku". Aku tidak boleh menafsirkan sesamaku sebagai "alter ego" (aku yang lain). Diri sesama menampakkan diri sebagai sesuatu yang mutlak lain, fenomena yang serba baru. Dan ini tidak dapat direduksi menjadi suatu eksponen dari suatu keseluruhan dan kebersamaan. Segala usaha untuk memahaminya justru akan merendahkan diri sesama sebab "memahami" berarti meniadakan keunikan dan kekhasannya." (hal 49-50)
Paragraf diatas, meski lumayan jelas maksudnya, tapi bagi saya, tuturannya masih terlalu umum dan metafisis. Aplikasi baru terasa setelah saya membaca sebuah novel brilian karya Kobo Abe, judulnya Face of Another. Ini adalah kisah tentang seorang kepala institut terkemuka di Jepang yang mengalami ledakan ketika sedang melakukan percobaan kimia di laboratorium. Wajahnya menjadi hancur dan tak berbentuk. Kemana-mana ia mesti diperban karena wajahnya berubah mengerikan. Hubungannya dengan banyak orang menjadi terganggu dan yang terburuk: istrinya menolak diajak bercinta. Lalu dia mendendam, ternyata: orang menerima dirinya selama ini bukan karena kualitas intelektual dan caranya beretika, melainkan karena wajah. Akhirnya, untuk membalas dendam, kecerdasannya mendorong ia membuat topeng yang sempurna dan terlihat seperti wajah alami (catatan: detail Kobo Abe dalam menggambarkan pembuatan topeng wajah alaminya sungguh memukau dan saintifis). Cerita ini kemudian menuturkan tentang bagaimana dengan wajah barunya, ia menguji orang yang terlalu percaya wajah, termasuk istrinya. Dalam satu bagian, diceritakan sebuah adegan yang membuat saya berdecak kagum: yakni ketika sang suami berubah wajah (catatan: juga berubah identitas untuk menguji istrinya) lantas istrinya akhirnya mau diajak bercinta, tidakkah menjadi sebuah kisah perselingkuhan yang brilian?
Saya mendadak teringat Nabi Muhammad SAW. Jika dalam versi filosofi di atas, wajah dianggap penting sebagai penanda "yang liyan" serta gerbang komunikasi menuju dunia, kenapa beliau dilarang untuk diwajahkan? Barangkali begini: Setiap kita mendengarkan sebuah ide (biasanya ide yang bagi kita brilian), keingintahuan kita seringkali mengusik; seperti apa gerangan wajah si pengungkap ide? Selalu ada upaya seperti itu, mencerap dunia fisik untuk "membuktikan" secara empiri akan "kebenaran" sebuah ide yang abstrak. Dalam contoh yang lebih keseharian, misal kita mendengar satu gosip atau omongan miring, sering ada ucapan terlontar, "eh, mana orang yang digosipin tuh? Pengen liat deh mukanya." Ini menunjukkan, bahwa sebenarnya masing-masing dari kita sungguh menganggap bahwa wajah adalah gerbang menuju eksistensi itu sendiri: ada wajah-ada manusia-ada ide-ada ungkapan ide. Maka ketika wajah Rasulullah dilarang, rasa-rasanya saya bisa bilang: bahwa ada ide, yang bisa terungkap tanpa wajah, tanpa manusia, tanpa eksistensi.
Saya bukan tidak mengimani eksistensi Rasulullah, hanya saja, keberadaannya itu sendiri rasanya bukan sesuatu yang penting, ketimbang ide-idenya. Ketika kita tahu bahwa sebuah ide muncul dari seraut wajah, maka otomatis ide itu sendiri mempunyai "kepemilikan", atau keunikan dalam bahasa Levinas. Ketika berandai, Rasulullah digambarkan wajahnya seperti si fulan, maka otomatis, sang ide menjadi milik wajah si fulan, atau setidaknya identik dengannya. Ini mungkin bisa menjawab juga, kenapa Tuhan sering digambarkan macam-macam, -padahal ia mungkin cuma sekedar ide abstrak- barangkali: karena keinginan untuk "memiliki". Jika berandai-andai kucing membuat simbolisasi tentang Tuhan, kemungkinan ia akan membuat kucing raksasa. Ketika Kristianitas membuat simbol tentang wajah Kristus, kemungkinan itu ada kaitannya dengan ras dan kekuasaan, kalau tidak, kenapa Kristus bukan seorang negro atau melayu? Saya tidak membela agama manapun, tapi saya lama-lama setuju dengan ketakberwajahan Rasulullah. Karena dengan demikian, ia tidak dimiliki siapa-siapa dan tidak eksis di tengah golongan tertentu yang menyerupai wajahnya. Meski ada asal usulnya dari bangsa mana ia dan lahir di daerah mana, tetap ketiadaan wajah membuatnya tak bisa dikenali secara indrawi. Orang tak bisa bilang dia "unik" karena tak mempunyai wajah. Namun lawan dari uniklah yang kemudian muncul, yakni universalitas. Ketika wajah tak dipertunjukkan, maka universalitas yang muncul ke permukaan. Ketika Tuhan disimbolkan, maka ia tak lebih dari kepemilikan lewat kekuasaan tertentu.
Apakah dengan keberhasilan Rasulullah menularkan ide-idenya ke seluruh dunia, saya menganggap wajah tak penting dan menampik argumen Levinas dan Abe? Tidak, tidak, saya setuju sekali: wajah adalah gerbang komunikasi antara kita dan dunia. Tanpanya, sulit bagi kita untuk memahami dan dipahami orang lain. Wajah adalah simbolisasi humanisme yang paling mendasar dan tak lekang waktu, itu mengapa dalam dunia teks dan digital dewasa ini, orang tetap menghargai kewajahan lewat simbol-simbol emoticon. Hanya saja, bagi saya, gerbang menuju dunia bukanlah dunia itu sendiri. Wajah bagi saya cuma mengingatkan: bahwa kita berada dalam dunia manusia yang unik, paradoks, dan dipenuhi kehendak atas kuasa. Tapi ketiadaan wajah juga membuat saya waras: bahwa kita sekaligus berada dalam dunia abstrak yang mana manusia tak berkuasa di dalamnya.
http://farm2.static.flickr.com/1143/793002157_343721001a_o.jpg