Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Dalam suatu kesempatan yang tidak akan pernah saya lupakan -ketika diminta mengajar estetika mendampingi dosen senior Zainal Abidin di jurusan psikologi-, saya mendapati sejumlah mahasiswa merumuskan sebuah kesimpulan: Estetika itu subjektif. Meski argumen mahasiswa-mahasiswa jurusan psikologi itu masuk akal, namun Kang Zainal merasa tidak puas. Ia kembali mencoba memancing: Apakah tidak ada sedikitpun objektivitas dalam keindahan? Apakah keindahan itu harus melulu relatif tergantung selera? Apakah ada keindahan yang lepas dari konteks ruang dan waktu? Terus menerus ia melontarkan pertanyaan ala Sokrates tersebut demi membidani kesadaran mandiri dari mahasiswanya. Terus terang, meski saya meyakini bahwa estetika tak mungkin subjektif semata, saya tidak bisa memberikan argumen yang tepat tentang keobjektifan estetika. Argumen para mahasiswa ini memang meyakinkan. Pertama-tama, mereka menunjukkan sejumlah karya seni mulai dari karya Picasso, Duchamp hingga Renoir, kemudian meminta