Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya. Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang. Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di
(Ditulis sebagai suplemen diskusi "Manusia Paripurna", 28 Juli 2019 di Rumah Komuji) Ketika membicarakan tentang konsep "manusia paripurna", agaknya tidak banyak tokoh dalam filsafat Barat yang membicarakannya secara gamblang. Kebanyakan dari mereka menyisipkannya dalam suatu pemikiran tentang etika, mengenai nilai-nilai yang seyogianya dipegang oleh manusia. Misalnya, Aristippus menganggap bahwa kebaikan tertinggi dimulai dari kepuasan ragawi. Sementara Diogenes sebaliknya, kebaikan tertinggi adalah penolakan terhadap kemelekatan dan sikap sinis pada dunia. Atau jika melompat ke zaman Pencerahan di abad ke-18, Immanuel Kant mengatakan bahwa kebaikan tertinggi seyogianya mengandaikan bahwa apa yang kita lakukan punya maksim universal. Namun seorang filsuf di era antara romantik dan modern ada yang dengan berani bicara tentang "manusia paripurna". Namanya Friedrich Nietzsche (1844 - 1900) dan ia bicara tentang konsep übermensch atau