Francis Fukuyama menulis buku berjudul The End of History and The Last Man (1952) yang berisi ramalan bahwa bahwa perkembangan sosio-kultural manusia sudah selesai ketika seluruh negara sudah menganut sistem politik demokrasi liberal dan sistem ekonomi kapitalisme pasar bebas. Fukuyama menyebutnya dengan istilah menarik: Akhir sejarah.
Untuk membedah ramalan Fukuyama tersebut, pertama-tama yang kita lakukan adalah memetakan terlebih dahulu bagaimana sejarah berjalan. Ada yang melihat sejarah sebagai lingkaran sehingga segala sesuatu terus berulang (Pemikiran Buddhisme menganut hal tersebut dan juga Nietzsche). Ada juga yang melihat sejarah sebagai suatu gerak lurus yang berakhir pada sesuatu (Seperti halnya agama Abrahamistik dan juga konsep sejarah ala Hegelian). Ramalan Fukuyama dapat dilihat sebagai suatu gerak lurus (karena mengarah pada sesuatu yang final), tapi juga sebagai gabungan keduanya. Artinya, ada suatu gerak lurus sejarah yang mengarah pada pembentukan demokrasi liberal dan pasar bebas sebagai suatu akhir, tapi ketika berada di ujung, kondisi itu berputar seperti lingkaran.
Posmodernisme adalah pemikiran yang amat menggadang-gadangkan akhir dari segala sesuatu mulai dari akhir sejarah, akhir seni, hingga akhir filsafat. Meski awalnya saya merasa pernyataan tersebut terlalu berlebihan, namun belakangan, setelah direnungkan, mungkin saja benar. Memang terlalu prematur jika saya mengatakan bahwa jaman ini -yang sedang saya hidupi ini- mempunyai keistimewaan dibanding jaman-jaman sebelumnya. Namun bolehlah saya mengatakan bahwa mungkin ini satu-satunya jaman ketika segalanya serba terbuka. Belahan dunia satu saling tahu tentang apa yang terjadi di belahan dunia lainnya. Pengetahuan tersebut tidak sampai dalam hitungan bulan, hari, atau jam, melainkan detik, sekon, bahkan milisekon. Keterbukaan ini membuat pengaruh demokrasi liberal menjadi tidak terhindarkan. Sebagai contoh, negara-negara penganut komunisme sepertinya sangat membatasi keterbukaan ini karena tahu bahwa sekali negara mendapat banyak pengaruh dari luar atau bebas dalam berekspresi, maka pemerataan baik secara ideologi maupun ekonomi, menjadi sulit tercapai.
Fakta tentang "bahaya" keterbukaan ini bagi ideologi yang berseberangan dengan demokrasi liberal dan kapitalisme terjadi di Uni Soviet tahun 1980-an. Sebagai negara berideologi komunisme sejak tahun 1922, Uni Soviet dikenal dengan negara yang sangat kuat dalam mempropagandakan sendi-sendi komunis pada masyarakat. Hal tersebut agak berubah ketika Uni Soviet dipimpin oleh Mikhail Gorbachev pada tahun 1985. Ia menerapkan kebijakan bernama glasnost yang artinya keterbukaan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa glasnost berarti membolehkan negara-negara yang tergabung dalam Uni Soviet, untuk menyuarakan kehendaknya. Tak lama kemudian sejak glasnost diterapkan, Uni Soviet runtuh pada tahun 1991.
Apa arti dari fakta sejarah tersebut? Artinya, keterbukaan dengan sendirinya akan membentuk demokrasi liberal dan otomatis juga, pasar bebas. Jika memang hari ini dunia sudah sangat terbuka -dan rasanya tidak mungkin untuk dikembalikan menjadi tertutup-, maka ramalan Fukuyama ada benarnya. Kita ada dalam situasi dimana kita tidak bisa bergerak menuju sesuatu lagi. Ibarat musik yang sudah selesai dengan segala kemungkinannya mulai dari kerumitan Bach, kecentilan Mozart, kebergejolakan Beethoven, kecanggihan Stravinsky, keminimalan Glass, ke-diam-an-nya Cage, hingga kepopuleran The Beatles. Pertanyaannya: Kita bisa membuat apa lagi sekarang? Kebaruan apa lagi yang mungkin kita lahirkan? Sama halnya dengan dunia ekonomi dan politik yang agaknya tidak bisa lagi kita lihat apa yang lebih baru dari hari ini. Hidup ada pada titik final dan kita berada pada akhir sejarah.