Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Suatu selasa tanggal 25 kemarin, saya diberangkatkan ke Jakarta naik travel. Jam travelnya cukup malam, yakni jam 19.45. Ada apa gerangan? Saya ternyata mesti main gitar tiga lagu, untuk sebuah kelompok telegram bernyanyi bernama Kappalettas. Dan jam mainnya tidak lazim, yakni menjelang tengah malam. Soal Kappalettas saya pernah menulis sebelumnya , namun saat itu status saya adalah "korban", sedangkan sekarang, saya terlibat dalam Kappalettas sebagai "terdakwa", atau lawannya korban apa ya? Pokoknya kamilah yang mendatangi si korban. Kappalettas ini adalah kelompok telegram bernyanyi. Jadi kau bisa memesan lagu apa saja (betul nih apa aja, Mba Niken?) untuk kemudian dikirimkan pada target yang kau inginkan. Nantinya si target akan menerima lagu darimu, beserta pesan-pesan lain jika ada, dan boleh juga dengan coklat serta bunga. Yang menarik adalah, lagu dimainkan secara live, memakai format gitar serta vokal (ada biola dan cello sebenarnya, tapi sejauh ini beberapa