Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Saya tidak akan seberapa skeptiknya pada agama, jika bukan pengalaman yang berbicara. Maksudnya, ajaran agama pastinya bagus dan baik. Hanya soal apakah itu benar tidaknya, ujung-ujungnya pengalaman yang jadi pegangan. Bahkan dalam situasi tertentu, bagus dan baik dalam agama toh bisa dipertanyakan juga. Sepengalaman saya, saya pernah lumayan beragama, entah istilahnya tepat atau tidak, tapi pernahlah saya rajin semua-muanya urusan ritual. Oh ya, saya dibesarkan dalam tradisi agama Islam. Saya menemukan banyak ayat yang menyuruh kita untuk 'berpikir' dalam Al-Qur'an. Tapi kenyataannya, dalam konstruksi sosial yang dibangun di kita, berpikir kadang-kadang disama artikan dengan melawan iman. Artinya, gausah banyak mikir lah, terima saja. Awalnya begini, kala itu saya masih SMP. Dalam pelajaran agama Islam, saya ingat sekali nama gurunya, sama dengan saya: Syarif. Saat itu beliau sedang mengajarkan topik tentang iman. Di akhir pelajaran, sang guru menawarkan: siapa mau