Bom baru saja meledak lagi. Tak perlulah saya runut lagi kejadiannya jika sudah pada nonton tivi hari ini. Dugaan pelaku masih simpang siur. Dalam pernyataannya, SBY mengindikasikan pelakunya berkaitan dengan pilpres. Namun adapun, versi yang lebih banyak, ini adalah kegiatan terorisme, karena ditemukannya bukti bom bunuh diri. Bom bunuh diri, perlu diakui dengan menyedihkan, adalah cara bagi golongan tertentu untuk mati syahid. Mati syahid, konon, dalam agama Islam, masuk surga. Apapun alasannya, tentu sulit diterima bagi orang kebanyakan, termasuk kita, yang beragama dengan cara biasa-biasa saja. Meski demikian, barangkali, bisa saja karena kebanyakan dari kita yang kelewat emosi atas perbuatan mereka, maka sulit untuk berpikir jernih dan mencoba memahami apa yang ada di kepalanya. Bukti sudah jelas: mereka membunuh secara massal, dan tak penting lah tahu motifnya, apalagi jika tahu itu soal agama, semakin skeptislah.
Soal bom bunuh diri, -karena pelaku pemboman JW Marriott-Ritz Carlton belum terungkap hingga blog ini ditulis- maka bolehlah kita ingat-ingat Imam Samudra. Gembong Bom Bali itu sudah ditembak mati, tapi ide-idenya bagai tak ikut mati. Boleh juga lah, mengait-ngaitkan pelaku pemboman terbaru di Jakarta, -jika motifnya mati syahid- dengan mengasumsikan dia sepemikiran dengan sang imam. Saya akan coba, mengutip sedikit kata-kata Imam dalam autobiografinya: Aku Melawan Teroris, dalam rangka, bukan untuk memihak siapapun. Tapi hanya menampilkan apa yang sebenarnya ada di pikiran sang mujahid, atas perilakunya tersebut. Pada titik itu, jika kita berpikir objektif, dari sudut pandang yang beragam, maka akan terasa bahwa kebenaran sungguh punya banyak muka. Saya mencoba untuk mengutip paragraf secara utuh penuh, agar tidak merusak substansinya.
1. Tentang latar belakang penulisan autobiografi
Sedari awal telah kukatakan kepada segenap Tim Pengacara Muslim (TPM) bahwa tidaklah layak aku menulis autobiografi, karena memang tidak layak. Orang-orang yang ditakdirkan telah ditinggikan dan diharumkan namanya oleh Allah semisal Syaikh Usama bin Ladin, atau Syaikh Maulawi Mullah Umar, dan tokoh-tokoh mujahidin lainnya -hafizhahumullah- itulah yang patut ditulis dan dikenang biografi mereka.
Di sisi lain, kita punya kewajiban mematahkan street judgement yang selalu menyeret para mujahidin -dengan serangkaian aksi mereka jihad mereka- ke dalam satu posisi yang amat sangat terpojok. Serangkaian aksi jihad mereka selama ini dianggap terjadi karena faktor kemiskinan, kekumuhan, keterpinggiran, ketertutupan (eksklusif), ketertinggalan, keterbelakangan, ketidaktahuan, kebodohan, bahkan 'kesesatan' dalam memahami Dinul Islam. Maka berpadulah antara keengganan menulis autobiografi dan kewajiban memberika penjelasan dalail syar'i operasi jihad semisal Jihad Bom Bali kepada kaum Muslimin.
Hal lain, kemahsyuran adalah suatu perkara yang wajib dicurigai. Betapa naifnya seorang muslim yang dikaruniai Allah kemampuan beramal jihad, sementara pada akhir kehidupannya terdapat pernak-pernik sum'ah (popularitas) dalam hatinya. Ia mati dengan membawa syirik kecil -naudzu billahi min dzalik-. Inilah yang saya maksud dengan 'biografi setengah hati', biografi yang tak utuh, yang diiringi oleh kekhawatiran akan hari pertanggungjawaban kelak. Ada pula faktor-faktor lain yang tidak perlu kuceritakan di sini.
Alhamdulillah, di atas segalanya, hal yang bagi saya cukup penting dan bermakna ialah bahwa naskah asli buku ini ditulis dengan tinta yang halal, di atas kertas yang halal pula, dengan perantaraan Pak Wadar, Pak Michdan, dan saudara-saudara se-Islam di TPM. Bukan tinta dan kertas milik polisi atau negara. (hal 14-15)
2. Tentang ayat Al-Qur'an dan hadits yang dikutip oleh Imam Samudera sebagai dasar pemikirannya
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah di muka bumi ini. Dan jadilah Din (agama) ini semuanya milik Allah. (Al Anfal: 39) [hal 94]
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah, Islam), (yaitu orang-orang) yang diberi kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sehingga mereka dalam keadaan kecil (tunduk). (At-Taubah: 29) [hal 95]
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Baqarah: 190) [hal 98]
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, "Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kehidupan di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanya sedikit. (At-Taubah: 38) [hal 99]
Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dengan kehidupan di akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan kami berikan kepadanya pahala yang besar. (An Nisa: 74) [hal 100]
Perangilah mereka (orang-orang kafir itu), kelak Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan tangan-tangan kamu... (At-Taubah: 14) [hal 103]
... Bersikap lemah lembut terhadap sesama mukmin, keras terhadap kaum kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela... (Al-Ma'idah: 54) [hal 104]
...dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (At-Taubah: 36) [hal 109]
Barangsiapa melampaui batas terhadap kami, maka balaslah serangan mereka seimbang dengan yang mereka lakukan terhadap kamu... (Al-Baqarah: 194) [hal 116]
Telah diwajibkan berperang kepadamu, padahal perang itu sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 216) [hal 118]
Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka. (Al-Baqarah: 191) [hal 120]
Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik. (At-Taubah: 73) [hal 131]
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah, dan supaya dien (agama) itu semata-mata dien (agama) Allah saja (yang unggul). (Al Anfal: 39) [Hal 133]
Ketahulah, bahwa Jannah (surga) berada di bawah bayang-bayang pedang. (HR. Bukhari-Muslim) [hal 132]
3. Tentang argumen Imam Samudera itu sendiri
Dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi saw. memang tidak terdapat kata-kata bom sebagaimana tidak pula terdapat kata-kata pesawat terbang atau visa atau paspor. Tetapi, itu tidak berarti mereka yang melaksanakan ibadah haji dengan memanfaatkan pesawat terbang untuk transpor adalah tidak boleh. Pesawat terbang adalah persoalan teknis, sekadar alat untuk menyampaikan kita ke tempat tujuan, contohnya Makkah Al-Mukarramah. Begitu halnya dengan bom, hanyalah sebagai salah satu alat atau bahan untuk berperang.
Meski demiikian, sebenarnya pada zaman Rasulullah saw. terdapat alat tempur yang sangat terkenal yang disebut manjaniq. Fungsi manjaniq menyerupai mortar di jaman sekarang ini. Daya rusak mortar jelas lebih tinggi daripada senjata-senjata sejenis senapan, apalagi pedang. Mortar memang tidak lain dari pada bom atau explosive.
Dalam pengepungan terhadap kaum Banu Hawazin dan sekutunya, Rasulullah saw. menggunakan mortar (baca: manjaniq) selama empat puluh hari
Al Khatib Asy Syarbini -seperti dikutip oleh Imam Asy-Syahid Ibnu Nuhas- menyebutkan,
"Diperbolehkan menembakkan mortar (manjaniq) terhadap kaum kafir, juga menghantamkan batu-batu dan api serta mengirim air bah pada mereka sekalipun diantara kaum kafirin itu terdapat kaum muslimin yang tertawan, karena hal ini merupakan kepentingan peperangan."
Kini telah jelas bagi anda bagaimana kedudukan bom dan sejenisnya dalam peperangan. (hal 150-151)
Karenanya, Jihad Bom Bali adalah salah satu bentuk ukhuwah Islamiyah. Sebagai pengejawantahan; satu jasad, laksana bangunan, pahit getir, derita sengsara. Apa yang dialami umat Islam di bumi Palestina, Afghanistan, Kashmir, Irak, dan lainnya, cukup menyentuh dan menggentarkan nurani seluruh kaum muslimin. Sinyal-sinyal kesakitan itu menjalar pula dalam diri kaum mukminin di belahan bumi manapun, dari bangsa manapun, dan bangsa apapun. Selama dia mukmin, selama itulah ia akan turut merasakan sakit atas derita saudara seakidahnya. Mereka yang pernah mengecap Ibtidaiyah (setingkat SD), pasti tidak akan lupa ayat ini, "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara" (Al-Hujurat: 10) [hal 161]
Di sisi lain, seandainya saat ini tidak ada seorang pun orang Islam yang dibantai oleh bangsa-bangsa penjajah, Yahudi dan Nasrani, di bawah pimpinan Amerika dan Israel, maka kewajiban jihad akan tetap berlangsung. Hal itu dilakukan oleh Rasulullah saw., para sahabat r.a. serta tabi'in dan generasi sesudah mereka. Di mana, Khilafah Islamiyah waktu itu mengadakan ekspansi jihad terhadap negara-negara kafir dan musyrik. Tujuannya, seperti disebutkan dalam marhalah jihad ke-empat; agar tidak ada lagi kesyirikan, agar hanya dienullah saja yang menang dan berkuasa atas dunia ini, karena Islam adalah rahmatan lil-alamin. (hal 162)
Dalam prinsip perang, aspek morality menempati urutan nomor satu di antara parameter-parameter lain. Jika sebuah operasi bom syahid bertujuan untuk merobek-robek moral tempur musuh, dan pada saat yang sama dapat mengatrol semangat jihad kaum muslimin, maka operasi seperti itu sangat dianjurkan. (hal 182)
Sebab yang kulakukan memang bukan kejahatan, artinya "di luar kejahatan". Apa yang Aku dan kawan-kawan lakukan adalah kebaikan yang sesungguhnya dan didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Dan itu semua disebut Jihad Fi Sabillillah.
Ancaman hukum mati tidak menambah apa-apa kecuali semakin mantap keyakinanku akan janji Allah, bahwa dalam transaksi untuk memperoleh surga Allah, akan diperoleh dengan berperang di jalan Allah, dan otomatis ada proses "membunuh dan terbunuh" (lihat At-Taubah: 111)
Dengan segala keyakinan, aku dan kawan-kawan telah memerangi, membunuh segelintir bangsa-bangsa penjajah, bangsa drakula bin monster. Kalaupun kemudian aku terbunuh, baik seketika ataupun melalui proses, maka hal itu adalah wajar. Itu adalah resiko. Bukankah Allah berfirman dalam ayat di atas, "...maka mereka membunuh atau terbunuh...", dan bukankah Allah memerintahkan kita untuk bergembira dengan transaksi tersebut, "Maka bergembiralah kamu dengan transaksi (jual beli) yang telah kamu lakukan itu..." Dan seterusnya Allah menyebutkan, "...Dan itulah kemenangan yang besar..."
So? No chance for sad! Bergembiralah... bergembiralah... Ahlan wa sahlan hukum mati, welcome, welcome, dan itulah kemenangan yang besar! (hal 192)
Sedikit catatan
Mestilah beli bukunya untuk tahu lebih dalam. Yang di atas hanya segelintir saja, dan bikin lelah juga untuk mengutip lebih banyak. Tapi sebenarnya, argumentasi Imam tak sederhana, dan paparannya tergolong luar biasa. Berdasarkan tulisannya, dia seorang yang cerdas dan terdidik dalam pandangan saya. Adapun Imam punya selera humor yang lumayan. Dalam beberapa tulisannya, saya sering tertawa geli, termasuk dalam baris terakhir argumentasi Imam di atas, bahwa ia sering memasukkan kata-kata dalam bahasa Inggris yang kadang membuat saya lupa dia adalah seorang peledak. Singkat saja, tidakkah Imam, dalam menerjemahkan beberapa ayat tersebut, menggunakan metode penafsiran yang mirip dengan semua orang kala menafsirkan apapun? Dan selalu, penafsiran adalah urusan latar belakang seseorang dan kontekstualitas lingkungan kala itu. Tidak ada kebenaran, yang ada penafsiran tentang kebenaran. Saya pikir, pada titik ini, jika membaca latar belakang Imam, maka tak heran jika ia menerjemahkan ayat-ayat di atas sebagai legalisasi kekerasan. Namun jika saya mesti mengambil sikap, maka kekecewaan saya terhadap Imam adalah bagaimana ia selalu meng-esa-kan Tuhannya. Ketika Tuhan dianggap esa, maka artinya satu, dan ini adalah sumber narsisme yang mendasar. Dampak ekstrimnya, Tuhan yang lain mesti dibasmi. Saya sebenarnya setuju pada kata-kata Goenawan Mohamad, "Tidak bisa mengatakan Tuhan esa, karena jika demikian, maka Dia bisa dihitung". Maka, lanjut kata Mas Goenawan lagi, dalam konsep Buddha, Tuhan itu dianggap nol, nothing. Di kaum sufi pun, Tuhan tak terbahasakan, tak bernama, masih kata Mas Goenawan. Jadi, Mas, semua ini urusan penamaan dan matematika, sepertinya begitu ya?
Sumber: Samudra, Imam. Aku Melawan Teroris. Jazera: 2004.