(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat
"I look at the world and I see absurdity all around me. People do strange things constantly, to the point that, for the most part, we manage not to see it. That's why I love coffee shops and public places – I mean, they're all out there." - David Lynch Ketika berlebaran di Jakarta kemarin, saya mencuri dua hari (dari total enam) untuk nongkrong di dua kafe di dua mal yang berbeda. Alasannya, pertama, saya harus menyelesaikan sejumlah deadline ketikan, dan menganggap bahwa kafe adalah tempat yang cocok -terutama karena ada wi-fi -. Kedua, sudah lama saya tidak ngafe. Sekalian bersantai, saya juga ingin melebur dengan aktivitas masyarakat urban (yang konsumtif). Setelah mengantri dua puluh menit di Starbucks, saya memesan Frappuccino -yang setelah melalui sedikit googling , ternyata adalah minuman khas milik Starbucks yang membuat mereka menjadi terkenal ke seluruh dunia-. "Ukuran apa?" tanya kasir. Saya jawab mantap, " Venti ." Saya memang tid