Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Belakangan ini saya sedang sering berinteraksi dengan pemain biola bernama Ammy Kurniawan dan guru gitar jazz yang bernama Venche Manuhutu. Kang Ammy maupun Pak Venche, keduanya sudah dapat dikatakan senior dan mungkin keaktifannya untuk tampil di atas panggung sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Keduanya sekarang lebih banyak mengajar di tempatnya masing-masing dan berupaya melahirkan musisi-musisi baru. Namun ada kesibukan yang sama-sama dijalani keduanya, yang barangkali lebih rutin dari mengajar itu sendiri, yakni: Latihan. Kita punya suatu logika sederhana disini, tujuan dari latihan adalah untuk tampil, adalah untuk manggung. Terus, jika sudah jarang manggung, untuk apa latihan? Latihan yang dilakukan oleh Kang Ammy dan Pak Venche, setahu saya, juga tidak sebentar. Mereka rata-rata menghabiskan minimal dua hingga empat jam per hari untuk melenturkan jari-jari. Tapi otak dangkal saya bertanya: Tapi jika tidak untuk main, lantas untuk apa latihan? Pak Venche bahkan berkata s