Kelas filsafat kami ini tidak lagi saya sebut
“ilegal”. Karena dengan menyematkan “ilegal”, berarti saya mengakui
eksistensi sistem yang “legal”. Padahal sebenarnya kami tidak butuh
mengakui apapun untuk menyelenggarakan kelas filsafat ini. Hajar we, bebaskeun! (Terima kasih pada Kimung yang sudah menyadarkan saya akan hal ini, hehe).
Pertemuan kedua kami dalam kelas filsafat
berlangsung pada 11 April 2013. Lagi-lagi di hari Kamis, pukul 10.45
WIB, di perpustakaan FIB yang begitu tenang. Bedanya, kali ini kami
tidak hanya bertiga—Kang Syarif, Manda, dan saya. Ada tambahan empat
orang personil yaitu Ibu Susi (dosen Sastra Rusia yang juga mengepalai
perpustakaan FIB) dan tiga orang murid Kang Syarif dari Sastra Inggris.
Pokok bahasan kami masih dalam tema eksistensialisme namun kali ini kami
membahas tokoh yang berbeda yaitu Friedrich Nietzsche.
Nietzsche dilahirkan di akhir abad 19, dalam
keluarga dengan latar belakang Kristen Lutheran yang kuat di Jerman. Ia
tumbuh besar di bawah dominasi perempuan—ibu, adik, nenek, dan dua orang
tantenya—karena ayahnya sudah lebih dulu meninggal ketika ia masih
kecil. Ketiadaan figur ayah dalam hidup membuat Nietzsche menganggap
dirinya sama dengan Tuhan—Yesus, yang juga lahir dan besar tanpa ayah.
Nietzsche adalah anak yang religius dan luar biasa
cerdas. Sejak kecil, ia menempuh pendidikan di sekolah pendeta agar
kelak dapat mengikuti jejak ayah dan kedua kakeknya untuk menjadi
seorang pendeta. Namun, karena ia menunjukkan bakat khusus di bidang
musik dan bahasa, Nietzsche memperoleh beasiswa penuh di sekolah elit
Pforta. Di sana, ia bertemu dengan penyair eksentrik, Ernst Ortlepp.
Ortlepp lah yang memperkenalkan Nietzsche pada tulisan dan musik hasil
karya Richard Wagner.
Setelah lulus dari Pforta, Nietzsche melanjutkan
studinya ke Universitas Bonn dengan mengambil dua major yaitu teologi
dan filologi. Namun, setelah satu semester berlalu ia menghentikan studi
teologinya dan mengalami sebuah kondisi “hilangnya kepercayaan”.
Nietzsche memasuki fase “pencarian jati diri”. Baginya, iman adalah
suatu hal yang bisa diajarkan namun tidak bisa diturunkan. Ia
memberontak dari “kerohanian” yang diwariskan keluarganya karena hatinya
dipenuhi hasrat besar untuk mencari “kebenaran”—walaupun ia menyadari
hal itu mungkin menakutkan, mendatangkan keburukan, dan menyeretnya dari
kedamaian jiwa.
Nietzsche kemudian memfokuskan dirinya pada studi
filologi. Ia banyak mempelajari teks-teks kuno di bawah bimbingan
Profesor Ritschl. Ia pun memutuskan pindah ke Universitas Leipzig untuk
mengikuti Ritschl. Di Leipzig, untuk pertama kalinya Nietzsche bertemu
Wagner yang sebelumnya telah ia kenal melalui hasil-hasil karyanya.
Kemudian, atas rekomendasi Ritschl, Nietzsche
mendapat tawaran untuk menjadi profesor filologi klasik di Universitas
Basel, Swiss. Saat itu Nietzsche baru berusia 24 tahun. Ia bahkan belum
menamatkan studi filologinya. Tetapi, berkat kejeniusannya, pihak
universitas langsung meluluskannya tanpa perlu membuat thesis akhir dan
memperoleh sertifikat mengajar terlebih dahulu. Nietzsche pun menerima
tawaran tersebut dan pindah ke Swiss. Ia tercatat sebagai profesor
filologi termuda yang pernah ada sampai saat ini.
Di samping itu, pertemanan yang terjalin antara
Nietzsche dan Wagner memberi pengaruh luar biasa besar terhadap
pemikiran-pemikiran Nietzsche sendiri. Ia sangat mengagumi komponis
tersebut. Setelah datang ke salah satu konser Wagner dan mendengar lagu
hasil karyanya yang berjudul Tristan und Isolde, Nietzsche seperti menemukan spirit of music. Ia sangat terinspirasi sehingga ia lalu menuliskan sebuah karya yang begitu fenomenal, Also Sprach Zarathustra.
Dalam diskusi kami, Kang Syarif kemudian
menjelaskan pemikiran-pemikiran prinsipal dari Nietzsche. Menurut Kang
Syarif, Nietzsche tidak seatheis dan sedepresif Sartre namun
pemikirannya bisa dikatakan lebih “berbahaya”. Walau berasal dari
keluarga Kristen yang amat kuat, Nietzsche kemudian menjadi anti-Kristen
dan mengritik agama habis-habisan. Menurutnya, agama hanya membuat
manusia memiliki mental budak. Nietzsche menentang pemikiran Kierkegaard
yang menyebutkan bahwa hanya keyakinan pada Tuhan lah yang bisa
menghapuskan ketidakberartian eksistensi manusia. Baginya, solusi yang
dilontarkan Kierkegaard ini menelanjangi kekuatan manusia. Kembalinya
manusia pada agama membuat setiap individu menjadi lemah, tak berdaya,
bahkan tak lebih dari seorang pengecut.
Nietzsche terkenal dengan pernyataan yang ia tulis dalam Also Sprach Zarathustra,
“Tuhan telah mati—kita semua lah yang membunuh-Nya”. Dalam hal ini,
Nietzsche bukan bermaksud mengatakan bahwa Tuhan bisa mati seperti
layaknya manusia, melainkan keyakinan manusia modern akan Tuhan lah yang
telah mati. Dan menurutnya, umat beragama memiliki andil paling besar
dalam “kematian Tuhan” ini. Salah satu contohnya, umat beragama sering
menyebutkan Tuhannya dengan “nama panggilan” masing-masing seperti
Allah, Roh Kudus, Yahweh, dan sebagainya. Dengan penamaan tersebut, para
umat beragama justru seperti “memanusiakan Tuhan”. Hal-hal seperti ini
lah yang membuat Tuhan menjadi “mati”, menurut Nietzsche.
Nietzsche berkata bahwa setelah “kematian Tuhan”
ini manusia akan mengalami “krisis” atau “kekosongan” selama dua ribu
tahun. Namun, krisis ini justru akan melepaskan manusia dari
ketergantungan akan Tuhan yang ia nilai terlalu kekanak-kanakan. Manusia
kini harus memiliki keberanian untuk mencari Tuhan dalam sebuah dunia
tanpa Tuhan. Oleh karena itu, Nietzsche berpendapat bahwa yang
dibutuhkan untuk menghadapi perkembangan dunia modern saat ini adalah
manusia-manusia unggul yang mandiri, tangguh, kuat, pemberani, kreatif,
dan bebas. Dari sana lah konsep übermensch muncul.
Nietzsche membagi manusia ke dalam dua golongan yaitu übermensch (manusia unggul) dan kawanan (manusia kebanyakan). Übermensch
adalah manusia-manusia yang bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.
Berbeda dengan kawanan yang bermental budak seperti binatang dan bisa
digiring kesana kemari. Bagi Nietzsche, untuk menghadapi dunia tanpa
Tuhan ini, seseorang harus menjadi übermensch. Dan untuk menjadi übermensch,
ada tiga “syarat” yang perlu dipenuhi. Yang pertama, ia harus mengakui
konsep “kematian Tuhan”. Itu artinya, manusia harus siap melepaskan
segala kebergantungan dan berjalan dengan mandiri. Yang kedua, ia harus
menerapkan konsep amor fati atau love of fate. Maksud dari amor fati
adalah manusia harus senantiasa mencintai kehidupan. Manusia harus
menerima segala kondisi yang terjadi dalam hidupnya, termasuk
penderitaan dan kehilangan—atau dalam Islam, konsep ini dikenal sebagai
“bersyukur”. Dan yang ketiga, Nietzsche memiliki konsep Apollonian dan
Dionisian. Berdasarkan mitologi yunani, Apollo adalah dewa matahari dan
Dionysus adalah dewa anggur. Dalam pandangan Nietzsche, Apollo
melambangkan pengetahuan, penglihatan, dan pencerahan sedangkan Dionysus
melambangkan prinsip estetika yang mendasar, kesenangan, dan kebebasan.
Kehidupan yang sebaiknya dijalani menurut Nietzsche adalah kehidupan
dengan prinsip-prinsip Dionysus. Manusia perlu bersenang-senang dengan
menikmati hidup apa adanya, melepaskan diri dari ketakutan-ketakutan
yang diciptakan oleh paradigmanya sendiri. Menurut Nietzsche,
permasalahan orang modern adalah mereka terlalu rasional dan dipenuhi
oleh paranoid. Oleh sebab itu, Nietzsche berkata, “Aku hanya percaya
pada Tuhan yang bisa menari”. Maksudnya adalah, dalam hal ini Nietzsche
menyatakan bahwa ia lebih memilih kehidupan yang “asyik” dengan Tuhan
yang “fleksibel dan menyenangkan”, dibandingkan hidup penuh ketakutan
dengan Tuhan yang “perhitungan dan suka menghukum”.
Lalu, Nietzsche juga menyatakan bahwa kondisi
manusia di zaman modern itu seperti berada pada sebuah tali. Jika tali
itu sedikit tertarik ke bawah, ia akan menjadi binatang, dan jika tali
itu sedikit tertarik ke atas, ia akan menjadi übermensch. Jadi, dalam diri manusia terdapat sebuah tegangan antara binatang (kawanan) dan übermensch. Seorang übermensch
harus bisa menentukan nilai-nilainya sendiri dan mendobrak ketetapan
yang sudah mapan. Oleh karena itu, Nietzsche selalu berkata, “Hiduplah
dalam bahaya. Jika sudah berlayar, bakarlah dermaga di belakangmu”.
Baginya, hidup di lautan tanpa kemudi itu lebih baik daripada kehidupan
yang statis dan nyaman. Hidup dengan gelisah adalah satu-satunya cara
mencintai kehidupan karena hidup yang sudah direncanakan secara
terstruktur itu sesungguhnya tidak layak untuk dihidupi lagi.
Dalam diskusi, Ibu Susi menanggapi dan mengamini
pernyataan Nietzsche tersebut. Beliau kemudian menceritakan
pengalamannya ketika hendak mengambil sebuah keputusan besar yang kelak
mengubah hidupnya. Berbekal seluruh tabungannya yang saat itu berjumlah
50 juta, ia memutuskan untuk pergi seorang diri ke Moscow dan tinggal di
sana selama satu tahun. Kepergiannya itu ditentang keras oleh seluruh
keluarga juga tunangannya. Tetapi, Ibu Susi bersikukuh untuk keluar dari
“zona nyaman”nya dan memulai sebuah petualangan besar. Ternyata, segala
hal yang diharapkan Ibu Susi benar-benar dapat ia peroleh di sana.
Walaupun setiap harinya merupakan tantangan dan kegelisahan, ia jadi
berjuang dan tertempa semakin kuat. Ketika akhirnya pulang ke Indonesia,
tabungannya tinggal bersisa 200 ribu. Namun, ilmu, teman, dan
pengalaman yang ia dapat selama di Moscow jauh lebih berharga dari
sekedar uang. Ia bahkan memperoleh kesempatan bersekolah hingga S3
berkat hubungan baik yang ia bangun saat di Moscow. Ibu Susi membuktikan
bahwa hidup dalam kegelisahan berhasil membuatnya mengeluarkan segala
potensi diri yang kemudian memberikan kepuasan tak ternilai, khususnya
bagi dirinya pribadi.
Kang Syarif lalu berpendapat bahwa salah satu contoh übermensch dalam
Islam menurutnya adalah Muhammad. Walaupun Muhammad adalah seorang
agamawan, ia mau hidup dalam bahaya dan berpikir lebih jauh dari
orang-orang di zamannya, dengan resiko kematian yang selalu mengancam.
Begitu pula dengan Yesus. Dari sisi ini, kita dapat melihat bahwa
sesungguhnya para Nabi adalah seorang übermensch pada zamannya
karena mereka mau memecahkan problematika dari nilai-nilai yang ada
sebelumnya, dengan merumuskan nilai-nilai baru untuk kemaslahatan
manusia di masa itu. Jika kita perhatikan lebih jauh, sebenarnya
teks-teks agama itu dibuat lebih lentur dibandingkan dengan teks-teks
hukum. Teks hukum lebih pasti ketika mencoba menangkap sebuah peristiwa
sedangkan teks agama tidak—ia dapat mendatangkan beragam tafsir. Menurut
Kang Syarif, teks agama dibuat lentur agar ia terus menerus hidup.
Dengan begitu, manusia memiliki kesempatan untuk berkembang dan terus
memperbaiki “nilai”. Oleh sebab itu, bagaimanapun kerasnya para filsuf
meniadakan agama, sesungguhnya agama akan tetap lestari. Dan pada titik
inilah agama dapat “berdamai” dengan konsep Nietzsche.
Setelah itu, Kang Syarif menjelaskan konsep penting
lain dari Nietzsche yaitu metamorfosis ruh. Nietzsche berkata bahwa
manusia akan mengalami mengalami tiga tahap dalam hidupnya. Yang
pertama, ia menjadi unta. Dalam tahap ini, manusia diibaratkan seperti
unta karena ia menanggung beban dari nilai-nilai yang ditanamkan pada
dirinya sejak lahir, dan ia menjadi individu yang patuh terhadap
nilai-nilai tersebut. Yang kedua, ia menjadi singa. Pada tahap ini,
manusia harus mau memberontak dan bertarung melawan nilai-nilai yang
ada. Karena, pada dasarnya, dunia ini dapat terus maju berkat adanya
“pemberontak” atau orang-orang yang terus “berinovasi”. Selanjutnya,
tahapan ketiga bagi manusia yang menurut Nietzsche paling ultimate
adalah menjadi anak. Mengapa anak dianggap sebagai metamorfosis final
yang paling tinggi? Karena anak-anak selalu melihat dunia dengan
perspektif yang baru. Berbeda dengan orang dewasa yang selalu berpikir
serius dan kompleks, anak kecil melihat dunia ini sebagai tempat untuk
bermain dan bersenang-senang. Ketika orang dewasa kehilangan gairah dan
ketertarikan terhadap keseharian, anak kecil justru dapat selalu
merumuskan nilai-nilai baru dari keseharian di sekelilingnya. Hilangnya
kekaguman orang dewasa pada dunia tersebut sesungguhnya menjadi indikasi
bahwa ia tidak lagi mencintai hidupnya. Menurut
Kang Syarif, pada titik
inilah seni memegang peranan penting bagi umat manusia. Seni dapat
menangkap keseharian dan mengubahnya menjadi suatu karya yang dapat
dinikmati setiap orang. Dalam hal ini, seni bermanfaat untuk
mengembalikan kesadaran bahwa sebenarnya “manusia itu hidup pada
lingkungan yang berbicara padanya”.
Diskusi ini kemudian ditutup dengan sebuah
pertanyaan dari Kang Syarif, “Apakah kita memang membutuhkan figur
Tuhan—dalam bentuk apapun, walaupun kita menciptakan-Nya sendiri?” Manda
menanggapi bahwa walaupun ia sendiri masih gamang akan pengaplikasian
konsep Tuhan dalam keseluruhan hidup, ia merasa Tuhan berfungsi sebagai
“pengisi lubang kosong” ketika ia merasakan sebuah kehampaan dalam
dirinya. Jawaban tersebut diamini oleh Kang Syarif juga seluruh peserta
diskusi.
Pertemuan kedua kelas filsafat kami pun usai. Di
minggu depan, kami sepakat untuk mengupas habis tema eksistensialisme
ini dengan membahas tokoh lainnya, Søren Kierkegaard.
Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya!
***
dparamithatp