Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2010

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

KlabKlassik dengan Dua "S" (Tribute to Mas Niman)

  Jika kalian, wahai para penggiat di KlabKlassik, merasa bahwa komunitas ini tengah dalam kondisi menyenangkan, maka saya coba bahas darimana kita ini berasal. Agar kita tidak termasuk golongan Malin Kundang yang setelah mengalami nikmat duniawi lalu lupa pada wanita yang melahirkannya ke dunia. Kita ini, diberi nama KlabKlassik, jangan tanya saya, Bilawa, Royke, atau Iyok, atau Kang Trisna kenapa-kenapanya. Bukan, bukan kami yang menamainya. Adalah seorang penikmat jazz sekaligus koordinator komunitas jazz bernama KlabJazz, yang menamai kita seperti ini, lima tahun silam. Ia pun, sesungguhnya, barangkali tidak tahu kenapa melabelinya dengan dua huruf "s". Saya cuma pernah mendengar pernyataan beliau: "Karena setahu saya, klasik itu nama salah satu periode dalam sejarah musik Barat. Jadi klasik disini mengacu pada hal yang berbeda." Demikianlah beliau berkata, dan kami yang tak paham mengangguk tanda iya. Adakah kami paham sekarang? Sesungguhnya tidak juga, tapi ka

Football Manager dan Eksistensialisme

Meski sudah sepuluh hari berlalu, euforia Piala Dunia kemarin bagi saya masih terasa. Kelanjutan euforia tersebut saya wujudkan dengan instalasi Football Manager (FM) 2010 di komputer (Catat: Saya nyaris shalat istikharah untuk memutuskan membeli game tersebut atau tidak. Terakhir saya memainkannya tahun 2007 dan 2008, kuliah saya terbengkalai dan nyaris gagal!). Saya belum pernah mencoba narkoba, tapi jika katanya itu bikin kecanduan, maka bolehlah saya bilang FM ini semacam narkoba. Isinya, bagi orang yang tak paham, sepertinya cuma berisi teks-teks dan bulatan-bulatan yang tak masuk akal. Tak masuk akal jika dikaitkan dengan adanya orang yang epilepsi karenanya, layar retak oleh sebab FM non-stop dinyalakan seminggu, hingga orang pacaran menjadi putus karenanya. Dan pemutusan itu disimbolisasikan dengan dihancurkannya CD FM oleh pihak wanita. Saya tahu betul laknatnya efek FM. Maka dengan berhati-hati, saya install game tersebut di komputer kakak saya, agar saya cuma bisa memainkan

The Old Man and The Sea: Mahakarya tanpa Menggurui

"There isn't any symbolism. The sea is the sea. The old man is an old man. The boy is a boy and the fish is a fish. The shark are all sharks no better and no worse. All the symbolism that people say is shit. What goes beyond is what you see beyond when you know." - Ernest Hemingway, 1952 Bagi orang yang rajin mempertentangkan interpretasi karena konon punya kandungan benar-salah, atau tepat-keliru, maka pernyataan Hemingway di atas sungguh melegakan. Kenyataannya, sang penulis sudah mengklaim bahwa buku ini tak dimaknai oleh dirinya. Ia cuma membuat sesuatu senyata mungkin, tanpa reduksi, tanpa multitafsir, dan kemudian pembaca dilepas sebebas-bebasnya untuk mencari makna dibalik ceritanya. Alkisah seorang lelaki tua bernama Santiago, kerjanya melaut mencari ikan. Hanya saja malang tengah menimpanya, sudah 84 hari si kakek belum jua dapat ikan. Kala berlayar Santiago biasa didampingi Manolin, seorang bocah. Tapi di hari ke-85, ia memutuskan melaut sendiri saja. Manolin di

Habis Terang Terbitlah Gelap

Ide tulisan ini bukan ide baru. Saya terinspirasi dari tulisan Kang Ibing menjelang final Piala Dunia 1998 di Harian Umum Pikiran Rakyat, judulnya saya ingat: “Penantian yang berakhir dengan keueung (sunda: =sepi – red)”. Jadi waktu itu, tahun 1998, sedang musim krisis moneter di Indonesia. Piala Dunia sebagai pesta olahraga dunia, sukses menghibur masyarakat Indonesia yang tengah dililit krisis untuk sementara. Indikatornya, dimana-mana banyak terjadi nonton bareng, dan dengan hingar bingar diikuti pelbagai lapisan masyarakat. Tulisan Kang Ibing itu seolah menceritakan bahwa final Piala Dunia, yang waktu itu melibatkan Prancis melawan Brasil, adalah sesuatu yang dinantikan oleh sebagian besar manusia di dunia, khususnya di Indonesia. Tapi berakhirnya final adalah sekaligus juga kesedihan yang mendalam, karena Indonesia akan kembali dalam realitas krisis yang mencekam. Setelah tahun 1998, Piala Dunia sudah bergulir tiga kali, tepatnya tahun 2002, 2006 dan sekarang 2010. Lagi-lagi peras