Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2013

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Guru Kecil

Bayiku mengajarkan sesuatu tentang dunia Bahwa hidup ini jauh lebih membahagiakan  Jika kamu tak punya apa-apa Atau setidaknya hanya punya keinginan-keinginan sederhana saja Bayiku mengajarkan sesuatu tentang dunia Bahwa kata-kata cinta tidak punya arti sama sekali Cinta adalah tentang merawat dan membesarkan Lewat tindakan sekaligus lewat diam Bayiku mengajarkan sesuatu tentang dunia Bahwa eksistensi manusia itu sungguh menyedihkan Lahir dan mati keduanya ditopang air mata Tapi kamu bisa menemukan kebahagiaan kecil yang sanggup menghapus segala duka Seperti menyaksikan sang bayi belajar mengisap puting ibunda untuk kali pertama   Bayiku mengajarkan sesuatu tentang dunia Bahwa ada perbedaan tipis Antara menyelamatkan seluruh umat manusia Dengan mengganti popok ketika dia pipis

Setengah Kata, Setengah Makna

Tadi pagi saya iseng membongkar rak buku untuk menemukan bacaan-bacaan yang sekiranya menyejukkan. Kemudian saya menemukan koleksi buku-buku Gibran yang lama, yang salah satunya berjudul Pasir dan Buih . Buku itu tipis sekali hanya 85 halaman dan ukurannya kecil. Isinya adalah semacam aforisme dari Gibran, seorang penyair asal Lebanon kelahiran 1883, tentang segala renungan mengenai kehidupan. Saya membaca kembali satu per satu dengan teliti setelah lama tidak menyentuh buku tersebut. Ternyata iya, ada beberapa aforisme yang dulu tidak saya mengerti sekarang jadi mengerti (tapi yang dimaksud dengan "mengerti" tentu saja dalam batas pemahaman saya hari ini, sepuluh tahun lagi saya baca aforisme tersebut mungkin akan sadar bahwa dahulu itu saya sebenarnya belum mengerti). Saya tuliskan disini contoh salah satunya: Setengah tuturku tanpa makna; namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi mencapai dirimu Untuk mengetahui bagaimana saya bisa "mengerti" aforisme

Mencari Mandela di Tengah Dunia yang Reaksioner

Di jagad Twitter, ada seseorang dengan nama akun @hafidz_ary yang barangkali bisa menjadi representasi xenophobia kontemporer. Ia menganggap orang di luar dirinya semisal orang non-muslim, orang Barat, orang sekuler, orang liberal, hingga orang yang bukan dari partai PKS, sebagai “orang asing”. Sebagaimana modus seorang xenophobic sejak ribuan tahun silam, ia berusaha rasional dalam melandasi setiap kebenciannya pada yang liyan . Namun dalam diri seorang xenophobic terang saja kerap ada cara berpikir yang sesungguhnya “melompat terlalu jauh”. Misalnya, sebuah kasus korupsi yang melanda partai non-PKS ia anggap sebagai “kegagalan kaum sekuler dalam mengurus negeri”, runtuhnya Presiden Mursi di Mesir ia anggap sebagai “Perang Agama”, dan perjuangan pahlawan Nusantara dalam melawan Belanda ia sebut sebagai “Islam vs Kristen”. Rasisme sering dianggap sebagai bagian dari xenophobia tapi dalam konteks yang lebih spesifik yakni ras. Namun apa yang dimaksud sebagai “ras” ini juga pada a