Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Jang, Jika mengenangmu saya selalu senang karena minum es teh selalu ngutang. Tidak ada perasaan dosa kalaupun tak dibayar karena kamu anak muda tak kenal dosa. Kamu anak muda hanya tahu gembira dan berkata-kata. Berkata-kata tentang apa saja yang lewat di depanmu ketika duduk bercengkrama di sebuah foodcourt hanya dengan rokok dan teh botol: Perempuan, kakek tua, perempuan, minuman, perempuan, makanan, bapak-bapak, dan perempuan. Jang, Mari mengenang lebih jauh ketika kamu dan dua orang kawan susumputan di kuburan. Mengisap Djarum Coklat sambil celingukan sebagai bentuk aksi bentrok pertama dengan norma-norma. "De, darimana pulang sekolah kok sore amat," tanya Mamah. Kata kamu, "Kerja kelompok, Mah, di rumah si Kautsar!" Sekarang akan saya kasitahu kamu, Jang. Ibumu tahu kamu bohong, selalu tahu! Tapi wajahmu yang lugu dengan celana biru terlalu mengharukan untuk ditampiling. Jang, Mari dengan asyik mengenang masa malam mingguan. Yang lain senang-senang, kamu mah g