Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Jang, Jika mengenangmu saya selalu senang karena minum es teh selalu ngutang. Tidak ada perasaan dosa kalaupun tak dibayar karena kamu anak muda tak kenal dosa. Kamu anak muda hanya tahu gembira dan berkata-kata. Berkata-kata tentang apa saja yang lewat di depanmu ketika duduk bercengkrama di sebuah foodcourt hanya dengan rokok dan teh botol: Perempuan, kakek tua, perempuan, minuman, perempuan, makanan, bapak-bapak, dan perempuan. Jang, Mari mengenang lebih jauh ketika kamu dan dua orang kawan susumputan di kuburan. Mengisap Djarum Coklat sambil celingukan sebagai bentuk aksi bentrok pertama dengan norma-norma. "De, darimana pulang sekolah kok sore amat," tanya Mamah. Kata kamu, "Kerja kelompok, Mah, di rumah si Kautsar!" Sekarang akan saya kasitahu kamu, Jang. Ibumu tahu kamu bohong, selalu tahu! Tapi wajahmu yang lugu dengan celana biru terlalu mengharukan untuk ditampiling. Jang, Mari dengan asyik mengenang masa malam mingguan. Yang lain senang-senang, kamu mah g