Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Spartacus dalam film yang digarap oleh sutradara Stanley Kubrick ini, memang diangkat dari kisah nyata, tentang seseorang bernama Spartacus. Tapi kenyataannya, tidak ada sejarah yang sedemikian akurat dalam menggambarkan gerak-gerik Spartacus sesungguhnya. Film berdurasi tiga jam lima belas menit ini, mengisahkan tentang seorang budak bernama Spartacus yang berjuang mendapatkan kemerdekaannya. Perjuangannya "kebablasan", ia tak cuma membebaskan diri, tapi membebaskan ribuan budak lainnya untuk kemudian memancing penguasa Romawi untuk bertempur secara terbuka. Diperankan oleh Kirk Douglas, tokoh Spartacus disini sungguh mengundang simpati dari sejak awal. Ia pemberontak tapi juga lemah lembut di hadapan wanita bernama Varinia. Ia pemberani namun matanya berubah berkaca jika berbicara pada ribuan budak yang hendak bertempur. Film Spartacus memang terlihat sekali seperti film berbujet tinggi. Memang iya, konon biaya pembuatannya mencapai dua belas juta dollar, plus figuran