Hari Minggu adalah jadwal saya mengajar di sebuah pesantren di kawasan Cijawura. Apa yang saya ajarkan sesungguhnya bertajuk awal "Gitar Klasik". Namun melihat animo yang cukup besar (ini adalah semacam kelas ekstrakurikuler yang siswa boleh memilih secara sukarela), saya memutuskan untuk mengganti tajuknya menjadi kelas "Musik" saja. Masalahnya, dua puluh orang anak jika diajari gitar klasik secara detail akan cukup repot. Belum pertimbangan bahwa banyak diantaranya tidak mempunyai gitar, dan juga kemampuan dasarnya tidak sama.
Atas dasar siswa yang cukup banyak itu, akhirnya saya bagi menjadi empat kelompok dengan masing-masing lima orang. Masing-masing kelompok diharuskan berkreasi sendiri, menampilkan suatu lagu bebas dalam format akustik. Tentu saja atas nama keadilan, pria wanita bercampur baur di sana.
Singkat cerita, akhirnya saya menyuruh masing-masing kelompok untuk maju ke depan, menampilkan kreasinya. Namun ekspektasi saya terhenti karena sekelompok pemuda di kelas mengajukan protes, "Kami tidak setuju wanita menyanyi. Karena akan bisa mengundang syahwat." Saya agak tersentak dengan penolakan tersebut. Saya betul-betul baru mengetahui tentang itu. Meskipun dalam taraf yang sederhana, akhirnya saya berhadapan langsung dengan fundamentalisme.
Saya berusaha untuk menghormati pendapat itu. Karena bagaimanapun juga, berhadapan dengan orang yang menggunakan dalil agama jelas berbeda dengan orang yang menggunakan dalil filsafat. Saya akhirnya bertanya pada mereka, berusaha tenang, "Dari mana kalian mendapatkan dalil itu?" Mereka tidak bisa menyebutkan sumbernya, tapi mereka tampak yakin dengan hukum tersebut. "Kalau suara wanita mengundang syahwat, bagaimana dengan buku kedokteran atau biologi? Bukankah isinya seringkali memperlihatkan tubuh telanjang dan kadang alat kelamin?" Mereka lagi-lagi tidak bisa menjawab, tapi tetap yakin pada pendiriannya.
"Lihat wanita-wanita di kelas ini, mereka sudah siap menyanyi. Dengan adanya pernyataan kalian, mungkin mereka jadi sakit hati. Apa hukum menyakiti hati sesama Muslim?" saya melanjutkan. Mereka, sambil tertunduk, mengatakan haram. Tapi sekali lagi, mereka teguh bahwa wanita tetap tidak boleh menyanyi. "Saya akan bertanya, termasuk golongan Islam manakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami Islam universal." "Apa itu yang universal? Ahlus-sunnah wal jama'ah?" saya mencoba mengorek dengan metoda Sokratik. "Iya," jawabnya. "O, kalau begitu kalian adalah Sunni. Jadi kalian bukan Syi'ah ya?" saya mulai menemukan kontradiksi dalam diri mereka. "Apa mazhab yang kalian anut? Syafi'i kah?" tanya saya, mendesak. "Iya," jawab mereka. "O, kalau begitu kalian bukan termasuk kepada mazhab Maliki, Hambali atau Hanafi ya? Jadi kalian bukan Islam universal kan? Kalian adalah Sunni dengan mazhab Syafi'i, tolong koreksi saya jika salah!" seru saya dengan semangat. Saya menambahkan, dengan agak terinspirasi Jalaluddin Rakhmat, "Jika demikian mungkin saja yang mengharamkan wanita menyanyi bukan Islam universal, tapi sebahagiaan kelompok dalam Islam saja. Tapi apakah menyakiti hati sesama Muslim adalah ajaran Islam universal?" Mereka menjawab ya dengan pelan, saya tahu mereka agak-agak mencair sekarang.
Meski demikian, saya tetap tidak melihat mereka akan memindahkan pendiriannya. Sejenak kemudian ada seorang santri berdiri mengemukakan pendapatnya, "Kak, saya tadi sempat melihat hadits, saya membaca bahwa Rasulullah SAW pernah membiarkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya. Hadits ini shahih dari Bukhari dan Muslim." Apa yang ia ucapkan ternyata jadi penolong. Mereka semua akhirnya setuju untuk membiarkan wanita menyanyi. Setelah keempat kelompok bernyanyi ke depan (ternyata para penyanyi wanita sangat bagus-bagus!), saya menambahkan kalimat penutup, "Syahwat pasti ada dalam setiap peristiwa, tapi bukankah yang penting adalah niatnya?"
Hari itu saya belajar sangat banyak. Terutama tentang muara dari filsafat yang saya pelajari selama ini. Ternyata filsafat belum selesai ketika saya sukses menghafal pemikiran dari Thales hingga Foucault, atau dari Yunani hingga Cina. Filsafat belum selesai ketika kita merefleksikan segenap pemikiran menjadi hakikat segala sesuatu di balik apa yang tampak. Filsafat barangkali bermuara pada arti kata filsafat itu sendiri yaitu cinta kebijaksanaan. Apa yang saya yakini sebagai bijaksana, adalah persis dengan keyakinan para santri itu sendiri tentang apa yang bijaksana. Ketika dua hal yang bijaksana "diadukan", maka disinilah filsafat mengekspresikan rasa cintanya yang hakiki. Cinta sejati adalah yang lembut dan mau mengerti sesama. Rasa-rasanya filsafat menjadi gagal jika kerap menuduh FPI keji tanpa mau memahami alam pikiran mereka yang juga barangkali mengandung kebijaksaan bagi dirinya. Jika filsafat menolak usaha pemahaman tentang yang liyan (the others), maka sesungguhnya ia tak ubahnya sebagai fundamentalis juga.
Atas dasar siswa yang cukup banyak itu, akhirnya saya bagi menjadi empat kelompok dengan masing-masing lima orang. Masing-masing kelompok diharuskan berkreasi sendiri, menampilkan suatu lagu bebas dalam format akustik. Tentu saja atas nama keadilan, pria wanita bercampur baur di sana.
Singkat cerita, akhirnya saya menyuruh masing-masing kelompok untuk maju ke depan, menampilkan kreasinya. Namun ekspektasi saya terhenti karena sekelompok pemuda di kelas mengajukan protes, "Kami tidak setuju wanita menyanyi. Karena akan bisa mengundang syahwat." Saya agak tersentak dengan penolakan tersebut. Saya betul-betul baru mengetahui tentang itu. Meskipun dalam taraf yang sederhana, akhirnya saya berhadapan langsung dengan fundamentalisme.
Saya berusaha untuk menghormati pendapat itu. Karena bagaimanapun juga, berhadapan dengan orang yang menggunakan dalil agama jelas berbeda dengan orang yang menggunakan dalil filsafat. Saya akhirnya bertanya pada mereka, berusaha tenang, "Dari mana kalian mendapatkan dalil itu?" Mereka tidak bisa menyebutkan sumbernya, tapi mereka tampak yakin dengan hukum tersebut. "Kalau suara wanita mengundang syahwat, bagaimana dengan buku kedokteran atau biologi? Bukankah isinya seringkali memperlihatkan tubuh telanjang dan kadang alat kelamin?" Mereka lagi-lagi tidak bisa menjawab, tapi tetap yakin pada pendiriannya.
"Lihat wanita-wanita di kelas ini, mereka sudah siap menyanyi. Dengan adanya pernyataan kalian, mungkin mereka jadi sakit hati. Apa hukum menyakiti hati sesama Muslim?" saya melanjutkan. Mereka, sambil tertunduk, mengatakan haram. Tapi sekali lagi, mereka teguh bahwa wanita tetap tidak boleh menyanyi. "Saya akan bertanya, termasuk golongan Islam manakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami Islam universal." "Apa itu yang universal? Ahlus-sunnah wal jama'ah?" saya mencoba mengorek dengan metoda Sokratik. "Iya," jawabnya. "O, kalau begitu kalian adalah Sunni. Jadi kalian bukan Syi'ah ya?" saya mulai menemukan kontradiksi dalam diri mereka. "Apa mazhab yang kalian anut? Syafi'i kah?" tanya saya, mendesak. "Iya," jawab mereka. "O, kalau begitu kalian bukan termasuk kepada mazhab Maliki, Hambali atau Hanafi ya? Jadi kalian bukan Islam universal kan? Kalian adalah Sunni dengan mazhab Syafi'i, tolong koreksi saya jika salah!" seru saya dengan semangat. Saya menambahkan, dengan agak terinspirasi Jalaluddin Rakhmat, "Jika demikian mungkin saja yang mengharamkan wanita menyanyi bukan Islam universal, tapi sebahagiaan kelompok dalam Islam saja. Tapi apakah menyakiti hati sesama Muslim adalah ajaran Islam universal?" Mereka menjawab ya dengan pelan, saya tahu mereka agak-agak mencair sekarang.
Meski demikian, saya tetap tidak melihat mereka akan memindahkan pendiriannya. Sejenak kemudian ada seorang santri berdiri mengemukakan pendapatnya, "Kak, saya tadi sempat melihat hadits, saya membaca bahwa Rasulullah SAW pernah membiarkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya. Hadits ini shahih dari Bukhari dan Muslim." Apa yang ia ucapkan ternyata jadi penolong. Mereka semua akhirnya setuju untuk membiarkan wanita menyanyi. Setelah keempat kelompok bernyanyi ke depan (ternyata para penyanyi wanita sangat bagus-bagus!), saya menambahkan kalimat penutup, "Syahwat pasti ada dalam setiap peristiwa, tapi bukankah yang penting adalah niatnya?"
Hari itu saya belajar sangat banyak. Terutama tentang muara dari filsafat yang saya pelajari selama ini. Ternyata filsafat belum selesai ketika saya sukses menghafal pemikiran dari Thales hingga Foucault, atau dari Yunani hingga Cina. Filsafat belum selesai ketika kita merefleksikan segenap pemikiran menjadi hakikat segala sesuatu di balik apa yang tampak. Filsafat barangkali bermuara pada arti kata filsafat itu sendiri yaitu cinta kebijaksanaan. Apa yang saya yakini sebagai bijaksana, adalah persis dengan keyakinan para santri itu sendiri tentang apa yang bijaksana. Ketika dua hal yang bijaksana "diadukan", maka disinilah filsafat mengekspresikan rasa cintanya yang hakiki. Cinta sejati adalah yang lembut dan mau mengerti sesama. Rasa-rasanya filsafat menjadi gagal jika kerap menuduh FPI keji tanpa mau memahami alam pikiran mereka yang juga barangkali mengandung kebijaksaan bagi dirinya. Jika filsafat menolak usaha pemahaman tentang yang liyan (the others), maka sesungguhnya ia tak ubahnya sebagai fundamentalis juga.