Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2013

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Django Unchained (2012): Tarantino Menggila Lagi

  Meski mengandalkan estetika film "kelas B", Tarantino jelas bukan sutradara "kelas B". Sejak film pertamanya yang berjudul Reservoir Dogs (1992), Tarantino menunjukkan dirinya bisa membuat film yang terkesan murahan -karena latar yang minimalis, adegan yang dominan berdarah-darah, aktor yang sedikit, musik yang ready-use , dan dialog yang amat keseharian- namun cukup konseptual, berprinsip, dan referensial. Dalam arti kata lain, ia menjadikan estetika "kelas B" ini sebagai pilihan pribadinya, bukan karena desakan dana yang minim. Walhasil, atas karakteristik filmnya yang khas dan boleh dibilang idealistik, Tarantino mempunyai penggemarnya sendiri. Kita tidak bisa menyamakan popularitas Tarantino ini dengan sutradara Hollywood spesialis box office seperti Steven Spielberg atau Peter Jackson. Namun ia jelas akan dikenang sebagai seseorang yang kokoh memegang teguh gaya estetikanya seperti seorang David Lynch. Maka itu, kemunculan Django Unchained

Akechi Mitsuhide dan Raja-Filsuf Platonis

Dalam bukunya yang berjudul The Republic , Plato menulis tentang konsep raja-filsuf. Konsep tersebut kurang lebih berarti: Seorang filsuf seyogianya menjadi raja. Dan seorang raja, ia harus sanggup menjadi filsuf. Definisi "filsuf" ini tentu saja paling mengundang perdebatan. Karena kenyataannya, mereka yang menjadi pemimpin seringkali mencitrakan dirinya sebagai cendekiawan. Tidak perlu dibahas bagaimana para politisi di Indonesia sangat senang berburu gelar akademik untuk mendapatkan suatu posisi penting di ruang lingkup kekuasaan. Gelar Magister dan Doktor menjadi "syarat wajib" agar pencitraannya terlihat seolah-olah ia memenuhi konsep raja-filsuf Platonis. Namun apakah filsuf identik dengan kepintaran? Tentu saja, berdasarkan arti katanya saja, tidak. Filsuf berarti orang yang mencintai kebijaksanaan (hal yang mana akan menimbulkan perdebatan lagi tentang apa itu kebijaksanaan!). Plato barangkali hendak berbicara tentang raja yang memahami segala sesuatu,