Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2012

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Warisan Berharga dari Diecky

Diecky Kurniawan Indrapraja, sahabat yang dalam hitungan hari akan pergi ke Pontianak, mewariskan sesuatu untuk Bandung yang sudah ia tinggali lebih dari sepuluh tahun lamanya. Berkunjung ke kontrakannya di Antapani, saya menemukan sembilan puluh persen barang-barangnya sudah masuk dus. "Besok pagi, Satriyo akan membawanya dengan mobil pick-up untuk dibawa ke tempat pengiriman," katanya merujuk pada Satriyo Utomo, murid sekaligus sahabatnya.  Apa yang dia wariskan? Sesungguhnya dalam sepuluh tahun kehadirannya di Bandung, sudah banyak. Diecky mengajar, berkomunitas, berkarya, manggung, berkompetisi, menjadi pembicara dalam seminar, menjadi panitia dalam konser-konser, dan kesemuanya dilakukan dengan semangat -meminjam istilah Goenawan Mohamad- "mengikhtiarkan kebenaran". Meski demikian, Diecky tetap ingin meninggalkan satu warisan (lagi) bagi kota yang ia cintai. Inilah dia: 27 keping CD progressive rock mulai dari Genesis, Emerson, Lake & Palmer, Mahavish

Kegalauan Posmodernisme

Tulisan ini adalah olahan hasil diskusi di forum Indonesian Atheists (IA)  12 September - 22 September 2012 Catatan: Kata-kata bisa jadi tidak mirip dengan yang tertulis di komentar sebenarnya. Tapi hanya diubah untuk kepentingan estetika penulisan. Semoga tidak berubah esensinya. Fuck postmodern art! Seni yang diwacanakan oleh posmodernisme memang "menyebalkan" dan meresahkan sebagaimana diskursus yang dihasilkan oleh posmodernisme itu sendiri. Kita bisa menunjuk mula-mula seni mengalami perubahan acuan adalah sejak Marcel Duchamp membuat karya agungnya yang berjudul Fountain . Karya itu adalah kloset sebagaimana adanya dan disimpan begitu saja di galeri (ditandatangani tentu saja). Meski awalnya ditolak sebagai karya seni, namun pada akhirnya terbuka juga wacana: Apakah keindahan itu ada pada dirinya sendiri, atau dikonstruksi? Apakah keindahan itu ada pada karyanya, atau dalam kepala kita? Pada titik ini, kerangka seni juga bergeser dari sekadar urusan teknis,

Akhirnya Tercapai Juga ...

Sewaktu kecil, saya pernah membaca tentang Rene Descartes. Dengan pemahaman seadanya -waktu itu masih kelas 3 atau 4 SD- saya mengingat-ngingat jargon sang filsuf: Aku berpikir maka aku ada. Waktu itu saya coba merumuskan sendiri apa artinya kalimat aneh tersebut. Bapak mencoba menjelaskan tapi saya tidak kunjung paham. Meski demikian, ketertarikan akan Descartes adalah awal mula saya haus akan ilmu pengetahuan. Sejak itu saya membaca tumpukan ensiklopedia dan mengoleksi buku biografi para penemu seperti Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Alexander Graham Bell, Wright bersaudara hingga Margaret Mead. Selalu ada anggapan umum bahwa "Belajar sesuatu itu ada waktunya". Ketika kawan-kawan sebaya mengoleksi lagu Bondan Prakoso dan Enno Lerian, saya dicekoki jazz, The Beatles, dan Michael Franks. Ketika kelas 4 SD -di waktu bebas setelah ujian- teman-teman rata-rata membawa Lego atau mobil-mobilan, saya membawa mikroskop. Semuanya hanya menunjukkan bahwa saya telah menyukai

Dilema Oedipus

Tulisan ini tiba-tiba diangkat karena saya tiba-tiba ingat pemain sepakbola bernama Jordi Cruyff. Dia adalah anak kandung dari legenda hidup sepakbola Belanda, Johan Cruyff. Pertanyaannya: Dimana sekarang Jordi? Bagaimana nasibnya? Pertanyaan ini saya ajukan juga pada Maradona, Franz Beckenbauer, Lothar Matthaus, Gerd Muller, dan pesepakbola legendaris lainnya: Anakmu mana? Apakah mereka tidak cukup kuat menanggung nama besar bapaknya? Ini tidak terjadi di dunia sepakbola saja. Agaknya inilah salah satu mengapa berbagai mitologi seperti Zeus, Oedipus dan Sangkuriang, berbicara soal "pembunuhan bapak sendiri". Bukan semata-mata mereka berebut ibu, tapi memang bagi seorang anak laki-laki, bapak yang kuat haruslah ditaklukkan agar hidup sang anak menjadi benderang. Bob Marley punya anak yang juga bergerak di bidang musik, namanya Ziggie Marley. Namun dengan segala hormat bagi para rastafarian, saya merespon begini ketika membaca nama Ziggie Marley, " Your father is

Babel (2006): Apa yang Membuat Kita Berbeda?

    Ditulis sebagai Suplemen untuk Pemutaran Film Babel di Layarkita, 10 September 2012. “ Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan Tuhan bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan Tuhan ke seluruh bumi .” – Kitab Kejadian 11 : 9  Babel, selain yang disebut dalam Perjanjian Lama tersebut, adalah juga judul film yang disutradarai oleh Alejandro González Iñárritu. Sutradara asal Meksiko itu tidak asal comot istilah dari Alkitab. Film Babel yang dirilis tahun 2006 itu memang bercerita tentang orang-orang “yang berserakan” di Jepang, Maroko, Amerika Serikat, dan Meksiko yang tertimpa “kutukan Tuhan” bernama bahasa. Sebelum mengupas aspek filosofis dari Babel , ada baiknya untuk sedikit menengok aspek historis dari film tersebut. Pertama-tama dengan mengenal sejenak sang sutradara –yang memang terkenal punya karakter kuat dalam sinematografi-. Kedua adalah dengan mengetahui bahwa Babel merupakan bagian ketiga dari t