Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Di usia saya yang sekarang hampir 36, hal-hal terkait masa muda mulai terasa sebagai sesuatu yang jauh. Pikiran dan tubuh pelan-pelan kian "matang", sekaligus meninggalkan masa silam yang dipenuhi eksperimen dan "kebodohan". Namun kerinduan akan masa muda tidak dapat ditolak. Di masa tersebut, konsep "tanggung jawab" tidaklah sedemikian besar dan seolah-olah segalanya dapat dilakukan sesuka hati tanpa banyak pertimbangan. "Kebodohan" tersebut justru merupakan hal yang paling dirindukan, karena di usia sekarang, yang seolah "berpengetahuan", segalanya malah terasa melelahkan. Musik ternyata mampu mengaitkan saya dengan momen-momen tertentu, termasuk momen di masa muda. Musik-musik tersebut, di masanya, belum tentu saya sukai, dan bahkan kadang merasa norak jika mendengarkannya. Misalnya, di masa remaja, saya tidak suka sama sekali mendengarkan musik-musiknya Reza Artamevia atau Shanty. Namun saat tidak sengaja mendengarkannya di masa se