Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2021

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Bersembunyi di Balik Musik

Di usia saya yang sekarang hampir 36, hal-hal terkait masa muda mulai terasa sebagai sesuatu yang jauh. Pikiran dan tubuh pelan-pelan kian "matang", sekaligus meninggalkan masa silam yang dipenuhi eksperimen dan "kebodohan". Namun kerinduan akan masa muda tidak dapat ditolak. Di masa tersebut, konsep "tanggung jawab" tidaklah sedemikian besar dan seolah-olah segalanya dapat dilakukan sesuka hati tanpa banyak pertimbangan. "Kebodohan" tersebut justru merupakan hal yang paling dirindukan, karena di usia sekarang, yang seolah "berpengetahuan", segalanya malah terasa melelahkan.  Musik ternyata mampu mengaitkan saya dengan momen-momen tertentu, termasuk momen di masa muda. Musik-musik tersebut, di masanya, belum tentu saya sukai, dan bahkan kadang merasa norak jika mendengarkannya. Misalnya, di masa remaja, saya tidak suka sama sekali mendengarkan musik-musiknya Reza Artamevia atau Shanty. Namun saat tidak sengaja mendengarkannya di masa se

Hiduplah Tanpa Arah dan Tujuan, Agar Tidak Tersesat

Sejak situasi pandemi kian memburuk terutama dalam tiga bulan terakhir, kami tidak pernah keluar rumah sama sekali. Atas dasar itu, kami mencoba menyewa-nyewakan kendaraan karena memang tidak dipakai. Daripada menganggur. Setelah seminggu diiklankan melalui pesan Whatsapp dan juga via Olx, barulah ada yang mengontak, yang justru datang dari orang yang tinggal di apartemen yang sama dengan kami. Katanya, ia akan meminjam beberapa hari ke Jakarta, tetapi tidak bisa dipastikan tepatnya berapa hari. Saya diminta menemuinya langsung untuk berbincang lebih jelas dan saya diarahkan ke sebuah studio tattoo. Iya, si penyewa ternyata adalah salah satu seniman tattoo terbaik di negeri ini, nama panggilannya Kent Kent atau lebih dikenal juga dengan sebutan Kent Tattoo (sesuai nama studionya). Tentu saja saya sudah sering mendengar namanya sejak lama!  Awalnya, Kang Kent Kent, begitu saya memanggilnya, akan menyewa secara lepas kunci alias tanpa supir. Namun tiba-tiba, pukul empat dini hari, ia men

Operation Finale (2018): Tentang Iblis yang Tampil Biasa

Operation Finale (2018) Memang benar saya tergila-gila dengan film yang berhubungan dengan Perang Dunia II. Beragamnya pilihan acara yang ditawarkan Netflix sementara ini tidak menarik minat saya. Ujung-ujungnya tetap saja yang ditonton adalah film yang ada kaitannya dengan Nazi-Nazi-an. Kali ini saya memilih film Operation Finale , film tahun 2018 yang bercerita tentang momen-momen penangkapan Adolf Eichmann di Argentina.  Kesan pertama saya tentang Operation Finale ini adalah tone -nya yang tidak kelam seperti film lainnya yang serupa, sebut saja Schindler's List , Downfall , ataupun The Boys in Striped Pajamas . Film ini hampir seperti film "pada umumnya" dengan tampilan yang tidak dibuat-buat agar dramatis dan muram. Bagi saya yang terbiasa dengan penggambaran gelap pada film-film berbau Perang Dunia II, Operation Finale ini awalnya saya duga akan mengecewakan.  Ternyata, dari waktu ke waktu, suasana yang "diharapkan" mulai terbangun, terutama saat sosok Ad

Puspasari

Saya bertemu Puspasari pada bulan Mei 2018 di kelas filsafat ilmu yang diadakan oleh Kaka Cafe. Momen itu bertepatan dengan meninggalnya ibu. Di pagi hari, kami memakamkan ibunda dan malam harinya, saya berangkat mengajar dengan suasana penuh kesedihan. Mengapa saya tetap berangkat? Entah, mungkin karena saya tidak tahu lagi harus berbuat apa di tengah kebingungan ditinggal ibu. Di kelas pertemuan pertama tersebut, saya sebenarnya tidak tahu ada Puspa karena ya itu, mungkin saya juga sedang tidak berkonsentrasi.  Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, saya mulai sadar ada Puspa di antara murid-murid kelas tersebut dan kami akhirnya mengobrol beberapa kali. Singkat cerita, kami menjadi sering berjumpa di luar kelas dan pada bulan Juli akhirnya memutuskan untuk saling berkomitmen. Sejak awal menjalani hubungan khusus ini, memang sudah ada pembicaraan tentang pernikahan. Saya tidak tahu kenapa Puspa tampak tertarik dengan ide tersebut, padahal di usianya yang waktu itu masih 23 tahun dan me

Menjelang Terbitnya Demotivasi 2

Kumpulan Kalimat Demotivasi 2: Panduan Hidup Bahagia untuk Medioker   Sudah lama saya bercita-cita menulis Demotivasi jilid dua, tetapi baru benar-benar menuliskannya pada akhir Juni 2021, tepatnya di masa-masa terkena virus Covid. Waktu itu, suasananya memang mendukung: saya tidak punya banyak opsi dalam berkegiatan dan memang kondisi terkena Covid membuat suasana hidup terasa lebih muram — mood yang cocok untuk menulis sesuatu yang demotivasional. Entah kenapa, Demotivasi 2 ini rasanya lebih serius dan juga kelam. Mungkin dalam rentang waktu antara Demotivasi 1 dan Demotivasi 2 saya ada waktu memikirkan ulang tentang ide tersebut dan terinspirasi dari beberapa diskusi tentang demotivasi itu sendiri.  Awalnya demotivasi ditulis untuk senang-senang saja. Isinya tidak terlalu diatur harus bagaimana dan yang penting berisi olok-olok terhadap motivator beserta kata-kata motivasionalnya. Namun pada Demotivasi 2 ini, saya memikirkan beberapa hal, misalnya soal paradigma motivasional yang t

Downfall (2004): Menengok Sisi Lain Sang Diktator

Downfall (2004)   Sudah lama saya ingin menonton film Downfall (2004) setelah entah berapa kali menonton parodinya di YouTube. Bahkan sempat dalam beberapa minggu, ritual saya sebelum tidur adalah menonton parodi Downfall hingga mengantuk. Parodi-parodi tersebut begitu lucu dan kreatif, hingga kadang terlalu kejam karena nilai-nilai dalam filmnya menjadi terdistorsi. Dalam adegan-adegan yang mestinya tegang, secara otomatis saya langsung ingat versi parodinya sehingga alih-alih ikut tegang, malah jadi tertawa geli.  Downfall adalah film yang menceritakan tentang babak akhir Perang Dunia II saat baik pasukan Sekutu maupun pasukan Uni Soviet sudah makin mendekat ke Berlin. Adolf Hitler, pemimpin partai Nazi yang terkenal dengan kediktatorannya, menyusun strategi pamungkas bersama para jenderalnya untuk mengatasi serbuan tersebut. Sebagaimana film yang mengangkat tema perang, Downfall juga menyajikan adegan tembak menembak dan pengeboman. Namun bukan itu yang menjadi fokus utamanya, mel