Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
"Mereka kemari bukan untuk tidur, tapi untuk bangun." - Kata Yusef pada Cobb dalam film Inception Petikan dialog itu hendak menyebutkan bahwa bermimpi tidak sama dengan keadaan tak nyata, jangan-jangan mimpi itulah kenyataan yang sejati. Ide film Inception tentang "kenyataan mimpi" sungguh keren, tapi bukan isu yang baru sebetulnya, bahkan sangat purba. Kepurbaan itu bukan persis soal mimpinya, tapi soal bahwa banyak kaum mencari cara untuk menemukan "kenyataan"-nya. Dalam mitologi Yunani, ada dua tokoh yang cukup rajin diangkat dalam kefilsafatan Barat, yakni Apollo dan Dionysus. Keduanya anak dari Zeus: Apollo, ia Dewa Matahari, simbol pengetahuan, pencerahan, rasionalitas, keteraturan, dan nilai-nilai kebudayaan. Dionysus, Dewa Anggur, simbol gairah, hasrat, irasionalitas, khaos, naturalisme, insting, serta absurditas. Keduanya sering dipersandingkan untuk menunjukkan semacam paradoks. Meski demikian, Nietzsche menilai bahwa penyakit peradaban Barat sal