Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
"Mereka kemari bukan untuk tidur, tapi untuk bangun." - Kata Yusef pada Cobb dalam film Inception Petikan dialog itu hendak menyebutkan bahwa bermimpi tidak sama dengan keadaan tak nyata, jangan-jangan mimpi itulah kenyataan yang sejati. Ide film Inception tentang "kenyataan mimpi" sungguh keren, tapi bukan isu yang baru sebetulnya, bahkan sangat purba. Kepurbaan itu bukan persis soal mimpinya, tapi soal bahwa banyak kaum mencari cara untuk menemukan "kenyataan"-nya. Dalam mitologi Yunani, ada dua tokoh yang cukup rajin diangkat dalam kefilsafatan Barat, yakni Apollo dan Dionysus. Keduanya anak dari Zeus: Apollo, ia Dewa Matahari, simbol pengetahuan, pencerahan, rasionalitas, keteraturan, dan nilai-nilai kebudayaan. Dionysus, Dewa Anggur, simbol gairah, hasrat, irasionalitas, khaos, naturalisme, insting, serta absurditas. Keduanya sering dipersandingkan untuk menunjukkan semacam paradoks. Meski demikian, Nietzsche menilai bahwa penyakit peradaban Barat sal