Dulu, saya kritisi habis-habisan soal kenapa Al-Qur'an berbahasa Arab. Artinya, ini tidak adil. Orang Arab akan lebih mudah mengerti bahasa Tuhan ketimbang orang lainnya. Tuhan berpihak pada orang Arab. Tapi lama-lama saya memaknai, bahwa begini: Tuhan sesungguhnya punya bahasa universal, yakni lewat alam semesta ini (ayat kauniyah). Tapi ia menyadari bahwa manusia banyak yang kurang menyadari pesan-pesan tersirat tersebut, sehingga ia "terpaksa" berbahasa juga (bahasa formal maksudnya). Dan yang saya yakini, ia memilih bahasa Arab, tanpa alasan. Acak saja, bebas saja, karena ia ingin memilih satu bahasa. Ia melempar dadu, dan jatuhlah pilihan pada Arab. Dan bagi saya, dengan Tuhan sudah konsisten memilih satu bahasa, itu lebih bermakna jadinya bagi saya, ketimbang kemudian dia memilih lebih banyak bahasa semata-mata agar semua orang di dunia menjadi mengerti. Misalnya begini, bahasa di dunia ada 100.000 bahasa. Lalu Tuhan menurunkan Al-Qur'an dalam multilingual, sejumlah 100.000 bahasa tersebut (ingat, satu Al-Quran yang isinya sama semua, dengan 100.000 bahasa). Pertama, efeknya, Tuhan akan sulit memberikan perumpamaan-perumpamaan, karena kondisi bangsanya berbeda-beda. Jika ada ungkapan di surga banyak sungai mengalir dan di neraka panasnya berlipat-lipat bumi, akankah relevan bagi bangsa Indonesia? Yang notabene sudah banyak sungai mengalir dan udaranya tidak panas-panas amat? Kedua, akan banyak klaim Tuhan mana yang paling benar (maksudnya, lebih banyak lagi). Misal begini, Tuhan mengatakan bahwa negeri yang diagungkan adalah negeri yang diselimuti es sepanjang tahun. Jika demikian, negara-negara benua Alaska akan merasa digjaya, dan sebaliknya, negeri-negeri panas merasa Tuhan tidak memihak mereka, padahal bahasanya sama.
Keputusan Tuhan memilih satu bahasa itu, akan terasa ketika kita melakukan ritual di tempat-tempat yang jauh dan asing. Mendadak tak ada kesulitan berarti bagi kita untuk shalat, membaca doa, membaca Al-Qur'an, atau dzikir, di tengah-tengah hamparan manusia multilingual. Pertanyaannya, apakah tetap, di tengah-tengah manusia multilingual tersebut, orang Arab masih lebih unggul dari segi "kedekatan dengan Tuhan", karena bahasanya sama? Tidak otomatis, saya pikir. Secara etimologis, tentu saja iya. Tapi soal penafsiran yang lebih dalam, seluruh manusia berada di posisi yang kira-kira adil. Yang membedakan adalah seberapa dalam ia membaca teks Tuhan via semesta alam, alias kauniyah tadi.
Ini masih soal bahasa. Saya pernah mengkritisi bahasa Al-Qur'an atau hadits, sebagai bahasa yang ambigu dan tidak jelas. Beda dengan bahasa hukum atau filsafat yang subjek-objeknya tegas, dan apa yang dibicarakan pun tegas. Dalam hadits misalnya, “Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin, seluruh kondisinya pasti menjadi baik. Dan itu hanya dimilki oleh seorang mukmin saja" (HR Muslim) Bagi saya, dulu, kurang jelas. Apakah gerangan maksudnya? Ini mestilah dibedah, ini mestilah didefinisikan ulang, apa itu mukmin? apa itu baik? apa itu yang namanya pasti? Atau dalam Al-Qur'an, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mengubah diri mereka sendiri” (Q.S. Ar Ra’d: 11) Apakah artinya itu? Tidak jelas. Lantas apa artinya kepasrahan dan berserah diri yang diinginkan oleh Tuhan, jikalau Tuhan juga ingin ada perubahan dalam diri dan nasib?
Begini, saya kemudian merenungkan, bahwa agama bisa sedemikian kokoh berdiri sampai hari ini, barangkali salah satunya pada ambiguitas tersebut. Pada kenyataan bahwa ia memang tidak pernah memberikan sedikitpun keterangan yang jelas soal apa-apa. Tuhan seolah tahu kelemahan bahasa, sehingga ia berbicara sedikit saja via teks. Kemultitafsiran itulah yang mendinamisasi masyarakat. Sekarang bayangkan, Tuhan berbicara dengan bahasa hukum: "Dilarang membuat patung, film, gambar, yang sekiranya mempertontonkan aurat perempuan (selain telapak tangan dan wajah) dan berpotensi membuat pria menjadi bersyahwat. Kecuali di wilayah Bali, Papua, dan tempat-tempat yang belum mengenal pakaian sebagaimana halnya masyarakat modern yang akrab dengan tekstil." Bayangkan bayangkan, Tuhan berbicara demikian. Sepertinya jelas, mantap, tegas. Tapi saya sulit membayangkan masyarakat akan tumbuh, dan berkembang berdasarkan ayat macam itu. Bahasa, bagi saya, justru mengandung kelemahan pada kenyataan bahwa ia statis, sementara masyarakat sendiri dinamis. Bahasa diam, tapi penafsiran manusia selalu bergerak. Maka itu bahasa yang terlalu komplit dan kompleks, akan membunuh dirinya sendiri. Itu sudah diketahui sejak lama oleh Buddhisme Zen yang tak banyak tutur dalam pelbagai semangat spiritualitasnya.
Ingat kamus yang berisi kumpulan definisi? Biasanya hanya beberapa lama kemudian, definisi itu jadi usang, sehingga butuh pembaharuan. Demikian halnya undang-undang, diamandemen berulang kali, karena paham banyak yang tidak lagi relevan berkaitan dengan perubahan dalam masyarakat. Itu dia, Al-Qur'an, dalam hal ini, mempertahankan ambiguitas dan ketidakjelasannya, semata-mata karena ia tahu, bahasa sangat lemah dalam menyampaikan sesuatu. Ia justru memberi kesempatan paling banyak pada nalar untuk menjelajah dan berekplorasi dalam ruang-ruang bahasa yang lapang. Seperti Agus Mustofa bilang, dalam Al-Qur'an dan hadits, mau dicari pembenaran atas pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, juga ada, tinggal dicari. Inilah Al-Qur'an, pemberian kesempatan tafsir yang banyak, membuat ia terasa relevan dipakai dalam wilayah manapun: ekonomi, politik, sains, teknologi, pendidikan, hingga kriminalitas. Maka itu, patutlah heran jika ada orang yang mengklaim tafsirnya paling benar.
Setelah melihat Ka'bah untuk pertama kalinya, saya takjub. Takjub pertama, adalah karena reputasinya tentunya: Sebuah bangunan yang dijuluki Baitullah, rumah Allah. Takjub kedua, karena inilah kiblat seluruh orang yang shalat, semua mengarah kesini dari penjuru dunia, dan sekarang saya berada dekat sekali dengan si pusat. Namun setelah diperhatikan berlama-lama, berhari-hari, saya merasakan banyak kejanggalan, terutama pada para jema'at. Ini toh memang rumah Tuhan, tapi betulkah Tuhan tinggal disana? Coba perhatikan perilaku para jema'at kebanyakan, yang begitu mengultuskan Ka'bah, dan seolah-olah semakin dekat dengan Ka'bah, semakin dekatlah dengan Tuhannya. Atau perilaku jema'at yang rela bersikut-sikutan, berdempetan hingga terancam kehabisan napas di tengah terik matahari Timur Tengah, demi mencium batu bernama Hajar Aswad. Okelah, Rasulullah mencontohkannya, sehingga menjadi sunnah. Tapi saya tidak yakin, Rasul melakukannya dalam keadaan jema'at berbondong-bondong hingga ratus ribuan. Jika Rasul sekarang ikut berada di Masjidil Haram pun, saya yakin ia mendahului keselamatan umatnya alih-alih mencium Hajar Aswad. Atau tengok orang-orang yang bergelantungan di pintu Ka'bah, serta meratap sambil mengelus-ngelus kainnya. Efeknya, ketika saya makan-makan di hotel bersama rombongan, obrolan yang keluar adalah soal seberapa sering mereka mencium Hajar Aswad, seberapa sering mereka shalat di Hijr Ismail, atau berdoa di Multazam. Atau seberapa lama mereka bergelantungan di pintu Ka'bah atau masuk dari pintu Babussalam. Ukuran-ukuran kemuliaan menjadi tentang seberapa dekat mereka dengan Ka'bah secara fisikal serta seberapa intens mereka berinteraksi dengan simbol-simbol religius.
Yang saya yakini, begini: Allah mendeklarasikan dirinya sebagai dzat yang tidak menyerupai apapun di dunia ini, dan berbeda dengan makhluknya. Nah, berangkat dari titik itu, maka sebetulnya Allah sendiri tidak berwujud, dan tidak terjangkau imajinasi manusia. Karena imajinasi, pasti punya landasan kesan-kesan indrawi. Tapi meskipun demikian, Allah bukannya tidak tahu keterbatasan imajinasi manusia. Maka itu, ia menciptakan semacam simbol duniawi, semata-mata agar manusia dengan indranya yang miskin, mempunyai arah kemana mereka mesti menyembah. Ka'bah dibuat, semata-mata agar manusia punya arah, punya pusat, dan punya orientasi. Seolah-olah Allah tahu bahwa fitrah manusia yang apa-apa mesti bertujuan, apa-apa mesti ada juntrung-nya, apa-apa mesti ada wujudnya, konkrit. Saya yakin, berbagai keyakinan akan Tuhan dimanapun, yang konon berlandaskan iman tanpa pamrih, tetap mesti ada pembuktian yang indrawi. Misalnya, orang berdoa, pasrah, mencari jalan keluar, tetap ia ujung-ujungnya mesti melihat efek doanya. Dalam Islam, doa selalu terkabul, tapi ada yang segera, ada yang ditangguhkan, meskipun di akhirat. Nah, janji ditangguhkan meskipun di akhirat, juga adalah bentuk pembuktian fisik Tuhan pada manusia.
Kembali ke Ka'bah, yang saya yakini, mengkultuskan Ka'bah, adalah sama dengan merendahkan Tuhan itu sendiri. Karena artinya, menganggap Tuhan sama dengan makhluknya. Makhluk yang dengan sederhana menganggap orang yang menciumnya seratus kali, pasti lebih sayang daripada yang menciumnya sekali. Atau orang yang tinggal serumah pasti lebih dekat dengan mereka yang tinggal di luar rumah. Namun demikian, saya bukannya jadi menganggap Ka'bah tak berguna. Ia justru penting, karena setiap semesta butuh pusat untuk dikitari. Ada orang yang memilih rumahnya sebagai pusat, untuk kemudian ia pergi dan pulang ke tempat itu, setelah seharian pergi bekerja, yang bisa bermakna "mengitari" rumah. Setelah keluar dari kota, kita lalu memutuskan sebuah kota yang menjadi pusat. Saya pergi ke Surabaya, Jakarta, Semarang, Yogya, Papua, tapi tetap saya mesti memiliki kota pusat bagi saya sendiri, anggap saja Bandung. Ketika saya ke luar negeri pun, saya menciptakan pusat negara mana tempat saya berpulang. Demikian memang, dekat dengan pusat adalah kenyamanan dan ketenangan. Karena semakin dekat dengan pusat, arus putaran menjadi lebih singkat dan sederhana. Maka itu, Allah menciptakan Ka'bah sebagai pusat bagi orang yang berkeyakinan pada-Nya. Pusat yang satu-satunya, sebagaimana bahasa Arab yang satu-satunya, Al-Qur'an yang satu-satunya, dan gerakan shalat yang satu-satunya.
Demikian sedikit catatan perenungan tentang agama yang saya anut sejak lahir ini. Dan pemaknaan terbesar sesungguhnya, datang ketika melakukan thawaf (berputar mengelilingi Ka'bah tujuh kali, dimulai dan diakhiri di Hajar Aswad):