Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya. Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang. Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di
Tidak ada manusia yang memilih agamanya sendiri sejak lahir. Tempat lahir, kewarganegaraan, keluarga, bentuk fisik, dan agama, seolah-olah merupakan sesuatu yang "terberi" sejak kita semua turun ke dunia pada permulaan. Seperti kata Kierkegaard, "Mengapa hidup ini begitu menyedihkan, karena tak ada diskusi dulu dengan kita soal kenapa, dimana, bagaimana, dan untuk apa kita dilahirkan." Maka itu, menurut saya, apa yang dinamakan perjalanan hidup, salah satunya adalah tentang memaknai apa-apa yang terberi sejak lahir itu. Ketika dimaknai, maka hidup barangkali tidak akan menjadi soal keterlemparan belaka, atau kesemena-menaan Tuhan. Tapi kita sendiri yang memberi alasan mengapa dan untuk apa. Demikian halnya saya, yang sejak lahir sudah Islam ini. Dari kecil hingga SMP, saya sering mengalami doktrinasi soal ritual-ritual ibadah, serta beruntungnya kita masuk Islam ini. Termasuk salah satu guru Agama Islam saya kala SMP yang mengatakan, "Orang Islam pasti masuk su