Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2010

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Islam

Tidak ada manusia yang memilih agamanya sendiri sejak lahir. Tempat lahir, kewarganegaraan, keluarga, bentuk fisik, dan agama, seolah-olah merupakan sesuatu yang "terberi" sejak kita semua turun ke dunia pada permulaan. Seperti kata Kierkegaard, "Mengapa hidup ini begitu menyedihkan, karena tak ada diskusi dulu dengan kita soal kenapa, dimana, bagaimana, dan untuk apa kita dilahirkan." Maka itu, menurut saya, apa yang dinamakan perjalanan hidup, salah satunya adalah tentang memaknai apa-apa yang terberi sejak lahir itu. Ketika dimaknai, maka hidup barangkali tidak akan menjadi soal keterlemparan belaka, atau kesemena-menaan Tuhan. Tapi kita sendiri yang memberi alasan mengapa dan untuk apa. Demikian halnya saya, yang sejak lahir sudah Islam ini. Dari kecil hingga SMP, saya sering mengalami doktrinasi soal ritual-ritual ibadah, serta beruntungnya kita masuk Islam ini. Termasuk salah satu guru Agama Islam saya kala SMP yang mengatakan, "Orang Islam pasti masuk su

Sri Mulyani dan Kant

Suatu hari, Immanuel Kant, seorang filsuf Prusia Timur yang berasal dari abad ke 18, menyambangi Sri Mulyani. Dimana? Di sebuah tempat sepi yang terserah mau kau interpretasikan dimana. Sepertinya mereka bertemu begitu saja, tanpa ada siapa yang mengundang dan siapa yang diundang. Takdir, begitu mereka menyebutnya. Sri Mulyani : Tuan Kant, adalah hal yang luar biasa bagiku untuk bertemu dengan anda. Kant : Ah, jangan begitu Bu Sri, biasa aja kok. Aku juga senang bertemu anda. Suatu hal yang asing pada mulanya, bertemu orang di luar warga Konigsberg. Tapi aku yakin pasti menarik. Sri Mulyani : Kuharap begitu, Tuan Kant. Setidaknya hingga Tuan mendengarkan masalahku. Kant : Aku sudah tahu, soal bailout kan? Sri Mulyani : Bagaimana kau tahu perihal itu, Tuan Kant? Kant : Ah, sepanjang masih soal fenomena, pasti dapat kita ketahui. Maka ceritakan padaku kegelisahanmu itu, Bu. Sri Mulyani : Sederhana saja, aku merasa bahwa dana yang digunakan, darimanapun itu, telah sukses mencegah krisis.

Anti-Barat

Alkisah ada seorang fundamentalis Islam berorasi: Hancurkan Barat! Hancurkan Amerika! Kapitalitas merusak akhlak! McDonald terkutuk! KFC busuk! Yahudi mati! Lalu berjalanlah ia pulang dari demonstrasi di, bisa di gedung pemerintahan, ataupun kedutaan AS itu. Pulang dengan menggunakan mobil yang di era lampau diciptakan oleh Karl Benz. Ia juga tak luput menyebarkan pamflet kebencian pada AS, yang tanpa ide Johann Gutenberg soal mesin cetak, ia akan kecapean menuliskan pamflet per pamflet yang jumlahnya seribu. Ia pulang, kelaparan, makan di warung nasi goreng. Katanya, "Ini bukan produk Amerika, asal kita jangan makan di McD, boikot McD!" Setelah makan dengan menggunakan sendok yang konon diciptakan di Eropa Utara, ia membayar. Membayar tanpa bertanya darimana nasi goreng tersebut harganya menjadi sekian dan mengapa bukan sekian. Seolah-olah dia percaya, bahwa harga dikendalikan oleh invisible hand -nya Adam Smith. Sebelum sampai rumah, ia mampir ke warnet, mengakses Fac