Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2010

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Islam

Tidak ada manusia yang memilih agamanya sendiri sejak lahir. Tempat lahir, kewarganegaraan, keluarga, bentuk fisik, dan agama, seolah-olah merupakan sesuatu yang "terberi" sejak kita semua turun ke dunia pada permulaan. Seperti kata Kierkegaard, "Mengapa hidup ini begitu menyedihkan, karena tak ada diskusi dulu dengan kita soal kenapa, dimana, bagaimana, dan untuk apa kita dilahirkan." Maka itu, menurut saya, apa yang dinamakan perjalanan hidup, salah satunya adalah tentang memaknai apa-apa yang terberi sejak lahir itu. Ketika dimaknai, maka hidup barangkali tidak akan menjadi soal keterlemparan belaka, atau kesemena-menaan Tuhan. Tapi kita sendiri yang memberi alasan mengapa dan untuk apa. Demikian halnya saya, yang sejak lahir sudah Islam ini. Dari kecil hingga SMP, saya sering mengalami doktrinasi soal ritual-ritual ibadah, serta beruntungnya kita masuk Islam ini. Termasuk salah satu guru Agama Islam saya kala SMP yang mengatakan, "Orang Islam pasti masuk su

Sri Mulyani dan Kant

Suatu hari, Immanuel Kant, seorang filsuf Prusia Timur yang berasal dari abad ke 18, menyambangi Sri Mulyani. Dimana? Di sebuah tempat sepi yang terserah mau kau interpretasikan dimana. Sepertinya mereka bertemu begitu saja, tanpa ada siapa yang mengundang dan siapa yang diundang. Takdir, begitu mereka menyebutnya. Sri Mulyani : Tuan Kant, adalah hal yang luar biasa bagiku untuk bertemu dengan anda. Kant : Ah, jangan begitu Bu Sri, biasa aja kok. Aku juga senang bertemu anda. Suatu hal yang asing pada mulanya, bertemu orang di luar warga Konigsberg. Tapi aku yakin pasti menarik. Sri Mulyani : Kuharap begitu, Tuan Kant. Setidaknya hingga Tuan mendengarkan masalahku. Kant : Aku sudah tahu, soal bailout kan? Sri Mulyani : Bagaimana kau tahu perihal itu, Tuan Kant? Kant : Ah, sepanjang masih soal fenomena, pasti dapat kita ketahui. Maka ceritakan padaku kegelisahanmu itu, Bu. Sri Mulyani : Sederhana saja, aku merasa bahwa dana yang digunakan, darimanapun itu, telah sukses mencegah krisis.

Anti-Barat

Alkisah ada seorang fundamentalis Islam berorasi: Hancurkan Barat! Hancurkan Amerika! Kapitalitas merusak akhlak! McDonald terkutuk! KFC busuk! Yahudi mati! Lalu berjalanlah ia pulang dari demonstrasi di, bisa di gedung pemerintahan, ataupun kedutaan AS itu. Pulang dengan menggunakan mobil yang di era lampau diciptakan oleh Karl Benz. Ia juga tak luput menyebarkan pamflet kebencian pada AS, yang tanpa ide Johann Gutenberg soal mesin cetak, ia akan kecapean menuliskan pamflet per pamflet yang jumlahnya seribu. Ia pulang, kelaparan, makan di warung nasi goreng. Katanya, "Ini bukan produk Amerika, asal kita jangan makan di McD, boikot McD!" Setelah makan dengan menggunakan sendok yang konon diciptakan di Eropa Utara, ia membayar. Membayar tanpa bertanya darimana nasi goreng tersebut harganya menjadi sekian dan mengapa bukan sekian. Seolah-olah dia percaya, bahwa harga dikendalikan oleh invisible hand -nya Adam Smith. Sebelum sampai rumah, ia mampir ke warnet, mengakses Fac