Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
The Irishman (2019) Setelah lama tidak menonton film yang durasinya panjang-panjang, akhirnya saya memutuskan untuk menonton The Irishman (2019). Mengapa saya memilih film bertema mafia tersebut? Dari dulu memang saya mengagumi karya-karya Martin Scorsese dari mulai Taxi Driver (1976), Raging Bull (1980), Goodfellas (1990) hingga Casino (1995). Selain itu, saya juga penasaran melihat bagaimana akting Al Pacino, Robert de Niro dan Joe Pesci di usia 70-an akhir. The Irishman adalah film yang berpusat pada Frank Sheeran (Robert de Niro), pengantar daging turunan Irlandia yang menjadi eksekutor bagi kelompok mafia Russell Bufalino (Joe Pesci). Dianggap bagus dalam menjalankan tugas-tugasnya, Frank kemudian dihubungi oleh presiden serikat Teamster bernama Jimmy Hoffa (Al Pacino) untuk menyelesaikan beberapa masalahnya. Hoffa sendiri, meski mempunyai posisi legal, sering berurusan dengan mafia sehubungan dengan Teamster yang banyak membawahi buruh-buruh di bidang transportasi dan pe